oleh

Tugas Inspektorat Bukan Menjaga Koruptor

Pengawasan intern Kementerian/Lembaga ataupun pemerintah daerah dilakukan oleh APIP. APIP sendiri terdiri dari Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota.

Sesuai ketentuan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir kali diubah dengan UU No.9 Tahun 2015, kepala daerah wajib melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan itu, kepala daerah dibantu oleh Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota.

Lantas, bagaimana kalau dalam tubuh APIP sendiri seolah menjadi penjaga para pelaku korupsi atau penjaga adanya indikasi korupsi bahkan lebih jauhnya terlibat dalam siklus mata rantai korupsi? Tidak terbayangkan kehancuran moralitas yang dimiliki petugas APIP tersebut, tentu orang itu adalah seorang oknum. Seperti contoh, pada pada Mei tahun 2016, KPK menangkap seorang APIP Kementerian. KPK menduga Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyuap Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Selain itu, APIP Kabupaten Garut dalam sebuah surat resmi nomor 700/500-Insp/2019 dengan lampiran dari tim penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK-RI (TLHP BPK-RI) menyebutkan, “berdasarkan peraturan BPK RI nomor 2 tahun 2017 tentang pemantauan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK, dan hasil koordinasi kami dengan BPK RI perwakilan jawa barat, perlu diketahui bahwa pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI merupakan kewenangan BPK. Adapun kewenangan Inspektorat daerah Kabupaten Garut hanya bertindak sebagai fasilitator saat BPK melaksanakan pemutakhiran pemantauan tindak lanjut di lapangan”. Dari narasi terebut, tentunya publik ingin mengetahui pasca dibentuknya Tim Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK-RI (TLHP BPK-RI) difungsikan dan/atau berpungsinya seperti apa. Tentu harus sesuai dengan sisi sosiologis, yuridis dan urgensinya dibentuk tim tersebut, karena APIP bukan penjaga “Korupsi”.

Telah banyak, oknum auditor dari Inspektorat Jendral atau APIP yang tertangkap tangan oleh Lembaga anti rasuaih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masifnya KPK, belum teuji nyalinya di Kabupaten Garut, terakhir kamilnya, KPK menangkap pejabat di Tasik Malaya berikut dengan rombongan oknum kepala dinasnya.

Perlu diketahui, sebelumnya media online kapernews.com (Infodesaku Mediatama Group) menyampaikan wawancara tertulis terkait kerugian keuangan negara atas pembangunan ART Center, yang mana BPK RI mengidentifikasi temuan kerugian hingga 2 Milyar lebih yang hingga saat ini belum dipulihkan atas kerugian tersebut secara utuh. Dari beberapa yang ditanyakan melalui surat tersebut dan tidak dijawab seluruhnya, diantaranya :

  1. 1. Langkah apa yang sudah ditempuh dan/atau dilakukan tim penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI Perwakilan Jawa Barat terhadap temuan tersebut, sertakan bukti/salinan kongkrit.
  2. 2. Apakah hal tersebut pada nomor 2 termasuk dalam kerugian keuangan negara yang diatur dalam pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Tipikor? Jelaskan

Dari beberapa pertanyaan, tidak satupun yang dapat penjelasan secara komperhensif, hanya Inspektorat menyarankan untuk melakukan konsultasi secara langsung kepada BPK RI.

Perlu diketahui, tidak hanya di KPK. Sekitar Juli 2016, Kejaksaan Negeri Mejayan pernah menetapkan seorang APIP sebagai tersangka kasus korupsi. APIP dimaksud adalah Inspektur Kabupaten Madiun Benny Adiwijaya. Beny diduga menyalahgunakan anggaran Inspektorat Kabupaten Madiun yang sebelumnya bernama Badan Pengawasan pada tahun anggaran 2012-2014.

Akibat perbuatan Benny, keuangan negara diduga dirugikan Rp2 miliar. Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Benny divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair dua bulan kurungan. Benny juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,302 miliar subsidair dua tahun penjara.

Masih di tahun yang sama, pada Mei 2016, Kejaksaan Agung melakukan penahanan terhadap Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkalis Burhanuddin dan Inspektur Kabupaten Bengkalis Mukhlis. Keduanya bersama-sama Bupati Bengkalis periode 2010-2015, Herliyan Saleh diduga melakukan korupsi dalam penyertaan modal pemerintah ke PT Bumi Laksana Jaya (BLJ).

Atas tindak pidana yang dilakukan tiga pejabat Kabupaten Bengkalis dan Komisaris PT BLJ Ribut Susanto tersebut, kerugian keuangan negara ditaksir Rp265 miliar. Alhasil, sesuai putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Herliyan divonis enam tahun penjara, sedangkan Burhanuddin, Mukhlis, dan Ribut, masing-masing divonis tiga tahun empat bulan penjara.

Terkait sejumlah kasus korupsi yang menjerat APIP, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran Prof Nandang Alamsah Deliarnoor berpendapat, kasus-kasus tersebut sebagai fenomena yang positif. Proses hukum terhadap para APIP itu membuktikan bahwa check and balances system telah berjalan.

“APIP juga harus dikontrol, KPK juga harus dikontrol. Ingat, power tend to corrupt, absolut power tend to corrupt absolutely. Persoalannya, ada di mental juga selain sistem,” terang Prof Nandang Alamsah Deliarnoor, (pernyataan tersebut dikutif dari hukumonline.com).

Prof Nandang mengungkapkan, menurut Peter Carey, praktik Inggris terbebas dari korupsi setelah melewati empat movement secara simultan. Pertama, mendorong kemitraan pemerintah dengan publik-swasta. Kedua, membentuk komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara. Ketiga, meningkatkan upah pegawai negeri sipil termasuk hakim, dan keempat, revolusi mental.

Sungguh ironis, mungkin kata yang tepat jika melihat kasus-kasus korupsi yang menjerat para APIP. Padahal, pembentukan APIP sebagaimana amanat Pasal 58 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Amanat ini dijawantahkan dalam Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pasal 48 ayat (2) PP No.60 Tahun 2008 menyebutkan, APIP melakukan pengawasan intern melalui : a. audit; b. reviu; c. evaluasi; d. pemantauan; dan e. kegiatan pengawasan lainnya.

Dikutip dari Laporan Tahunan KPK 2016, KPK telah memberikan rekomendasi atas hasil koordinasi dan supervisi yang mereka lakukan. Salah satu sektor yang dianggap harus dibenahi adalah penguatan APIP. Sebab, selama ini, peran APIP yang seharusnya independen dan bisa menjadi pengawas pemerintah daerah justru tidak berjalan.

Sebaliknya, APIP seolah-olah berada pada posisi “melindungi” jika pemerintah daerah melakukan penyelewengan. Faktanya, hingga kini, KPK belum pernah menerima laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi dari APIP. Padahal, sebagai pengawas, harusnya APIP yang terlebih dahulu mengetahui indikasi tersebut.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahan di era Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 Tahun2017 tentang Kebijakan Pengawasan di Lingkungan Kemendagri dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahun 2017. Peraturan ini menggariskan empat tujuan kebijakan pengawasan di lingkungan Kemendagri dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah tahun 2017

Pasal 3 Permendagri No. 76 Tahun 2017 menyebutkan, “tujuan Kebijakan Pengawasan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2017 untuk:
a. Meningkatkan kualitas pengawasan internal di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;
b. Mensinergikan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah;dan
c. Meningkatkan penjaminanmutu atas penyelenggaraan pemerintahan; dan
d. Meningkatkan kepercayaan masyarakat atas pengawasan APIP.”
 

Pada tahun 2018, APIP Kabupaten Garut melakukan audit dengan sampel 120 Desa dari 421 Desa yang ada di Kabupaten Garut. Tentu bukan tidak mungkin resiko indikasi dugaan korupsi menjadi lahan basah oknum APIP.

Dalam hal ini, penulis berharap, dari kekurang sempurnaan dalam menyelaraskan peraturan perundang-undangan merupakan sebuah kekurang fahaman, jadi penulis sangat mengharapkan masukan dari semua pihak untuk lebih baik lagi dalam penulisan sebuah opini publik.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *