oleh

Diduga Lakukan Pemalsuan, Oknum dokter Dinkes Garut Dijaga Baju Besi? “Korupsi, Pidum Vs Equality Before The Law”

GARUT, KAPERNEWS.COM – Adanya temuan dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap basah yang dilakukan oknum dokter di Dinas Kesehatan bidang Yankes oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) perwakilan Jawa Barat menambah catatan merah terhadap kinerja ASN di lingkungan Pemda Garut. Selain itu, Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) seolah ikut terbungkam atas kasus ini.

“Oknum dr AS telah ketauan saat pemeriksaan BPK RI melakukan pemeriksaan tahun anggaran 2017, dimana terdapat kerugian negara dari pajak makan dan minum (Mamin) yang tidak disetorkan sebesar Rp. 15.000.000. Bahkan menurut kepala Bapenda, membenarkan adanya pemalsuan cap dan tanda tangan Bapenda,” jelas salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) Asep.

Apabila kita lihat dari unsur formil dan materil, perbuatan oknum dokter ini jelas sudah terpenuhi, namum menjadi pertanyaan besar, karena hingga saat ini tidak ada tindakan penegakan hukum nyata terhadap pelaku pemalsuan cap dan tanda tangan tersebut.

“Boleh, kerugian negaranya dianggap kecil hanya Rp. 15 juta, selain dugaan pidana korupsi, ada unsur pidana umum juga. Tapi aneh, hingga saat ini, APIP, APH belun terdengar kepublik memproses perbuatan melawan hukum ini dan membuka secara terang benderang ke public agar tidak menyimpan kecurigaan kalau di Kabupaten Garut tempat teraman para pelaku koruptor dan oknum pejabat yang melakukan perbuatan melawan hukum,” beber Asep.

Kejadian tersebut pun dibenarkan oleh kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Garut Basuki Eko.

Dijelaskan Eko, jadi ini diawali dari pemeeriksaan BPK pada saat melakukan pemeriksaan di DInas Kesehatan Kabupaten Garut pada tahun 2017, terang Eko seperti dikutip dari logikanews chanel.

“BPK menemukan jumlah perbedaan angka, berapa pajak yang harus disetorkan kepada kami (Bapenda) dan setelah BPK melakukan konfirmasi kepada kami (Bapenda) terdapat perbedaan angka,” akuinya.

Lanjut Asep menerangkan, menurut R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal” (hlm. 196), dalam pengertian memalsu surat dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

Jadi, jelas Asep yang masih mengunyah sekolah hukum di STHG ini, pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pemalsu tanda tangan suatu surat adalah enam tahun penjara. Namun, untuk dapat dikenai sanksi pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP ini sebagaimana dijelaskan R. Soesilo (hlm 195), surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:

  1. 1. Dapat menerbitkan hak, misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya.
  2. 2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya.
  3. 3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau
  4. 4. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi.

Asep juga menjelaskan delik-delik pemalsuan memang menarik untuk diperbincangkan dalam konteks hukum pidana, karena kalangan ahli hukum pidana memiliki pandangan yang berbeda terhadap delik ini. Sebagian mengatakan bahwa pemalsuan masuk kategori delik materiil, namun sebagian lagi menyatakan sebagai delik formil.

Jika pemalsuan digolongkan sebagai delik materiil, maka akibat yang dilarang harus muncul setelah perbuatan tersebut dilakukan, dan jika akibat yang dilarang tidak timbul, maka tidak digolongkan sebagai delik. Namun, jika digolongkan sebagai delik formil, maka akibat tersebut tidak mutlak sebagai unsur, sehingga sepanjang perbuatan sudah dilakukan, maka tidak penting mempertimbangka akibat yang dilarang muncul atau tidak.

Diatas dijelaskan, pasal 263 dan Pasal 266 berada dalam satu bab yaitu Bab XII tentang Pemalsuan dalam Surat-Surat (valschheid in geschrift) yang  berturut-turut memuat empat title, semuanya tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum.

“Pemalsuan dalam surat-suart dianggap lebih bersifat mengenai kepentingan masyarakat, yaitu kepercayaan masyarakat kepada isi surat-surat daripada bersifat kepentingan kepentingan pribadi yang mungkin secara langsung dirugikan dengan pemalsuan surat ini. Secara umum, unsur-unsur pemalsuan surat dalam Bab XII ini terdiri dari  (1) suatu surat yang dapat menghasilkan sesuatu hak sesuatu perjanjian utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu kejadian; (2) membuat surat palsu (artinya surat itu sudah dari mulainya palsu) atau memalsukan surat (artinya surat itu tadinya benar, tetapi kemudian palsu); (3) tujuan menggunakan atau digunakan oleh orang lain; (4) dapat menimbulkan kerugian,” imbuh Asep.

Dalam melakukan tafsir atas suatu pasal dalam KUHP, maka secara teori dapat digunakan dengan mengurai unsur-unsur yang objektf dan unsur-unsur subjektf dari pasal tersebut. Unsur-unsur yang subyektif. Satochid Kartanegara, menerangkan tentang unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat diluar manusia, yaitu yang berupa suatu tindak tanduk atau  suatu tindakan, suatu akibat tertentu (eem bepaald gevolg) dan keadaan (omstandddigheid), yang kesemuanya ini dilarang oleh undang-undang. Sedangkan unsur-unsur yang subyektif dapat berupa dapat dipertanggung jawabkan dan kesalahan.

Pasal 263 jika diurai unsur-unsur berdasakan teori hukum pidana maka dapat dilihat dua unsur bersarnya yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif, meliputi perbuatan: (a) membuat surat palsu, (b) memalsu. Objeknya yakni surat: (a) yang dapat menimbulkan hak, (b) yang menimbulkan suatu perikatan, (c)yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; (d) ang diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal, dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakai surat tertentu.

Unsur subjektif: dengan maksud untuk menggunakanya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut. Pasal ini mengindikasikan, bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan maka unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah:

Sementara itu, Asep juga menjelaskan, perbuatan yang dilarang terhadap empat macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu. Menggunakan sebuah surat adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya. Ada dua syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain. Kerugian tersebut harus bisa diperhitungkan (Adami Chazawi), jika kerugian tidak diderita oleh para pihak, maka unsur ini tidak terpenuhi.

Dalam pasal ini, pemalsuan surat harus dilakukan dengan sengaja (dengan maksud) dipergunakan sendiri atau menyuruh orang lain  mempergunakan surat palsu tersebut yang seolah olah asli. Dengan demikian orang yang menggunakan surat palsu itu  trsebut harus mengetahui benar-benar bahwa surat itu palsu, jika tidak mengetahui maka tidak dapat dihukum. Pengetahuan ini penting karena unsur kesengajaan menghendeki pengetahuan  dan keinginan (willen en wetten). Dengan demikian harus ada unsur pengetahuan dari orang yang mempergunakan surat palsu tersebut, seolah olah surat itu benar dan bukan palsu.

Lalu bagaimana Pertanggungjawaban pidananya,?

Untuk mengetahui apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawaban atas delik yang dilakuknanya maka harus dilihat dapat kemamuan jiwa (versdelijke vermogens), doktrin ini secara lebih lengkap disebut dengan actus non facit reum nisi mens sit rea (actus reus dan mens rea) : suatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali dilakukan dengan niat jahat atau geen straf zonder schuld. Kesalahan merupakan unsur penting dari pertanggungjawaban pidana disamping unsur lainnya yaitu kemampuan bertanggung jawab dan tiadanya alasan pemaaf.

Kesalahan dibagi dua, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Dalam konteks kasus ini maka yang akan ditafsirkan adalah kesengaajaan karena Pasal  263 KUHP menghendaki adanya unsur kesengajaan (dengan maksud). Kesengajaa : atau dolus (opzet) atau intention tidak dirumuskan dalam KUHP namun ada dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) yaitu menghendaki dan menginsafi  suatu tindakan beserta akibat-akibatnya (willen dan wetten) kategori perbuatan ini disebut juga dengan dolus manus. Untuk mengetahui ada tidaknya kesengajaan dapat mempertimbangkan dua theory berikut ini yaitu :

  1. 1. Teori kehendak (willstheorie) yang menghendaki perbuatan dan akibat-akibatnya teori kehendak ini dikenal dengan prinsip dolus manus.
  2. 2. Teori membayangkan (voorstelingstheorie) yaitu suatu akibat tidak mungkin dikehaki karena pada prinsipnya manusia hanya memiliki kehendak untuk melaksanakan perbuaan tetapi tidak dapat menghendaki akibatnya.

Dalam praktik tidak ada perbedaan dalam menerapkan teori ini, kecuali hanya perbedaan istilah saja. Karena hanya ingin mengukur, apakah akibat tersebut dikehendaki atau dibayangkan saja. Dalam konteks kelalaian maka ada dua jenis yaitu kelalaian berat (culva lata) dinilai karena kekurang waspadaan atau kekurang hati-hatian dari pelaku dan kelalaian ringan (culva levis) karena tingkat kecerdasan pelaku yang diperbandingkan dengan tingkat kecerdasan rata-rata pada umumnya. Ukuran kecerdasan ini mengacu pada pengetahuan pelaku dan persepsi pelaku sebagai manusia normal. Untuk mengukur tingkat kelalaian ini pun, dapat menggunakan tingkat usia pelaku dan keadaan fisik pelaku. Tidak bisa menyamaratakan antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain karena tingkat kecerdasan rata rata orang juga dipengaruhi oleh usia, sehingga menimbulkan perilaku ketidakhati-hatian (Sianturi).

Pasal 266 KUHP

  • Barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarnanya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keteranganya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu  dapat menimbjlkan kerugian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  • Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memaki akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Tafsir terhadap pasal ini tidak jauh berbeda dengan tafsir pasal 263. Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah  pemaknaan akta otentik dan dapat menimbulkan kerugian. Akte otentik ditafsirkan adalah akta-akta atau surat barharga yang keberadaannya diatur dalam peraturan perundabg-undangan. Akta otentif bisa diterbitkan oleh notaris bisa juga diterbitkan oleh pejabat lain yang diakui oleh peraturan perundang-undangan misalnya akta nikah yang diterbitkan oleh kantor catatan sipil atau kantor urusan agama.  Tafsir berikutnya adalah “dapat menimbulkan kerugian”. Kerugian bukanlah hal mutlak yang harus ada, karena pasal ini menggunakan kata-kata “dapat”, ini artinya boleh ada kerugian boleh juga tanpa adanya kerugian. Namun demikian, menurut menulis, jika Pasal 266 digolongkan sebagai delik materiil maka akibat yang dilarang harus timbul lebih dahulu, dan akibat akibat yang dilarang ini merupakan unsur mutlak yang harus ada dan bisa dibuktikan di pengadilan.

 

Penulis : BS/Suradi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed