oleh

Cadin XI Garut Sembunyi Dibalik Literasi? “Closed Literacy Education in Garut?”

GARUT, KAPERNEWS.COM – Penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti merupakan pintu masuk bagi program baru Kemendikbud setelah bertahun-tahun bergelut dalam program pengentasan buta aksara, yaitu literasi.

Sinyal Literasi sudah muncul dari sekian survey internasional yang dimulai sejak abad 21. Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Programme for International Student Assessment (PISA), yang mengukur tingkat literasi siswa di sejumlah negara, mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang dapat dilakukan Negara dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Negara-negara maju menggunakan pengukuran literasi sebagai batu pijakan bagi proses perbaikan di bidang pendidikan dan pembangunan SDM.

Sayang, di Kabupaten Garut, munculnya sebuah kelompok yang menamakan Unit Kegiatan Mahasisa (UKM) Kajian dan Literasi dari Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) harus berjuang melawan kebijakan Kepala Cabang Dinas XI Kabupaten Garut Drs. Hj. Lilis Rosita, M.Si yang baru menjabat itu, dimana yang terhormat kurang, bahkan mungkin tidak mendukung dan mendorongan Literasi. Mengapa demikian? Sebuah fakta kongkrit yang membatasi kegiatan yang akan diselenggarakan dalam menyambut hari pendidikan nasional pada mei mendatang, jelas Asep selaku ketua panitia pelaksana workshop Gerakan Literasi Berbasis Jurnalistik yang menggaet UKM Kajian dan Literasi Sekolah Tinggi Hukum Garut sebagai promoter Literasi di Kabupaten Garut.

“Sejak awal, kami (panitia dari UKM Kajian dan Literasi STHG dan Media Group IMG) menyampaikan surat kepada DInas Pendidikan Provinsi Jawa Barat pada tanggal 12 Maret 2018, sekitar 14 Naret 2018, kami berkunjung ke kantor Cabang Dinas XI Garut dan bertemu dengan atas nama Arif, menurutnya kalau surat kunjungan kehormatan yang disampaikan dari rekan-rekan UKM Kajian dan Literasi STHG di disposisikan malem kepada Cadin Garut. Tentu kami merasa senang adanya kabar tersebut dan tentunya kami pun membahas tentang acara GLS bagaimana menurut Cadin Garut,”

Sikap kurang mendukung dan tidak peduli dari kepala Cabang Dinas nampak setelah kami berkunjung untuk ke tiga kalinya yang mana setiap kami datang selalu diahadapkan dengan orang berbeda, bahkan setelah kami memaksa minta yang terhormat kepala cabang dinas untuk menemui kami, barulah muncul dari ruang kerjanya yang ada di lantai dua. Setelah kami memaparkan dan mejelaskan perbincangan kami sebelumnya, sungguh aneh tapi nyata, yang terhormat Drs. Hj. Lilis Rosita, M.Si belum mengetahuinya. Sehingga kami berpikir ada apa dengan management di tubuh Dinas pendidikan ini yang notabene sektoral untuk membangkitkan dunia pendidikan?.

Selain itu, rekomendasi yang kami harapkan bisa betul-betul mendukung gerakan literasi ini, ternyata harus molor juga, dari janji hari rabu siang, baru memberikan kabar pukul 23.03 melalui whatsapp pegawai cadin kepada ketua penitia. Sungguh ironis dan diluar nalar, dimana jam tersebut bukanlah waktu yang pas, melainkan waktunya istirahat. Adapun rekomendasi yang diterima bukanlah mendukung kegiatan Gerakan Literasi Sekolah yang akan kami laksanakan, namun seolah membatasi ruang gerak kami sebagai pelaksana menginplementasikan amanat permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

poto : rekomendasi yang dikeluarkan Cadin XI Garut

Setelah panititia berdiskusi, akhirnya sepakat untuk dibawa diskusi di DPRD Kabupaten Garut yang dipimpin Ketua Komisi D Asep De Maman sebagai komisi pendidikan. Sayang, kepala cabang dinas XI, Drs. Hj. Lilis Rosita, M.Si masih tidak hadir juga dan mewakilkan kepada yang tidak memiliki kapasitas dalam ruang lingkup kebijakan.

Dalam buku 5 pilar revolusi mental karya Hamry Gusman Zakaria yang berisi evaluasi mental pejabat, ada tiga (3) revolusi evaluasi yang dapat dilakukan, yaitu :

1). Evaluasi reformasi

2). Evaluasi system akuntabilitas kinerja instansi pemerintah

3). Evaluasi zona intergritas

Hal tersebut menjadi menarik apabila diperinci versi buku tersebut yang membicarakan tentang mental pejabat.

“Sangat disayangkan, kami bertujuan hendak berdiskusi dengan kepala Cadin beserta jajaran, tetapi malah diwakilkan kepada pengawas yang mengakui pindahan dari Disdik Jabar yang notabene SK nya belum keluar dari Disdik Jabar, bahkan untuk yang satunya, kalau tidak salah adalah salah satu bagian dari salah satu ormas,” ungkap Senita selaku ketua UKM Kajian dan Literasi STHG.

Ini menjadi penting sebagai catatan kita, bahwa dari segi nomenclature administrasi pemerintah saja sudah belum siap menghadapi kami yang berharap menemukan solusi dari kekecewaan pelayanan public terhadap kantor cadin Garut.

“Kami yang menginginkan mencari solusi dan duduk berdiskusi dengan pelayanan yang kami temui di Cadin Garut, malah kami berdiskusi dengan pihak yang tidak tepat sasaran. Itu sama sekali tidak mencerminkan revolusi mental ke arah yang bijak, bahkan bermental cemen. Bukannya mendapatkan solusi malah membuat masalah baru, karena hasil diskusi kami bersama Komisi D DPRD tersebut akan dibicarakan lebih lanjut dengan pihak Cadin, bagaikan bola pingpong”

Ketika pihak pengawas yang katanya membawa surat rekomendasi dari pihak Cadin, dalam isi suratnya tidak ada sama sekali yang menyatakan bahwa itu adalah sebuah surat rekomendasi. Isinya hanya normatif saja, ketentuan-ketentuan kegiatan yang memang sudah seharusnya kami laksanakan. Entah belum mengetaui bagaimana caranya membuat surat rekomendasi karena sebagai instansi yang baru lahir atau punya senjata lain sebagai alasan. Entahlah

Perlu diktahui dan dijadikan catatan, kami majikan, pejabat adalah pelayan kami. Kalian (pejabat) digaji dari uang kami, tetapi pelayanan saja terhadap kami seperti bukan teradap majikanyang lelet dan banyak alibi. Adapun tidak bisa menjalankan sumpahnya sebagai pejabat public dan melayani kami sebagai masyarakat, maka hendaklah mengundurkan diri secara hormat, jadilah raja untuk dilayani pejabat.

Kami dari kepanitian menjadi bertanya-tanya, apakah kepala cabang dinas tersebut memiliki kapabilitas dan kredibilitas untuk memimpin dan memajukan anak didik tingkat SMA/SMK yang ada di Kabupaten Garut?, sehingga kami berargumen dan berfikir kepada pengalaman yang pernah ditulis oleh Paulo Freire dalam bersentuhan dengan buku dapat menjelaskan fenomena.

Mungkin pengalaman Paulo Freire dalam bersentuhan dengan buku dapat menjelaskan fenomena itu. Freire adalah tokoh pendidikan yang pernah menjadi Menteri Pendidikan Brazil, mengatakan bahwa buku bagus memungkinkan pembaca untuk memahami fenomena dunia. Buku bagus yang membuatnya kagum adalah buku yang mampu membantunya mengerti kenyataan, sesuatu yang konkret.2

“Teks Laskar Pelangi menggambarkan peristiwa puluhan tahun lalu di sebuah daerah miskin di Pulau Belitung, namun masyarakat membacanya sebagai fenomena kekinian yang ril dihadapinya. Teks tentang masa lalu, setelah melalui proses transformasi di kepala pembaca, berubah menjadi teks kontekstual. Inilah, barangkali yang menjelaskan mengapa buku Laskar Pelangi, yang ditulis dengan nilai estetika tinggi mampu mengubah pola pikir orang.”

Dengan sentuhan tulisan ini, Kami berharap karya ini bukan dijadikan sebuah critical point untuk menilai dalam sebuah subjektifitas GLS, namun untuk membangun sebuah the hidden science of the human soul in education. “Salam Literasi”

Laporan : Bhegin/Asep

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed