oleh

Dibukanya Bioskop XXI, Anggota DPRD Garut Dikritik UKM Kajian dan Literasi STHG

Salah satu anggota DPRD kabupaten Garut mengeluarkan statement monohok terkait dibukanya bioskop cinema XXI oleh pemda Garut. Dimana, Dadang Sudrajat sebagai anggota DPRD mengatakan “saya kira ada unsur kompromi dan pemerasan yang dilakukan oknum pegawai pemda ke pihak bioskop cinema XXI,” yang dimuat di media online beberapa waktu lalu.

Dari kutipan tersebut, tentu sang anggota DPRD yang mewakili masyarakat duduk di kursi palemen harus memiliki dasar dan bukti permulaan, dimana dalam jabatannya sebagai wakil rakyat itu tidak lepas dari ilmu politik yang dimilikinya.

Perlu kita ketahui, tugas DPRD yang seharusnya sebagai fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga pemerintahan daerah Garut ketika satu lembaga tertentu dirasa mandeg dalam menjalankan tupoksinya, lain cerita ketika ada unsur pemerasan ataupun kongkalikong, itu bukan satu alasan sebagai reason anggota DPRD selaku fungsi pengawasan terhadap lembaga pemerintahan. Ketika hal tersebut diduga, apa yang menjadi pijakan untuk mengendalikan hal tersebut sehingga yang disebut fungsi pengawasan DPRD dapat di realisasikan dengan adanya isu dari statement anggota DPRD tersebut.

Dalam politik dan kekuasaan, tentu ada beberapa konsep yang harus dipahami wakil rakyat yang duduk di DPRD sebagai perwakilan dari partai politik, apakah pak Dadang ini menggunakan konsep influence, force, presuassion, manipulation, coercion dan authority. Jadi, pak dadang sebagai anggota DPRD kalau tidak bisa membuktikan dari apa yang disampaikannya melalui media, menurut pandangan kami dari UKM Kajian dan Literasi STH Garut, menilai dari sisi akademisi sepertinya gagal dalam berpolitik sebagai anggota DPRD kalau hanya berstatment tanpa bisa membuktikan.

Apabila kita kaitkan kedalam rumusan delik pemerasan, seharusnya dipahami oleh salah satu anggota DPRD tersebut dalam mengeluarkan pernyataan publik, hal ini dikarenakan pemahaman hukum publik terhindar dari sifat yang metaforis, dalam pernyataannya “frasa kongkalikong dan Pemerasan” seolah menjadi bertolak belakang, karena jika kita bicara pemerasan maka harus jelas para pihak yang melakukan pemerasannya, dan jika ini sebuah kerjasama kejahatan atau kongkalikong maka harus jelas juga objektum litis nya. selaku UKM Kajian dan Literasi STHG, kami menilai kisruh perijinan Operasional XXI di Kabupaten Garut adalah gambaran kelemahan fundamnetal ASN dalam pelayanan publik dalam dimensi ketatanegaraan terkait fungsi-fungsi lembaga-lembaga dareah yang membidangi perijinan baik perijinan konkrit infrastruktur atau perijinan operasional, suatu usaha tertentu selayaknya di informasikan secara transparan, agar publik dapat menilai utuh terkait pendirian sebuah objek hiburan apabila dalam kenyataanya terdapat mala adminstrasi. lebih jauh kami menilai pernyataan tuduhan pemerasan dan kongkalikong akan relevan dengan adanya tindak pidana Gratifikasi atau bahkan korupsi sebagaimana dia atur dalam pasal 12 UU Tipikor 20 tahun 2001. jika konkrit perbuatannya maka kita tinggal memasukan ke pasal mana rumusan deliknya.

Harusnya paham dalam hukumnya akan mengambil delik pemerasan atau gratifikasi karena jika pemerasan rumusan deliknya masuk ke 368 ayat 1 KUHP, tapi kalo gratifikasi ( pungli ) maka rumusan deliknya ke pasal 12 ( e ) UU Tipikor 20 tahun 2001

Ketika statement tersebut tidak benar adanya, maka hati-hati dengan prasangka yang tanpa bukti, toh kalo benar adanya gratifikasi ya dapat dikategorikam dengan dugaan UU tipikor. Jangan sampai statement anggota DPRD tersebut tanpa dasar dan menimbulan berbagai perspective yang dapat membawa dan dikemas dalam unsur politis ketika yang berstatement adalah seorang anggota DPRD.

 

Penulis : Tim UKM Kajian dan Literasi STH Garut

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed