oleh

Sugeng Terharu, Makam Srikandi Tanah Rencong Diziarahi Para Guru

BLORA, KAPERNEWS.COM – Sugeng Riyadi seorang cucu Panglima Mahmud menitikkan air mata ketika berbincang dengan rombongan pengajar dari Provinsi Aceh yang berziarah ke peristirahatan terakhir Srikandi Tanah Rencong Potjut Meurah Intan yang terletak di kompleks makam Tegalsari turut Desa Temurejo, Kecamatan Blora Kota, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (8/8/2019) sekitar pukul 14.30 WIB kemarin.

“Saya sering menangis jikalau bercerita tentang Potjut Meurah Intan. Soalnya sepertinya beliau ini adalah sosok pahlawan bangsa yang terlupakan,” kata Sugeng Riyadi (60) cucu dari Tengku Ibrahim alias Panglima Mahmud atau kerap disapa dengan Pang Mahmud, salah seorang pengawal setia Potjut Meurah Intan.

Foto : Ziarah para guru di makam Potjut Meurah Intan

Sugeng teringat ketika dirinya mendengar cerita turun-temurun dari keluarganya. Diceritakan almarhum Tarmudji ayahnya, saat Potjut dipanggil Bupati Blora, jalannya agak pincang. Dirinya terluka oleh bacokan klewang marsose-marsose penjajah kolonial Belanda. Lukanya ada di tiga tempat yaitu kepala, dada dan kaki.

“Ceritanya dari almarhum bapak saya, dulu sewaktu Perang Aceh 1873- 1904, para pejuang Aceh itu ditangkap di Aceh lalu dibawa ke Batavia. Tuanku Nurdin, Tjut Nyak Dien, Tuanku Putri, Potjut Meurah Intan, Tuanku Ibrahim, dan satunya saya lupa. Suami Potjut yaitu Sultan Abdul Majid menyerah dan ditangkap Belanda, tetapi Potjut Meurah Intan tidak mau menyerah dan terus berjuang, hingga akhirnya dibuang ke Jawa bersama putranya yang bernama Tuanku Nurdin dan Pang Mahmud pengawal setianya,” terangnya.

Menurut cerita, dulu sewaktu dibuang ke Blora, Potjut Meurah Intan ditampung di rumah keluarga Mbah Dono Muhammad, yang rumahnya sebelah Utara Masjid Agung Baitunnur Blora, sebelah Barat Alun-Alun Blora.

“Iya, Potjut Meurah Intan meninggal pada 1937 dimakamkan di makam Tegalsari sini. Tuanku Nurdin meninggal tahun 1959. Karena ikut istri kedua, jenasahnya dimakamkan di makam dekat stasiun Rembang. Sedang yang istri pertamanya dimakamkan di sini. Sedang Pang Mahmud menikah dapat orang Jawa, punya anak 8, termasuk bapak saya bernama Tarmudji yang lahir di tahun 1911 dan meninggal 1986 dan dimakamkan dekat dengan makam Pang Mahmud di Pemakaman Butoh ,” jelas pria beralamat di Jl. Agil Kusumodiyo 42 Blora ini.

Menurut Sugeng, tahun 1987 pertama kali kunjungan masyarakat Aceh se-Indonesia ke Blora dipimpin oleh Prof. Ali Hasjmy, Gubernur Aceh Periode 1957-1964. Seingatnya, saat itu Bupati Blora H. Soemarno, S.H.

“Saya ikut ke kantor kabupaten Blora. Dulu Prof. Ali Hasjmy juga berkata setelah pemugaran makam Tjut Nyak Dien rencana akan melakukan pemugaran makam Potjut Meurah Intan, tapi sebelum merealisasikan kok sudah keburu pensiun,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Terkait dengan kunjungan serta ziarah yang dilakukan, saat dikonfirmasi oleh Kapernews.com, Endang salah seorang guru inti dari Blora mengatakan bahwa ada 3 orang guru dari Provinsi Aceh, yakni Khairanil Fitri guru di SMA 1 Bireuen, Nurliati guru di SMA 3 Bireuen, dan Anwar guru di SMA 1 Samalanga Kota Juang Bireuen di Provinsi Aceh yang saat ini menjalankan tugas pertukaran pengajar dalam program kemitraan Direktorat Jenderal (Ditjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia.

“Iya, kebetulan saya ditunjuk Ditjen GTK menjadi guru inti, yang dalam program kemitraan ini akan mendampingi teman-teman yang berprofesi sebagai guru di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Nah, kebetulan sewaktu di Jakarta kemarin dipertemukan dengan teman-teman dari Aceh ini,” kata Endang Retno Murtiningsih, seorang guru di SMA1 Jepon yang beralamat di Jiken.

Namun ada sesuatu yang agak luput dari pandangan sebagian besar masyarakat Blora tentang penyebutan “Tjut” dan “Potjut”. Sehingga salah satu pengajar dari Aceh yakni Nurliati meluruskannya.

“Yang perlu diketahui bahwa “Potjut” itu gelar kebangsawanan di atas “Tjut”. Itu gelar yang terhormat. Dari keluarga kerajaan. Mereka itu tangguh-tangguh. Kalau melawan penjajahan agamanya kuat,” tutur Nurliati.

Jelasnya, bilamana seorang perempuan biasa menikah dengan laki-laki dari keluarga ningrat, maka anak akan ikut Ayah. Tapi begitu anak keluar, dan kawin dengan orang biasa, maka hilanglah gelarnya.

“Begitu halnya dengan Potjut, kalau menikah dengan orang biasa gelar kebangsawanannya akan hilang. Sehingga tetap dipertahankanlah Tengku dengan Potjut. Alhamdulillah, kami sangat bersyukur. Karena tidak semua masyarakat Aceh diberi kesempatan mengunjungi makam Potjut Meurah Intan, pejuang wanita dari Aceh yang dimakamkan di Blora sini. Kabar ini bisa jadi “oleh-oleh” buat masyarakat dan pemerintah Aceh,” ujar guru di SMA 3 Bireuen ini.

Di lain sisi, menurut juru kunci makam Mbah Modin Suparno (60) yang beralamat rumah di Dukuh Punggur Tegalan Desa Temurejo, bahwa makam Potjut Meurah Intan yang terletak di kompleks makam Tegalsari ini memang sering dikunjungi orang.

“Dulu pernah juga dari salah satu universitas di Semarang, satu rombongan sekitar 10 orang,” ungkap orang yang menjadi juru kunci makam sudah 2 tahun, yaitu sejak 2017 setelah menggantikan bapaknya yang bernama Sae’un meninggal dunia.

Antusiasme juga datang dari tokoh masyarakat Desa Temurejo bilamana makam pejuang wanita dari Aceh Potjut Meurah Intan akan dipugar.

“Saya bersama warga desa Temurejo hampir 6 tahun ini mencoba turut melestarikan sejarah perjuangan pahlawan bangsa. Waktu kecil saya melihat sendiri, rombongan para pejabat termasuk mantan Gubernur Aceh pada ke sini untuk meninjau. Kabarnya mau dipugar. Tapi kok sampai sekarang belum terealisasi. Kenapa makam pahlawan Aceh yang lainnya dipugar, sedang ini sama-sama pejuang kok tidak diperhatikan,” tandas Indra Agung Rustiawan (45) tokoh masyarakat desa Temurejo.

Seingat Indra, ada wacana juga tentang salah satu yayasan yang membeli tanah di dekat Lapangan Golf untuk lokasi pemindahan makam Potjut Meurah Intan.

“Iya, rencana dulu mau dipindah ke sana. Rencana mau dibangun aula, musholla, tempat parkir. Tapi anehnya rencana itu tidak jelas sampai sekarang,” pungkasnya. (Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed