oleh

Segera Hentikan Pentas Lumba-Lumba di Kabupaten Garut, “Disdik Harus Tegas”

GARUT – Adanya pentas Lumba-lumba dan aneka satwa yang berlangsung di samping pusat perbelanjaan Ramayana Departement Store menunjukan masih lemahnya sisi pengawasan dan penindakan pemerintah, dimana kami dari Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) menilai dari sisi yuridis formal, bahwa kegiata tersebut bisa menimbulkan pidana bagi penyelenggara. Hal tersebut tentu bukan tanfa sebuah alasan dari tinjauan hukum.

Hasil kajian literasi kami dari beberapa Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) terhadap sirkus tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan, apakah ada nilai edukasi dalam atraksi lumba-lumba di lapangan samping Ramayana itu?, atau hanya kedok eksploitasi?. Diskursus ini dimulai dari dua pertanyaan, dimana dibeberapa titik strategis dipasang spanduk iklan “Pentas Lumba-lumba” yang kami lihat di beberapa ruas jalan yang ada di Kabupaten Garut. Sontak teringat film Dolphin Tale yang dirilis tahun 2011, dimana film tersebut menceritakan lumba-lumba berekor prostetik yang harus belajar berenang. sedih, lucu, dan bahagia melihat lumba-lumba tersebut pada akhirnya bisa berenang bebas dilaut lepas.

Kesedihan kami dari Mahasiswa STHG saat ini tentu berbeda dari film dolphin tale yang sempat menjadi film kegemaran disaat libur sekolah, yaitu saat mengetahui yang akan di pentaskan dilapangan samping Ramayana adalah lumba-lumba. Belum banyak yang mengetahui bahwa Lumba-lumba merupakan jenis mamalia laut yang termasuk dalam hewan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, aturan ini dirinci dengan peraturan teknis pada Perpres Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan diperkuat dengan PP No 7 tahun 1999 yang memasukan lumba-lumba ke dalam daftar hewan yang dilindungi.

Selain itu, sanksi untuk pihak yang melanggar undang-undang konservasi dapat dikenakan ancaman yang cukup berat. Berdasarkan pasal 40 ayat (2) menyebutkan “Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratusjuta rupiah)” sementara, pasal 21 ayat (2) huruf d lebih menegaskan dengan adanya perniagaan, “memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia”.

Selain itu, kami menafsirkan bahwa barang siapa dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak  seratus juta rupiah.

Terlebih tahun 2013 Dalam Surat Dirjen PHKA No. S. 388/IV-KKH/2013 dinyatakan bahwa BKSDA Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa kecuali berkewajiban untuk, menertibkan dan menghentikan segala kegiatan sirkus lumba-lumba keliling di wilayah kerja masing-masing, mengambil tindakan untuk menarik kembali satwa tersebut ke lembaga konservasi asalnya serta tidak mengeluarkan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) bagi peragaan Lumba-lumba keliling.

Mirisnya Indonesia salah satu negara yang masih melegalkan sirkus Lumba-Lumba. Berdasarkan rilis bersama dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN), AFJ dan Change Indonesia dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara terakhir di dunia yang masih membiarkan sirkus lumba-lumba keliling beroperasi. Ini bukan sesuatu yang pantas dibanggakan, sirkus keliling lumba-lumba sudah dilarang di seluruh dunia untuk alasan yang tepat.

Tidak akan selesai persoalan ini jika para stakeholder mengabaikan aturan-aturan yang ada, demi memperoleh keuntungan saja. Kembali ke pertanyaan awal, nilai edukasi apa yang ada dalam pentas/atraksi lumba-lumba tersebut? Bukankah memberitahu anak-anak bahwa Lumba-lumba adalah hewan yang dilindungi dan terancam kelestarian itu bagian dari edukasi, memberitahu bahwa habitat asli lumba-lumba itu di lautan lepas, bukan di kolam yang ukurannya terbatas. Sementara, belum diketahui jelas apakah air kolam tersebut aman untuk lumba-lumba?. Sementara air dalam kolam yang ditempatkan lumba-lumba itu rata-rata mengandung campuran klorin, kaporit semacam zat pemutih dan pembunuh kuman dalam air. dimana zat tersebut sangat berbahaya untuk Lumba-lumba.

Selain itu, apakah dalam sirkus Lumba-lumba para instruktur memberi pengatahuan bahwa lumba-lumba akan memberikan karangan rumput laut untuk para betinanya sebelum mereka melakukan perkawinan?, apakah para instruktur menerangkan bagaimana mereka menjaga anaknya?, apakah kamu diberitahu lumba-lumba melompat hanya untuk mengambil nafas? apakah penyelenggara menjelaskan bahwa mereka saling bercanda dengan lumba-lumba lain dengan suara ultrasoniknya?  apakah kamu diberi tahu bahwa lumba-lumba sangat cerdas dan mampu mengenal kawannya yang sudah 20 tahun tidak berjumpa?.

Kita hanya di pertontonkan lumba-lumba lonca dan lainnya, apa itu edukasi?, Atraksi dan sirkus lumba-lumba sebenarnya tak lebih dari manifestasi ketamakan manusia yang ingin mendapatkan keuntungan secara materi semata, tapi tidak baik bagi kelestarian Lumba-lumba itu sendiri. Sudah lengkap kesedihan sebagai warga Garut mengenai penurunan status cagar alam gunung Papandayan dan Kamojang, jangan sampai persoalan pentas atau atraksi lumba-lumba ini mencerminkan Garut sebagai daerah yang tidak ramah untuk kepentingan pelestarian lingkungan termasuk pelestarian hewan yang dilindungi. Yang terakhir perlu penulis katakan, lumba-lumba bukan badut penghibur.

Kami dari mahasiswa STHG yang merasa perlu menyampaikan apa yang sesuai dengan hukum formal di negara kita, kami meminta pemerintah Kabupaten Garut untuk segera mengambil langkah sesuai prosedur hukum terhadap pentas tersebut dan meminta Kepala Dinas Pendidikan untuk mengeluarkan surat edaran kepada sekolah agar tidak mengunjungi pentas yang notabene edukasi padahal bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan norma hukum kita.

 

Pebulis : Mahasiswa STHG (Julia R, Windan J, Asep M, Ade J)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed