oleh

Teori Koherensi Hukum Dapat Dilakukan KPUD Untuk Meloloskan Paslon Agus-Imas

Penulis : Indra Kurniawan (Mahasiswa STH Garut)

Pemerhati Politik Hukum Ketatanegaraan

 

Keputusan KPUD Kabupaten Garut tentang pencoretan Agus Supriadi dan Imas Aan Ubudiah saat ini tengah menjadi babak baru dalam konflik pemilukada kabupaten garut yang tengah berproses di lembaga panwaslu kabupaten Garut. Sejalan dengan dimensi penulis sebelumnya tentang dugaan adanya cacat formil dalam keputusan KPUD yang memuat konsiderasi terhadap syarat formal Surat Bapas yang harus dimiliki oleh seorang mantan narapidana dalam proses pencalonan pemilukada masih memiliki harapan untuk dapat diselesaikan dalam ruang lingkup KPUD Kabupaten Garut dengan berpatokan kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Undang Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khusus yang termuat dalam Pasal 63 sampai Pasal 66 Tentang Perubahan, Pencabutan, Penundaan, dan Pembatalan Keputusan adalah sebuah instrumen yang disediakan oleh Undang-undang apabila sebuah instansi mengharuskan perubahan pada sebuah keputusan TUN yang telah diambil. KPUD Garut dalam hal ini sangat memungkinkan untuk menggunakan rujukan pasal-pasal yang telah penulis sampaikan diatas untuk mencabut pencoretan untuk paslon diatas dan meloloskan dengan konsiderasi dan fakta-fakta baru yang selama ini diperjuangkan serta di sajikan oleh team Advokasi Paslon tersebut.

Van Der Burg dan GJM. Cartigny memberikan definisi mengenai algemene beginselen van behoorlijk bestuur (abbb), adalah asas-asas hukum yang tidak tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh Hakim Tata Usaha Negara. KPUD Garut dapat menggunakan beberapa pertimbangan dan fakta-fakta baru yang selama ini menjadi keberatan pihak Paslon terhadap pencoretannya. Lebih dalam lagi penulis memaknai bahwa pertimbangan yang dapat disandarkan oleh KPUD Garut dalam hal merubah keputusan terhadap Paslon untuk diloloskan adalah terkait pertimbangan substansial dan dapat menimbulkan konflik sosial sebagaimana diatur dalam pasal 64 ayat (2) UU 30/2014 yang menyatakan “Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB “ .

Sementara hal dasar dalam AUPB (Asas-asas umum pemerintahan yang baik)  adalah pemerintahan yang tindakan-tindakan pemerintahannya yang berupa keputusan-keputusan tidak menjadi bulanan-bulanan di peradilan, khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara, karena keputusan-keputusannya selalu digugat oleh orang/badan hukum perdata. Seperti kita ketahui bahwa pencoretan KPUD Garut  terhadap Agus Supriadi dan Imas Aan Ubudiah masih berpotensi menjadi objek sengketa PTUN dikemudian hari apabila para pihak seperti KPUD Garut dan Panwaslu Kabupaten Garut terlalu melihat syarat formil dengan substansi Surat Bapas yang keberadaannya masih bisa diperdebatkan baik secara asas hierarki perundang-undangan ataupun harmonisasi perundang-undangan yang mengatur tentang kapan dan dalam posisi apa seseorang dikategorikan mantan Narapidana dalam hal pencalonan dirinya sebagai Bupati atau wakil bupati.

Bukan barang yang haram dan atau akan kehilangan wibawa bagi KPUD Garut apabila atas pertimbangan-pertimbangan yang penulis sampaikan diatas keputusan KPUD tentang pencoretan yang bersangkutan sesegera mungkin di perbaiki dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Adminstrasi Pemerintahan yang telah menyediakan ruang bagi siapa saja Pejabat TUN yang akan melakukan perubahan. Stressing point penulis dalam tulisan kali ini adalah bagaimana melihat keputusan yang bersifat Beschiking tidak selalu dimaknai sebagai keputusan yang hanya bisa dibatalkan lewat keputusan Pengadilan saja. Pendekatan yang dilakukan adalah adanya ruang evaluasi bagi keputusan yang telah diambil sebelumnya dapat mencerminkan bahwa sebuah pemerintahan tetap mepertimbangan kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan konsideran baik dalam hal prosedur pembuatan atau hal-hal subtansial yang berpotensi terjadinya ambiguitas interpretasi hukum yang digunakan sebagai rujukan.

Saat ini pendekatan keadilan restorative dan atau urgensi Non Litigasi tidak hanya dalam kamar perdata dan pidana saja dalam hal menghindari proses peradilan. Namun terkait dengan keputusan adminsitrasi UU 30 Tahun 2014 telah membuktikan bahwa sebuah sengketa TUN dimungkinkan dapat diselesaikan dengan evaluasi Internal oleh pejabat yang mengeluarkan TUN tersebut dengan melakukan perubahan tanpa harus melalui proses keberatan dan banding atau bahkan sampai menjadi sengketa formal di ruang Pengadilan.

Kesimpulan akhir penulis berharap dan Mendorong Pihak KPUD Garut dapat menilai kegaduhan ini dengan menggunakan Teori Koherensi hukum yang dimana penilaian dilakukan secara deduktif dengan mengedepankan aspek keadilan yang diutamakan. Dengan hal ini, KPUD dapat mempertimbangkan atas pembatalan tersebut bukan semata-mata karena kegaduhan masa tetapi karena KPUD melihat pada suatu landasan yuridis yang memiliki instrument bahwa dapat dilakukannya sebuah check and review internal atas keputusan yang dikeluarkannya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed