oleh

Elitisme Partai Politik Dalam Pilkada Garut 2018 dan Kapasitas Berdasarkan Harapan Publik

Penulis : Enggang Simpaty (Mahasiswa Hukum STHG)

Muhammad Aqil Irham dalam bukunya Demokrasi Mukadua mengatakan bahwa aspek vertikal dan suprastruktur politik dalam reformasi Instirusional di level negara memunculkan desentralisasi korupsi dan sentralisme kekuasaan lokal. Yang terkahir muncul dalam bentuk oligarki politik kepartaian, oligarki kekerabatan ( Dinasti ),serta dominasi minoritas kelas kapitalis yang mewarnai dan menetukan arah kebijakan kekuasaan yang absah menurut syarat prosedural demokratis.

Kendatipun masyarakat dan pemerintahan lokal diberi ruang demokrasi dalam Pilkada yang memiliki tujuan mulia untuk dapat menghadirkan aktor-aktor baru sepertinya masih hanya akan menjadi cita-cita sampai saat ini, hal ini paling tidak dominasi elit lama dalam kontestasi Pilkada Garut 2019 masih tetap on the track. Elit lama dalam sistem elaborasi Partai masih tangguh untuk membuat simulasi-simulasi dalam sistem baru,sehingga mekanisme Partai Politik dalam kenyataanya tidak memiliki pilihan banyak dan masih ketergantungan dengan gaya elitisme yang secara linear menjadi komunikasi satu arah ke masyarakat garut yang dengan sadar memunculkan sikap Apatis dan terkesan kehilangan harapan terhadap sistem rekruitmen yang layak dan objektif.

Dalam AD ART dan Aturan internal Partai politik dan Ormas sudah memiliki aturan tentang keharusan melakukan proyeksi kader melalui penguatan pendidikan internal bagi para kader-kader terbaik,namun dalam kenyataanya penulis memberi catatan untuk Pilkada Garut 2019 yang akan datang masih terpola oleh tokoh-tokoh populis yang bukan berasal dari internal partainya sendiri. Pola rekruitmen hanya menekankan pada unsur ketokohan dengan segmentasi parsial, sehingga keperluan  dan kebutuhan kapasitas pemimpin yang harus memahami tentang pemerintahan, ketatanegaraan, kepegawaian dalam konteks hukum administrasi negara seakan tidak menjadi prioritas untuk diberikan tempat.

Konsekwensi yang paling melembaga dari polarisasi Pilkada garut apabila tidak segera bertransformasi adalah posisi-posisi strategis di dunia birokrasi dimanfaatkan oleh para pegawai negeri sipil dil ingkungan pemerintah daerah garut untuk mengejar karier dengan model melakukan komunikasi politik dengan kandidat kepala daerah sehingga tidak dapat dihindari terjadinya power sharing ( bagi-bagi kekuasaan )  dan berujung pada bargaining position atau tawar menawar politik. Netralitas PNS dilingkaran Politik menghadapi Pilakda sudah menjadi rahasia umum selalu menjadi bagian kotor yang menyebabkan proses Pilkada bagi rakyat garut hanya mencoblos di hari pemilihannya saja. Sementara objektivitas rakyat dalam memilih tergerus oleh komunikasi linear yang terbangun oleh buruknya internalisasi Partai politik.

Perspektif relasi kekuasaan  masih menjadi pilar demokrasi dalam Pilkada Garut 2019,hal ini ber implikasi terhadap pelemahan desentralisasi demokrasi di wilayah akar rumput dan penulis bisa memberikan optik bahwa institusi politik masih lemah dalam menghadapi setiap dampak-dampak sosiologis dan pendidikan politik bagi kalangan masyarakat umum yang kecenderungan semakin tergerus dalam pandangan elitisme.

Oligarki politik uang di kabupaten garut dalam teori demokrasi karya hadiz mendefinisikan bahwa seluruh proses dan budaya politik yang terjadi adalah hasil perkawinan dari Kapitalisme Pemangsa dan Politik Demokratik. Hal ini menjadi efek domino bahwa demokrasi lokal hanya dikuasai  oleh sekelompok orang yang memiliki jaringan kuat di tingkat elit

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed