oleh

ALARM Menuntut Pengembalian Tanah Adat

-Peristiwa-1.882 views

MATARAM, KAPERNEWS.COM – Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) melakukan unjuk rasa di Pertigaan Sepapan, Kecamatan Jerowaru, Sabtu (19/1/2019) sekitar pukul 08.00 WITA kemarin. Dalam poster aksi yang disebarkan melalui media sosial dikabarkab bahwa aksi tersebut adalah merupakan panggilan solidaritas rakyat membantu rakyat dan bergotong-royong untuk mempertahankan tanah adat dari korporasi.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan, lewat narahubung Hasan Gauk, diceritakan bahwa penguasaan atas hak tanah rakyat menjadi siklus sejarah kelam bangsa Indonesia selama 2,5 abad. Bahkan setelah mendekati 73 tahun bangsa Indonesia merdeka trend imperialisme masih berlangsung secara terstruktur dan massif.

Menurutnya, hal tersebut terindikasi dengan jelas bahwa peralihan aktifitas haram tersebut kini telah beralih peran dari bangsa barat menjadi trend bangsa sendiri. Alur privatisasi acap kali dilakukan oleh pemegang modal dan pemegang kebijakan publik. Pihak tersebut seolah tercipta menjadi sisi lain dari arti dan makna kemerdekaan bangsa Indonesia yang sebenarnya.

Lanjutnya, adalah merupakan hal yang ironi, bahwa fakta sejarah tanggal 24 September 1960 Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UU ini diyakini merupakan satu-satunya yang tersisa sebagai instrumen hukum yang nantinya berpihak kepada kepentingan rakyat. Dalam amanat UU ini, pemerintah mempunyai kewenangan besar untuk mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai penjajah dan tuan tanah secara berlebihan. Cita-cita UUPA ini memaktub hak-hak dasar rakyat dalam mendistribusikan tanah secara langsung kepada kaum miskin secara nasional.

Tambahnya, kini instrumen tersebut hanya meninggalkan cerita usang seiring adanya peralihan pemerintahan Orde Lama ke masa Orde Baru bahkan sampai era Reformasi. Ruh dari UUPA hilang meskipun UU ini tidak dihapus. Namun munculnya UU pertambangan, UU penanaman modal dan UU tentang hutan mengindikasikan prinsipnya memuluskan investasi asing secara besar-besaran untuk menguasai tanah nusantara. Sehingga yang terjadi hingga hari ini adalah ribuan rakyat kehilangan hak dasar, rakyat bunuh-bunuhan dan bahkan kemiskinan tanpa tanah di rumah mereka sendiri.

Dalam siaran pers diterangkan, tanah Tampah Boleq merupakan tanah yang sejak ratusan tahun silam telah diakui oleh masyarakat Lombok sebagai tanah adat. Hal tersebut dibuktikan dengan dijadikannya area tanah sebagai lokasi pelaksanaan pesta adat Bau Nyale yang diwariskan secara turun temurun. Selain kontur tanah yang datar dan luas, area tanah adat Tampah Boleq sangat eksotik sehingga memancing investor yang bergerak di bidang pariwisata untuk melakukan privatisasi terhadap tanah tersebut dan kehawatiran masyarakat tersebut dibuktikan oleh maraknya penjualan tanah pesisir yang faktanya kini telah diakui sebagai hak milik pribadi atau perusahaan.

Sehingga atas dasar kekhawatiran itu, maka masyarakat Lombok yang diwakili oleh 4 (empat) desa yang berada dekat dengan lokasi tanah berinisiatif dan bekerjasama untuk membuat Surat Kesepakatan Bersama (SKM) pada tanggal 27 April 2001 yang menyepakati bahwa tanah Tampah Boleq adalah hak ulayat yang tidak boleh diperjualbelikan oleh siapapun.

Pada tahun 2002 terindikasi ada upaya dari beberapa oknum dengan mengatasnamakan masyarakat untuk memperjualbelikan tanah Tampah Boleq kepada PT. La Dolce Vita yang berkedudukan di Mataram yang dalam surat “Pernyataan Tanda Jadi’’ adalah milik dari Nona Masde Loise Sipahutar, akan tetapi faktanya pemilik perusahaan enggan untuk melakukan proses jual beli dengan alasan beberapa oknum tersebut diberikan kuasa oleh masyarakat.

Akan tetapi, perusahaan menginginkan proses pembelian tanah Tampah Boleq harus melalui hak milik orang per orang, sehingga pada tahun 2002 oknum tersebut mengupayakan agar tanah tersebut seolah olah diberikan wewenang hak garap kepada 26 orang yang mayoritas orang-orang tersebut berasal dari luar wilayah Kecamatan Jerowaru yang sebagian adalah para pejabat.

Pada tahun 2008 masyarakat melakukan advokasi dan investigasi terkait 26 orang yang dianggap memiliki hak garap atas tanah Tampah Boleq. Dan fakta-fakta yang ditemukan adalah 26 orang tersebut mengakui secara terang terangan bahwa secara sah tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut dan tidak mengetahui luas, lokasi tanah yang secara tertulis diakui sebagai milik mereka dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa pihak-pihak tertentu tidak pernah mengakui telah melakukan segala bentuk proses jual beli atas tanah tersebut.

Sehubungan dengan adanya kegiatan pemagaran tanah Tampah Boleq yang berlokasi di Desa Seriwe Kecamatan Jerowaru oleh pihak atas nama PT. Temada Pumas Abadi dan atas dasar SP Bupati Lombok Timur No. 503/1616/PPT.II/2016 tanggal 25 April 2016 dan KEP. KA : BPT Lombok Timur IMB No. 1621/503/PPT.II/08/04/2016 tanggal 26 April 2016 telah berani mengklaim bahwa tanah tersebut sudah menjadi milik pihak tertentu.

Mengingat hal tersebut, atas nama Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) melakukan perlawanan terhadap adanya indikasi perebutan hak-hak dasar atas status kepemilikan tanah Tampah Boleq yang diklaim menjadi milik perusahaan tersebut. Sejarah membuktikan bahwa tanah Tampah Boleq menjadi saksi selama ratusan tahun gelaran budaya pesta adat bau nyale yang notabene menjadi pesta budaya tahunan rakyat Lombok Timur khususnya wilayah Selatan dan seluruh masyarakat Nusa Tenggara Barat pada umumnya.

Kilas balik terhadap adanya rutinitas budaya tersebut semakin mempertegas status tanah Tampah Boleq yang selama beratus-ratus tahun yang silam telah menjadi bagian dari bukti sejarah sekaligus lokasi perayaan budaya pesta adat Bau Nyale. Ketidakjelasan dasar pihak perusahaan tersebut yang telah berani melakukan proses jual beli dan dengan siapa dan disahkan pula oleh siapa adalah hal yang harus dipertanyakan.

Maka dengan adanya bukti-bukti sejarah tersebut ALARM mempertegaskan bahwa tanah tersebut telah diakui oleh seluruh masyarakat, kelompok adat, kelompok budaya dan pemerhati pariwisata Lombok bagian Selatan sebagai tanah ulayat dalam ruang lingkup kemasyarakatan desa, Kecamatan, Kabupaten bahkan NTB secara menyeluruh.

Dari data-data yang berhasil ALARM kumpulkan dapat disimpulkan bahwa proses jual beli tanah Tampah Boleq ada dalam ruang cacat hukum karena nama-nama yang bertanda-tangan pada data tersebut bukanlah warga Pemongkong asli melainkan penduduk luar yang mengatasnamakan dirinya masyarakat Desa Pemongkong. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya tindakan itu adalah upaya melawan hukum.

Untuk itulah ALARM selaku perwakilan masyarakat Sasak serta mewakili aspirasi masyarakat pecinta Pesta Adat Bau Nyale mengajukan keberatan dan menolak secara tegas tindakan pemagaran dan status kepemilikan atas nama perusahaan tersebut, karena didasarkan atas fakta-fakta sejarah dan fakta hukum sangatlah tidak berdasar dan masih terhitung cacat. Dan ALARM melayangkan desakan kepada Bupati Lombok Timur untuk segera mengambil tindakan preventif, cepat, tepat, dan efektif terhadap kasus kepemilikan tanah Tampah Boleq dalam bentuk pernyataan sikap.

Pernyataan sikap Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) adalah sebagai berikut :
1. Mendesak Bupati untuk mengembalikan tanah Tampah Boleq menjadi tanah Ulayat dan dijadikan sebagai lokasi pelaksaan pesta adat Bau Nyale;
2. Mendesak Bupati selaku pemilik wilayah untuk mengusut tuntas pembuatan sertifikat palsu dan membatalkan segala pembangunan dalam bentuk apapun sebelum permasalahan ini diselesaikan;
3. Mendesak PT. Tamada Pumas Abadi untuk tidak melakukan aktivitas pembangunan dalam bentuk apapun;
4. Menuntut Bupati untuk segera mengusut oknum-oknum yang terlibat dalam penjualan tanah ulayat Tampah Boleq.

Demikianlah pernyataan sikap yang dibuat. Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) berjanji akan terus mempertahankan hak-hak dasar selaku warga negara sampai kapanpun dan dengan tindakan apapun atas segala bentuk kegiatan atau perbuatan yang telah meresahkan masyarakat saat ini.

Laporan: Eko Arifianto

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed