oleh

Napak Tilas Leluhur, Samin Kembang Ingatkan Pemerintah

BLORA, KAPERNEWS.COM – Dalam rangka menyambut bulan
Suro, sekitar tigapuluh orang berkumpul di rumah Mbah Joko, tokoh sedulur Sikep
Dukuh Kembang, Desa Jurangjero, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora, Jawa
Tengah, Selasa (13/8/2019) siang kemarin.

“Mapak sasi Suro. Sejarah sepuh pinisepuh, yen dinten Jumat Kliwon utowo Selasa Kliwon wulangrehe para sepuh, para dewa, para ratu. Mangkane niki kula napak tilas para leluhur. Niki sing tata cara Jawa (Menyambut bulan Suro. Sejarah para orangtua, kalau hari Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon adalah waktu pengajarannya para orangtua, para dewa, para raja. Itulah kenapa saya melakukan napak tilas para leluhur. Ini yang tata cara Jawa,” kata Mbah Joko kepada Kapernews.com di rumah kediamannya, Selasa (13/8/2019).

Acara dihadiri oleh berbagai tokoh sedulur Sikep
yang ada di Blora, sedulur Tuban dan Grobogan. Selain acara makan bersama,
tampak saling tanya jawab di antara sedulur-sedulur dari berbagai daerah yang
ada.

“Kulo ditimbali Pak Joko mriki maturnuwun sanget.
Kula taksih diakoni nek bibit Jawa. Ayo podho nglakoni dalan sing bener, ojo ngantek
podho nyasar (Saya diundang Pak Joko ke sini, saya sangat berterimakasih. Saya
masih diakui kalau benih Jawa. Mari sama berjalan di jalan kebaikan, jangan
sampai tersesat),” ujar Sumari, sedulur dari Jatirogo Kabupaten Tuban yang
datang berempat satu rombongan.

Ketika dikonfirmasi Kapernews, menurut Mbah Joko,
tujuan saudara-saudara dari berbagai tempat berkumpul di rumahnya adalah untuk
menggalang kerukunan.

“Sedulur-sedulur wonten sing saking Tuban, Grobogan,
saking Sendangrejo Bogorejo, saking dusun Kembang Jurangjero mriki kiyambak, lan
saking Blora. Wontene dugi mriki sarembag mergi tujuane nggalang kerukunan. Mergi
kudu eroh dulur nek mboten dilampahi yo ora eroh. Tur yo ora oleh wakilan. (Saudara-saudara
ini ada yang dari Tuban, Grobogan, dari Sendangrejo Bogorejo, dari dusun
Kembang Jurangjero sini sendiri, dan dari Blora. Kenapa sampai berkumpul di
sini, karena tujuannya menggalang kerukunan. Karena kalau ingin melihat
saudaranya, kalau tidak dijalani ya tidak bisa. Terlebih lagi hal ini tidak
boleh mewakilkan pada orang lain),” terang lelaki yang pernah melakukan
perjalanan spiritual berjalan kaki ke Gunung Muria dari rumahnya di Kembang Jurangjero
Bogorejo Blora.

Dalam penuturan bahasa Jawanya, Mbah Joko mengatakan bahwa dalam kesempatan ini, selaku sedulur Sikep, ia juga memberikan peringatan agar sanak saudara semua bisa menjalankan kejujuran dan kesabaran.

“Sedulur-sedulur Sikep ben podho eling, sedulur Jawa supoyo ben podho eling, mergo kahanan alam wis podho tumindhak. Dho ngelingno sedulur, sing gelem nglakoni kejujuran, kesabaran. Kanggo patuladhan putra wayah ing benjang (Saudara-saudara Sikep agar sama ingat, saudara Jawa agar supaya ingat, karena alam ini sudah bergerak. Sama mengingatkan saudara semua agar mau menjalankan kejujuran dan kesabaran. Untuk suri tauladan anak cucu di kemudian hari),” jelasnya.

Lanjut Mbah Joko, sebagai sesama manusia yang
mempunyai keterbatasan, dirinya hanya memberikan masukan, bersyukur bila bisa
diterima semua pihak termasuk pemerintah pusat hingga daerah, agar laku orang
Jawa sebaiknya dicari dan dijalankan.

“Kula namung nderek urun-urun rembag. Mbok menawi
saged dipenggalih. Dados tiyang Jawi kedahipun dipadosi kersane nderek
ketingal. Mergi tiyang Jawi niki kawitan. Mangke nek lakune ditinggal dadose
alam goro-goro niki tumindhak. Mboten cilik ning gedhe-gedhenan (Saya hanya
turut memberikan masukan. Jikalau bisa dirasakan dengan hati nurani. Jadi orang
Jawa sebaiknya dicari agar supaya ikut kelihatan. Karena orang Jawa itu asal
mula. Kalau laku hidupnya ditelantarkan jadinya alam membuat bencana huru hara.
Tidak hanya kecil namun besar-besaran,” tandasnya.

Menurut pengamatannya, semua orang yang menjalani laku Jawa dan olah kebatinan dari semua agama dan kepercayaan sebetulnya sudah tahu tentang gambaran yang akan terjadi ini.

“Sedaya para wiku lan para winasis mestine sami
mangertos kahanan sing arep dereng kalampah. Niku namung gegambaran supoyo anak
putu sing mburi podho nduwe ati-ati, podho nduwe setiti, ono gegambaran nek
alam iki arep ono kahanan sing mboten nyenengake. (Semua para wiku dan orang-orang
pintar mestinya sama tahu tentang keadaan yang akan terjadi. Itu hanya sebagai gambaran
agar anak cucu nanti punya sikap kehati-hatian dan kewaspadaan bahwa ada gambaran
kalau nanti akan ada kondisi yang tidak mengenakkan hati),” pungkasnya. (Eko
Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed