oleh

Korelasi Pendidikan Terhadap Kinerja Kepala Desa

Penulis : Senita Apriliani Zaelani (Mahasiswi STH Garut)

Sumber Daya Manusia yang memadai dapat menjadikan sebuah titik kesuksesan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pusat ataupun daerah. Selain dengan pengalamannya, Pemerintahan pusat juga yang mayoritas mengedepankan sebuah standar pendidikan minimum dengan alasan menciptkan seseorang yang duduk sebagai pengelola pemerintahan tersebut, kelayakan kompetensi pun menjadi bagian yang terpenting sebagai upaya perwujudan dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Apabila demikian, penyelenggaraan yang tak luput dari pengawasan pusat. Ada beberapa kewenangan yang menjadi tanggung jawab daerah sebagai pelaksana desentralisasi, tentu menjadi sebuah kesempatan bagi daerah untuk mengurusi pemerintahannya sendiri. Dengan amanat tersebut bukan berarti penyelenggaraan pemerintahan daerah secara sewenang-wenang dan asal-asalan.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang asal-asalan tentu menciptakan oknum-oknum pejabat yang asal-asalan pula. Sebuah profesionalitas kerja dan integritas dipertanyakan bagi mereka yang “asal” memiliki posisi dalam suatu pemerintahan, dengan begitu akan berimbas pada masyarakat yang justru seharusnya dilayani oleh pemerintah.

Berdasarkan Pasal 33 huruf d UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa persyaratan bagi seorang kepala desa adalah berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat. Sedangkan, untuk perangkat desa sebagimana Pasal 50 huruf a UU ini bahwa persyaratan bagi perangkat desa adalah berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum (SMU).

Menanggapi kepada sebuah kasus tentang BUMDes Trimitra Abadi yang sedang menjadi buah bibir dari berbagai element masyarakat, dengan bantuan dari pemerintah mencapai 3,4 Milyar untuk BUMDes ke tiga desa tersebut. Dengan dugaan kerugian negara mencapai 1 Milyar lebih, korupsi yang terjadi ini tidak sepenuhnya kesalahan para operasional BUMDes, akan tetapi kepala desa juga yang dapat menentukan peran daripada BUMDes itu sendiri apabila hal tersebut benar terjadi adanya.

Apabila kasus tersebut memang benar terjadi, ironi sekali ketika seorang kepala desa berkata bahwa “tidak tahu mengenai seluk belukar kasus BUMDes tersebut” dengan dalih alasan yang kurang makesense sebagai seorang kepala desa yang notabene diatur dalam Pasal 10-12 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Apabila melihat kepada PERMEN tersebut kepala desalah yang mengkoordinasi dan memegang kendali apabila terjadi kendala pada berjalannya BUMDes tersebut.

Pasal 87 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Pasal 132-134 PP No. 43 Tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, talah mengamanatkan sedemikian rupa kepada pemerintahan desa supaya dikelola dengan baik dan bijak. Potensi untuk terjadinya korupsi menjadi lahan basah bagi para oknum yang me-mark up kan data-data operasional BUMDes.

Korelasi daripada persyaratan kepala desa dengan sebuah kasus daripada BUMDes adalah merupakan sebuah contoh pentingnya minimum pendidikan sebagai tolak ukur kepala desa terhadap suatu mekanisme pemerintahan yang sedang berjalan. Ketika seorang kepala desa tamatan SMP dan perangkat desanya adalah seorang tamatan SMU, harus kita akui bahwa perangkat desalah yang mendominasi dari segi teoritis dan akademis dibandingkan dengan kepala desanya. Dapat dibayangkan pandangan yang terjadi apabila seorang pemimpin lebih rendah pendidikannya dibandingkan dengan anak buahnya.

Ketika APDESI mencermati sebuah peraturan untuk mengajukan sebuah uji materil (judicial review) ke MK. Sebuah syarat tentang kepala desa pendidikan bukan menjadi mandatory yang bersifat urgent, padahal pendidikan merupakan salah satu penunjang terciptanya kepala desa yang professional dan akademis. Sangat di sayangkan hal ini bukan menjadi satu perhatian yang mungkin berdampak pada loyalitas kinerja para kepala desa. Putusan MK No. 128/PUU-XIII/2015, tercancum dalam Amar Putusan bahwa Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang justru menjadi pusat perhatian yang lebih.

Pemberian kesempatan terhadap SDM yang akan mengisi jabatan-jabatan politis seperti kepala desa dalam aspek syarat formil selayaknya menjadi perhatian bagi pembentuk undang-undang untuk mengkaji ulang, penetapan syarat formil minimum bagi para calon kepala desa agar fenomena sosial yang berkaitan dengan rendahnya kapasitas pendidikan para kepala desa dapat menyebabkan kesenjangan yang tidak menutup kemungkinan ruang-ruang korupsi akan terbuka karena minimnya pemahaman teoritis dan empirik yang dimiliki oleh para kepala desa.

Pemerintahan desa adalah salah satu tonggak atau fondasi utama bagaimana distribusi kesejahtraan masyarakat desa harus di isi oleh sosok sosok yang memilki kapabilitas baik secara pendidikan formal dan pemahaman tentang konsep desentralisasi yang memadai. Dua hal penting dalam pengisian jabatan secara teori ketatanegaraan jelas harus mengedepankan aspek formal sehingga SDM-SDM yang mengisi organisasi Desa secara check and balances menjadi seimbang.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 comment

News Feed