oleh

Ketua Komisi B DPRD Garut : Kuswendi Dan Dua Pejabat Jadi Tersangka Kasus Buper?

GARUT, KAPERNEWS.COM – Beredar kabar bahwa Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Kabupaten Garut, Kuswendi dan kedua pejabat lainnya menjadi tersangka atas kasus pembangunan di lokasi Bumi Perkemahan (buper) yang diduga tanpa disertai dengan dokumen lingkungan yakni Amdal (Analisa Dampak Lingkungan).

Kasus ini berawal dari laporan sekelompak organisasi di Kabupaten Garut ke Polda Jabar. Dalam laporannya, mereka menduga Pemkab Garut, dalam hal ini pihak Dispora Garut melakukan pembelian lahan kepada salah satu pengusaha ternama di kota Dodol yakni H Agus SM alias Agus Odong, orangtua salah satu anggota DPRD Kabupaten Garut, Riki dari Partai Hati Nurani Rakyat yang kini berpindah perahu ke Partai Demokrat. Lahan yang dijual tersebut berada di wilayah Gunung Guntur Blok citiis, Desa Pasawahan Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.

“Katanya sih Kuswendi dan dua pejabat lain di Dispora Garut sudah menjadi tersangka di Polda Jabar,” ungkap Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Garut, Dudeh di sela-sela kegiatan acara Rapat Koordinasi Cabang (Rakorcab) Partai Demokrasi Indinesia-Perjuangan (PDI-P) Kabupaten Garut, di Hotel Agusta, kawasan pariwisata Cipanas, Kecamatan Tarogong Kaler, Sabtu (15/09/2018).

Menurut Dudeh, pihaknya sejak lama sudah pernah mengundang pihak Dispora Kabupaten Garut perihal aduan salah satu lembaga ke DPRD. Sebagai penampung aspirasi rakyat, pihaknya menerima aduan tersebut dan melakukan audensi, namun sayang Kadispora Garut, Kuswendi malah tidak datang.

“Menurut saya pak Kuswendi itu arogan, saya sebagai Ketua Komisi B DPRD Garut sudah mengundang beliau untuk menghadiri audensi salah satu lembaga masyarakat yang mempertanyakan seputar pembelian dan pembangunan lahan untuk Buper di Gunung Guntur, tetapi pak Kuswendi tidak datang,” ujar Dudeh memaparkan.

Dalam kesempatan tersebut, Dudeh juga sangat menyayangkan sikap Kuswendi yang sepertinya tidak menerima aspirasi masyarakat. Seharusnya sebagai pejabat, Kuswendi bisa memberikan keterangan yang jelas.

“Pihak masyarakat yang dipimpin saudara Budi sudah mengapresiasi pihak DPRD yang menerima aspirasi mereka sebagai masyarakat, namun sayangnya pihak Pemkab Garut dalam hal ini Pak Kuswendi sebagai Kadispora Garut malah tidak datang,” ucapnya.

Dudeh menambahkan, persoalan pembelian lahan dan pembangunan Camping Ground memang harus disikapi dengan matang. Pihak media bisa menanyakan langsung tentang FS (Feasibility Study) dan DED (Detail Engineering Design). Analisa Dampak Lingkungan atau Amdal dan syarat-syarat lainnya.

“Saya, saya dengar pembangunan Buper tidak disertai dengan Amdal, FS dan DED-nya pun saya belum pernah melihat. Media bisa meminta mana bukti FS dan DED-nya. Kalau FS dan DED nya tidak ada, maka patut dipertanyakan juga,” ujarnya.

Sebelumnya, salah satu pekerja swasta yang ikut melakukan pekerjaan di Pemkab Garut mengatakan, dirinya yakin bahwa Kadispora sudah menjadi tersangka atas kegiatan sekitar Bumi Perkemahan (buper) di sekitar Gunung Guntur, namun masalahnya bukan karena jual beli lahannya, tetapi karena pembangunan Buper tidak dilengkapi dengan dokumen lingkungan.

“Pak Kuswendi menjadi tersangka karena tidak mengantongi Amdal. Kalau masalah jual beli lahan, menurut BPKH ada tanah sebanyak 60 cm yang terambil, namun persoalan ini sudah clear. Yang menjadi masalah adalah Amdal tidak ada,” ungkapnya.

Sementara itu, Kadispora Garut, Kuswendi yang dihubungi melalui sambungan Whatsapp-nya (WA) tidak membalas pesan yang disampaikan kapernews.com. Namun berdasarkan keterangan dari salah satu Kepala Bidang (Kabid) di Dispora Garut, H Yana, sampai saat ini belum ada tersangka. “Belum ada tersangkanya kang,” ujar H Yana sambil tersenyum dan berlalu ketika keluar dari ruangan Bagian Hukum Setda Garut, Dua pekan lalu.

Sebelumnya, Kepala Seksi Konservasi Wilayah V Kabupaten Garut, Purwantono yang ditemui LogikaNews.Com di kantornya, Kamis (02/08/2018) lalu mengatakan, keterangan dari BPKH terkait kasus pengadaan lahan Buper di sekitar Gunung Guntur sampai saat ini masih dalam proses. Keputusan dari Poldanya baru sebatas pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). Dirinya tidak bisa memberikan keterangan lebih jauh.

“Yang berwenang menentukan apakah tanah tersebut memang benar milik H Agus atau milik BKSDA, BPKH lah yang lebih tahu. Kalau saya tidak bisa berkomentar,” papar Purwantono.

Pria yang mudah akrab ini juga menjelaskan, Polda sendiri mengarahkannya ke BPKH. Kondisi di lapangan tidak ada batas fisik yang jelas, kecuali ada pal batas yang jelas atau pagar bisa kelihatan. Walaupun awalnya pal batas itu memang ada, namun dalam perkembangannya dari waktu ke waktu menjadi tdak ada.

“Pembatas antara tanah warga dan BKSDA hilang atau ada yang mencabut itu perlu penyidikan. Biasanya Pal batas dibuat dari beton. Yang melakukan rekuntruksi batas adalah BPKH,” terangnya.

Menurut Purwantono, untuk memastikan apakah ada pencaplokan lahan BKSDA atau tidak ada, dirinya berpandangan statemen itu terlalu awal. Dirinya tidak bisa memastikan, karena takut keliru dan yang berwenang menyampaikan itu adalah BPKH.

“Yang mengajukan perhitungan lahan yang dikhawatirkan ketidakjelasan tanah, idealnya pemilik tanah yang mengajukan itu ke BPKH. Hal ini berdasarkan pengalaman saya ketika PT Rafles hendak melakukan pembangunan di lokasi yang berbatasan dengan BKSDA. PT Rafles mengajukan perhitungan dan pengukuran ke BPKH,” paparnya.

Masih menurut Purwantono, kalau Pemerintah yang mengajukan pengukuran itu ke BPKH, maka tentu harus melihat dulu ketersediaan anggaran. Sedangkan pengajuan anggaran belum tentu disetujui.

“Kalau menunggu anggaran dari pemerintah harus menunggu lama, padahal pemilik tanah sudah ingin menjual. Maka pemilik tanah berinisiatif mengajukan pengukuran ke BPKH. Seharusnya Pak Agus sebagai pemilik lahan mengajukan dulu pengukuran ke BPKH, sehingga kekhawatiran mencaplok lahan BKSDA bisa dihindari,” papar Purwantono.

Purwantono juga menjelaskan, apabila ada pencaplokan lahan BKSDA tentu tidak diperbolehkan. Namun tahapan itu semua tergantung Polda Jabar. Komentar dirinya terkait kasus ini sepenuhnya menyerahkan ke Polda Jabar. “Untuk menyimpulkan lebih awal saya tidak bisa. Di Polda Jabar saya ditanya terkait wewenang dan Tupoksi BKSDA sebatas mana,” terangnya.

Dalam kesempatan itu, Purwantono sedikit menjelaskan tentang tentang Tupoksi dan struktur organisasi lembaga yang menaunginya. “Kalua kami menyelanggarakan konservasi di dalam lingkup wilayah Garut diantaranya TWA di Gunung Guntur. Sedangkan struktur organisasinya mulai dari BKSDA Jawa Barat, turun ke Bidang Wilayah III Ciamis, kemudian Bidang Konservasi Wilayah V dan yang terakhir di tingkat lapangan atau resort,” imbuhnya.

Sebagai kepala Seksi Konservasi Wilayah V Kabupaten Garut, Purwantono mengakui bahwa untuk masalah pembatasdi lapangan memang tidak jelas, tidak terlihat secara langsung. “Untuk memastikan pembatas itu BPKH yang menentukan. Intinya kami masih menunggu proses hukum yang dilakukan oleh Polda Jabar. Mulai data, peta dan lainnya sedang diselidiki,” pungkasnya.

 

Sumber : Asep Ahmad/AsepApdar

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed