oleh

Tersangkanya Kadispora Garut, “Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum Pemda Garut Dalam Kasus Buper Citiis berdsarkan Teori Corporate Crime Liability”

Penetapan Status tersangka yang di lakukan Oleh Polda Jabar terhadap Kadispora Kab. Garut Saudara Kuswendi dengan dakwaan melanggar UU PPLH No 32 Tahun 2009 Pasal 109 pada proyek Bumi Perkemahan Citiis Garut dalam sudut pandang Pertanggung Jawaban Pidana cukup menyisakan pertanyaan mendasar bahwa secara teoritis dalam kasus ini Kadispora ( Kepala dinas Pemuda dan Olahraga ) adalah sebuah “jabatan” yang  dikategorikan sebagai subjek hukum, karena jabatan dibebani kewajiban dan dijadikan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum ( logemann dan Ultrecht ). Artinya ketika pertanggungjawaban pidana dibebankan terhadap jabatan kadispora maka pendalamannya lainnya adalah sejauh mana keterlibatan si Pemberi Delegasi dalam Hal ini Bupati Garut dalam konteks ( Doctrine Of Delegation ) beradasarkan prinsip-prinsip pertanggung jawaban pidana pada badan hukum pemerintah ( Korporasi ).

Dalam crime corporate liability, subjek hukum tidak hanya melekat pada person atau orang saja melainkan jabatan-jabatan dalam korporasi adalah subjek hukum baru yang bertindak untuk dan atas nama korporasi ( badan hukum pemerintah ). Pertanyaan nya adalah ketika saudara Kuswendi ditetapkan sebagai tersangaka dalam melaksanakan tugasnya, maka apakah pertanggung jawaban pidana atas kesalahannya hanya ditanggung oleh sendiri secara person ?

Delik jabatan dalam ilmu pidana disebut delik Propria yaitu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang dengan kualitas tertentu,kualitas disini adalah jabatan-jabatan yang merupakan personifikasi terhadap person sehingga ketika person itu melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya maka kualifikasi nya menjadi delik jabatan.

kesulitan mendeteksi kejahatan korporasi ( Badan hukum Pemerintah ) dalam delik jabatan ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime menurut Hazel Croall, meliputi :

  1. 1. Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Of Responsibility)
  2. 2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim)
  3. 3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law)
  4. 4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And Prosecution).

Jadi yang harus diperluas dalam penuntutan terhadap jabatan kadispora kab. Garut adalah sejauh mana fungsi jabatan lainnya dalam perkara kasus BUPER Citiis dalam dakwaan pasal 109 UU PPLH terkait tidak adanya AMDAL. Keterikatan jabatan lainnya dapat kita lihat pada ketentuan pasal 71 dan 72 UU PPLH yang secara tegas mewajibkan Bupati dan Pengawas yang diangkat dalam pengawasn lingkungan untuk memastikan setiap aktivitas pemerintahan dalam kegiatan usaha lingkungan harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan, bahkan tanggung jawab terhadap kewajiban Hukum Bupati dan Pejabat Pengawasan apabila tidak dilaksanakan sangsinya adalah Pidana sesuai ketentuan Pasal 112 UU PPLH.

Dalam kasus BUPER yang melibatkan kadispora Kab.Garut unsur jabatan lainnya dalam doctrine of delegation jelas memiliki keterlibatan dan hubungan langsung dalam sisi pengawasan sehingga pemenuhan delik pada Bupati Garut dan Pejabat Pengawas yang ditunjuk adalah delik Omision yang harusnya dijadikan perluasan dakwaan dengan adanya keterlibatan pihak-pihak lain dalam jabatan-jabatan Pemerintahan daerah menurut sub ordinate bahwa seorang kepala dinas adalah fungsi nya membantu Bupati dalam melaksanakan Pemerintahan di suatu daerah.

Dalam kasus ini seharusnya APH bisa lebih mendalami keterlibatan pihak-pihak lain, karena tidak mungkin apabila Pembangunan BUPER dalam Pelaksanaan Tehnis dan Adminsitrasinya tidak diketahui oleh jabatan-jabatan lainnya yang dalam hal ini jabatan Bupati, Sekda dan Pejabat Pengawas yang ditunjuk. Hal ini penting dalam penegasan tujuan hukum yang melihat bahwa tidak hanya mencari keadilan hukum saja, melainkan mencari kepastian hukum terkait subjek hukum yang terlibat dalam sebuah kasus jabatan-jabatan badan hukum pemerintah.

Pendekatan APH bisa menggunakan Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum dimana seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another), atau melalui pendekatan doctrin of aggregation, menurut doctrine ini, agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, diatributkan pada korporasi sehingga korporasi dibebani pertanggungjawaban pidana. Dan atau doctrine of delegation, yang menurut doktrin ini untuk membebankan tanggungjawab kepada korporasi atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai, pengurus didasarkan pada pendelegasian kewenangan.

Tulisan ini menggunakan pendekatan Hukum Tata Negara dan Adminstrasi Negara berdasakan keberadaan jabatan-jabatan, pengisian jabatan dan sejauh mana pertanggung jawaban apabila terjadi sebuah delik Jabatan dalam kasus Bumi Perkemahan Citiis yang melibatkan Korporasi ( Badan Hukum Pemerintahan Kabupaten Garut ).

Penulis : Indra Kurniawan, S.H (Pengamat Politik Hukum Tata Negara)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed