oleh

Pengembalian Kerugian Negara Menghapus Dipidananya Koruptor Atau Tidak?

Dalam penerapan ilmu hukum, setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, maka akan mendapatkan sanksi hukum. Seperti dalam kasus korupsi, sering terdengar bahwasanya apabila seseorang melakukan korupsi, maka apabila dalam pemeriksaan unsur kerugian Negara harus telah dibuktikan ada, dalam arti telah dihitung jumlahnya sesuai kesimpulan oleh ahli dalam keuangan negara, atau ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian, seperti BPKP, atau BPK. Kerugian negara tersebut apabila dikembalikan sering dianggap selesai, tidak di proses hukum. Maka untuk menciptakan kepastian hukum, hal tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, dan perlu didiskusikan lebih jauh, dalam ilmu hukum disebutkan Lex posterior derogate lege priori (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior)).

Penulis yang masih banyak kekurangan menilai apabila dengan pengembalian kerugian negara perbuatan pidana bisa hilang, tentunya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, dimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) sebagai berikut:

Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor:

(1)  Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2)  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam hal ini, unsur yang terkandung dalam pasal 2 dan 3 sudah terpenuhi, jadi walaupun pelaku korupsi telah mengembalikan kerugian negara  atau uang pengganti sebelum atau sesudah dilakukan penyidikan (tentunya setelah lewat 60 hari menurut UU Perbendaharaan dan UU BPK terkait tuntutan perbendaharaan ganti rugi)  maka penegak hukum tetap memproses kasusnya dengan merujuk pada pasal 4 UU No 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi.

Memang menurut pasal 4 UU Tipikor, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.Meskipun pelaku tindak pidana korupsi itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap berjalan karena tindak pidananya telah terjadi (voltoid), namun demikian pengembalian keuangan negara yang dikorupsi dapat  menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan.karena penembalian hanya itikad baik sipelaku dan akan membantu meringankan hukuman.

Berikut definisi kerugian negara yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan :

  1. Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 15 tahun 20016 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
  2. Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendahraan) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
  3. Penjelasan pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Dalam hal tindak pidana korupsi, ada beberapa aturan beserta peraturan pelaksanaannya apabila dilihat dari esensi keuangan negara, yaitu sebagai berikut :

  1. UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
  2. UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
  3. UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah
  5. Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2007 tentang tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap bendahara, dan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah tentang tata cara tuntutan ganti rugi kerugian daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara.

Bahwa pengembalian kerugian keuangan negara melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara sejak berlakunya 3 (tiga) paket UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya seharusnya menjadi pertimbangan utama untuk memproses tindak lanjut suatu kasus.

Bahwa berdasarkan ilmu perundang-undangan dikenal asas Lex posterior derogate lege priori artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, maksudnya ialah UU yang baru mengabaikan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Jadi apabila suatu materi yang telah diatur dalam suatu Undang-undang, kemudian materi itu diatur kembali dalam Undang-undang yang baru maka sejak saat mulai berlakunya Undang-undang baru itu maka ketentuan dahulu yang mengatur materi yang sama tidak berlaku lagi.

Berkenan dengan asas  tersebut, maka 3 (tiga) paket Undang-undang keuangan beserta peraturan pelaksanaannya yang dibentuk setelah pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 itulah yang seharusnya dipakai dan didahulukan daripada pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001.

 

Semoga bermanfaat

Penulis : Asep Muhidin

  • Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut
  • Tim Unit Kajian dan Literasi STHG

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed