oleh

Akal-akalan Dalam Mengelola Anggaran, BPK Temukan Rp. 1 Milyar Lebih… “APH Pun Diam Ditempat?”

Penulis : Asep Muhidin (Mahasiswa sekolah Tinggi Hukum Garut)

 

Akuntabilitas adalah sebuah modalitas dalam menghasilkan nilai transparan terhadap Publik,  pejabat publik dalam sebuah teori dan kriteria yang dikemukakan oleh B.Guy Peters mendefinisikan bahwa “Akuntabilitas adalah  nilai dasariah sistem politik. warga negara memiliki hak untuk mengetahui tindakan pemerintah karena kekuasaan itu mandat rakyat. warga negara seharusnya memiliki sarana untuk melakukan koreksi ketika pemerntah melakukan sesuatu yang melawan hukum, moral dan atau cara-cara yang tidak adil. setiap warga negara berhak menuntut ganti rugi bila hak mereka dilanggar pemerintah atau tidak mendapatkan pelayanan memadai yang seharusnya diterima.”

Raihan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) perwakilan jawa barat tahun anggaran 2016 seolah memperlihatkan kinerja Pemda Garut baik dan bersih. Namun pada kenyataannya, masyarakat sudah dibalikan mata oleh kata WTP yang melekat bersih tidak ada korupsi dan pelaksanaan keuangan sesuai prosedur.

Baca juga : BPK Temukan Pengelolaan Rekening Bank di Garut Belum Tertib?

Untuk diketahui, dalam buku 111, LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Garut Tahun 2016, nomor 30C/LHP/V111.BDG/XXX….. menemukan pembayaran yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya mencapai 1 milyar lebih.

Sementara berdasarkan undang-undang nomr 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sangatlah jelas diatur, tidak bisa menggunakan keuangan Negara semaunya, karena harus dipertanggungjawabkan, khususnya mempertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 10 menyatakan “Penyelesaian tindak lanjut tidak menghapuskan tuntutan pidana.”

Selain itu, Aparat penegak hukum (APH) yang semestinya pro aktif dalam sebuah kabar dan isyu, apalagi terhadap adanya laporan baik dari masyarakat ataupun lembaga, namun pada kenyataannya seolah diam ditempat dengan kursi jabatannya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, maka dapat disimpulkan, bahwa jelas proses pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dalam beberapa peraturan perundang-undangan jelas “tidak menghapus tindak pidana”.

Baca juga : Korelasi Pendidikan Terhadap Kinerja Kepala Desa

Penegak Hukum dI kabupaten Garut melalui kejaksaan, kepolisian selayaknya dapat merespon dengan cepat dan mendalami secara materil unsur-unsur tindak pidana yang dapat dikenakan berdasarakan UU Tipikor, hal in penting sebgai Building Trust Recovery dimana kewibawaan lembaga penegak hukum dapat segara pulih dimata masayarakat khususnya di kab garut.

Penelusuran kamis selaku mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG), dalam temuan ketidak patuhan dalam pengelolaan keuangan, tentunya ada kerugian yang sudah disetorkan kembali ke kas daerah, namun masih ada juga yang belum. Berdasarkan Ihtisar hasil pemantauan sementara (IHPS), kerugian Negara melalui kelalaian atas kegiatan yang dilaksanakan belum dikembalikan seutuhnya mulai dari tahun 2006 sampai sekarang mencapai 10 milyar lebih. Entah dimana uang rakyat tersebut.

Salah satu contoh kasus yang ditemukan di DLHKP yang dilaksanakan oleh PT. MKN berdasarkan kontrak nomor 04/KONTRAK/PPK-IPAL.DLHKP/DLHKP/ix/2016 tanggal 23 September 2013 sebesar Rp. 443.840.000.,yang dikerjakan mulai 23 September 2016 sampai 21 Desember 2016. Dalam kegiatan study kelayakan IPAL tersebut, yaitu biaya pembayaran personil dan biaya non personil dan perencanaan teknis IPAL usaha dan/atau kegiatan klinik kesehatan, pengelolaan kedelai (tahu dan kecap), kerajinan batik dan rumah potong hewan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya sehingga mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 139.800.000.

Sementara jelas, dalam kegiatan tersebut terdapat kelalaian serta dugaan unsur kesengajaan demi melaksanakan kegiatan dan mengeruk keuntungan. Dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”, dan terdapat dalam Pasal 15, “setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.

Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan “ sekalipun temuan BPK tidak pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang pelanggaran administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. Kalau tidak ada pelanggaran administratif maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi itu sumbernya pada administrasi yang tidak tertib.

Perlu diketahui, Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.

Kalau kita mau jujur, permasalahan  utama penegakan hukum kita sebenarnya adalah kurangnya integritas penegak hukum yang akhirnya menggerus kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum. Yang dibutuhkan masyarakat adalah keadilan, keadilan dalam semua aspek.

Mengembalikan kepercayaan publik bukanlah dengan banyaknya penanganan perkara yang ditangani tapi dari integritas aparat penegak hukum itu sendiri. Masyarakat ingin melihat tidak ada tebang pilih dalam penanganan perkara serta tidak ada lagi perdagangan perkara.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed