oleh

Bangkitkan Gerakan Literasi Yang Terkubur Cadin Pendidikan Garut

Generasi Muda Sebagai Manifestasi Garut Dalam Kebangkitan Pendidikan Literasi

Acara Garut Bangkit Dalam Pendidikan Literasi menyimpan banyak makna dan tujuan mulia ditengah keterpurukan sumber daya manusia dalam politik demokrasi Indonesia  dan defisit kecerdasan politik intelektual yang menggiring seolah daya kritis literasi dari anak bangsa terutama dari kaum [elajar seolah terdiam tanpa kreatifitas dan terkubur dalam proses sebagai peserta didik pasif dalam doktrin-doktrin ideologi absolutis.

Politik di Indonesia saat ini dijalankan dengan undertable transaction dengan figur kaum elitis. Mei 1998 dalam tujuan reformasi hanya mampu menghasilkan amandemen konstitusi dengan harapan adanya demokrasi liberalis, sistem politik Indonesia saat ini tidak memiliki bentuk konkrit pasca gerakan 1998 meruntuhkan pemerintahan otoritarian. Demokrasi di Indonesia dalam berbagai blok komunalistik yang tersisa dari sifat feodalisme justru  saat ini menjauh dari cita-cita reformasi yang mengedepankan keterbukaan, kesetaraan, distribusi keadilan dan menciptkan kecerdasan pemahaman kewarganegaraan yang bijaksana.

Melalui deklarasi sumpah pemuda menjadi bukti bahwa negara ini terbentuk dari proses diversity, para pemuda saat itu menyatukan semangat pesatuan dengan meninggalkan wilayah-wilayah identitas adat, Etnis, Agama hanya untuk membentuk sebuah kewarganegaraan yang utuh. Ini seharusnya yang harus menjadi policy fundamentalism bagi negara untuk tidak memberikan ruang khusus kepada berbagai blokkomunal untuk masuk dalam sistem pemerintahan baik yang ada di Parlemen atau di wilayah eksekutif.

Secara teologis dalam sebuah keyakinan agama digunakan secara politik untuk menentukan keadilan maka demokrasi tidak akan pernah dimaknai sebagai kebebasan mayoritas, melainkan perbedaan tajam tidak akan pernah dinilai melalui sebuah metodologi ilmiah dan daya kritis yang akademis melainkan pembeneran-pembenaran keyakinan akan menciptkan menguatnya kebencian terhadap satu sama lain. Mayoritas akan selalu merasa benar sedangkan minoritas akan selalu merasa terdsikriminasi.

Pendirian salah satu Partai di Indoensia yang memiliki jargon anti intoleransi adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan. keberadaan hate speech dan hoaxs menjadi konsumsi publik dan maraknya argumen-argumen politis dari segemen-segmen civil society menggambarkan bahwa negara dalam kondisi genting tentang persatuan. Perpecahan tidak dibentuk oleh rakyat, perpecahan justru terbentuk oleh kebijakan pemerintah yang tidak mempertimbangkan sosiologis historis dan rasional. Parlemen sebagai representasi mayoritas rakyat malah terjebak mencari argumenstasi politis untuk melihat peta kekuatan pada Pilpres 2019.

Kondisi inilah yang menggerakan beberapa Mahasiswa/i Sekolah Tinggi Hukum Garut melakukan kerjasama dengan Media Grouf Infodesaku dengan mengharapakan dukungan dari Dinas Pendidikan Jawa Barat untuk mengadakan acara membangkitkan budaya literasi dengan segmen pelajar SMA/SMK Se-Kabupaten Garut sebagai upaya keterlibatan pelajar dalam menyikapi kondisi bangsa ini secara netral, cerdas dan berwawasan.

Momentum bangkitnya minat literasi pada pelajar Garut, seharusnya menjadi kesempatan untuk para Paslon Cabup/Cawabup menunjukan kapasitasnya dalam mendukung program-program literasi  ini dengan rencanapada waktu dekat ini, kegiatan pihak penyelenggara akan mengundang resmi seluruh Paslon Pilkada Garut 2018 untuk dapat hadir dan memberikan concern khusus terkait penguatan literasi dalam dunia Pendidikan di Kabupaten Garut.

Spektrum politik saat ini menggeser dinamika demokrasi indonesia kearah kuatnya unsur-unsur komunalistik yang disebabkan kegagalan negara dalam kecermatan sebuah kebijakan publik yang dikeluarkannya. Jika negara terlalu mengurusi wilayah private seperti ada dalam keadaan mendukung atau tidak mendukung orientasi sexsual, orientasi politik berbasis agama dan wilayah private dengan pembatasan kebabasan berfikir dalam sebuah diskursus publik maka justru hal ini menjadikan tajamnya terhadap kubu civil society, sementara pada faktanya Civil Society saat ini tidak lagi berdiri independent karena terpengaruh dengan upaya mendukung salah satu partai politik baik dalam pemilihan Bupati/Walikota, Gubernur dan sampai Pilpres.

Situasi Politik saat ini yang menjadi berbahaya adalah dengan mudahnya rakyat ada dalam posisi saling membenci yang diakibatkan marketing politik dikemas bukan pada penguatan partai politik, marketing saat ini malah mengedepankan unsur membenci pilihan politik lain dengan alasan klasik seperti intoleransi, penista agama, pengumbar hoax dan simbol-simbol stigma lainnya yang seolah-olah ingin saling melemahkan dalam memperkuat posisi pilihan. Cara inilah yang menurut penulis justru tidak disadari oleh negara bahwa kepentingan pemerintahan dalam dunia politik di Indoensia saat ini bukan mengedepankan mencetak basis fundamental pendidikan politik sehat, negara malah terjebak dalam kekuasaannya menciptkan rel politik baru untuk kelangsungan Pilpres 2019.

Politik sehat akan tercipta dengan kader yang sehat (cerdas), penumbuhan kecerdasan pada kader-kader muda bangsa akan terbentuk pada sebuah budaya literasi dan pendidikan yang bermoral. Era milenium akan dapat menjadi generasi kader yang bervalue ketika di filter dengan penguatan pendidikan yang berkualitas, generasi muda akan terbentuk dengan berbagai dukungan extra dari berbagai elemen salah satunya dukungan dari pemerintah yang dapat memfasilitasi keberlangsungan pendidikan bagi generasi-generasi muda bangsa Indonesia.

Penulis : Senita Apriliani Zaelani (Mahasiswi STH Garut)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed