oleh

Kontroversial RKUHP, Mahasiswa STHG Temukan Advokat dan Pers Bisa Terancam Pidana

GARUT, KAPERNEWS.COM – Permasalahan rancangan peraturan (kitab undang-undang hukum pidana, undang-undang ketenaga kerjaan, undang-undang pertanahan, undang-undang pemasyarakatan, undang-undang minerba, undang-undang KPK), pemindahan ibu kota dan permasalahan yang terjadi di Indonesia pada dasarnya tertumpu pada satu kesimpulan bahwa amanah reformasi yang telah dijaga selama 22 tahun telah dihianati.

Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) beberapa waktu lalu mengadakan diskusi fublik di aula STHG dengan beberapa narasumber dari Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Advokat dan akademisi.

Ketua Senat STHG, Dawam Riyadi mengatakan, peristiwa bersejarah tahun 1998, pada tahun ini serasa terulang kembali. Dimana ribuan mahasiswa turun kejalan untuk menyuarakan kebenaran. Sudah barang tentu pergerakan mahasiswa itu tidaklah semata-mata menaikan eksistensi dan lain sebagainya, namun semua pergerakan tersebut dilandasi oleh hati nurani mahasiswa sebagai penyambung lidah masyarakat. Dalam arti pergerakan mahasiswa diawali dengan ketidak sejahteraan rakyat, jelas Dawam.

Menurt ketua Senat STHG, permasalahan RKUHP pada saat ini adalah dimana isi yang ada didalamnya terdapat pasal-pasal kontroversial yang tidak sesuai dengan norma dan hukum positif Indonesia, setelah Mahasiswa se-Kabupaten Garut mengkaji dan berdiskusi dengan beberapa narasumber, kami menemukan beberapa pasal kontroversial, tegasnya.

Adapun pasal kontroversial yaitu Pasal 1, 2, dan 3. RKUHP
Dalam pasal 1 disebutkan adanya asas legalitas serta larangan penggunaan analogi. Pasal 1 “(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.” sedangkan pasal 2 memformalkan hukum adat, dimana hukum adat di Indonesia ini plural dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi penganalogian lain dari pasal-pasal RKUHP “Pasal 2 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.” ditambah dalam pasal 3 menyebutkan bahwa “Pasal 3 (2) Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.” dimana dengan pasal ini, hukum terasa semakin mengambang.

poto : narasumber saat diskusi publik di aula STHG

Lanjutnya, dalam Pasal 219 dan 241.
Pasal 219 “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal 241 “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.” dianggap mengancam kebebasan pers, dimana bisa saja siaran tersebut ditujukan untuk mengkritik kinerja Pemerintah tetapi di interprestasi sedemikian rupa sehingga bisa dipidanakan.

Selain itu, pasal 278 ”Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.” dalam pasal ini menurut kajian kami, disini terjadi subjektivitas dan dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

lalu pasal 431 “Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.” pasal ini dinilai multitafsir, dan tidak ada indikator jelas dari gelandangan yang dimaksud tersebut seperti apa dan pasal ini juga bertentangan dengan pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa ” fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara” ini artinya bahwa Negara seolah-olah ingin memusnahkan fakir miskin yang semestinya justru Negara hadir untuk mengurus atau memelihara orang yang dianggap gelandangan yang sebagai mana dimaksud pada pasal di atas.

Pasal 417 (1) “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.” Pada pasal tersebut, kami menilai bahwa Negara memandang norma susila sudah terkikis, maka dari itu Negara dirasa harus hadir, namun hal tersebut kembali kepada masyarakat itu sendiri, atau dalam bahasa lain ranah ini terlalu privat.

Pasal 418 “(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Tidak ada indikator jelas bahwa hidup bersama sebagai suami istri diluar pernikahan itu seperti apa dan jika kita melihat di lingkungan masyarakat kita yang masih menggunakan kebiasaan atau yang melakukan perkawinan hanya berdasar pada rukun kawin yang di anggap sah menurut agama sementara menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah yang pada pokoknya harus dibuktikan dengan Buku Nikah Dari KUA. Sehingga jika pasal tersebut telah disahkan menjadi bagian dari KUHP maka akan banyak sekali pelaku nikah dibawah tangan yang dapat di pidana.

Pasal 470 (1) “Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.” Pasal ini dinilai diskriminatif terhadap korban pemerkosaan.

Pasal 604 “Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.” Pasal ini dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi, yang pada UU TIPIKOR minimum sanki pidana penjara 4 tahun dan sanksi denda minimum 200 juta, dirubah dalam RKUHP menjadi sanksi pidana penjara minimum 2 tahun dan sanksi denda 10 juta.

Terkait dengan pasal 604, adapun pasal 606 (2) “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak kategori IV.” Dimana pada UU TIPIKOR sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun, sedangkan dalam RKUHP maksimal penjara 4 tahun.

Pasal mengenai peradilan yaitu Pasal 281 “Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:
tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.”
Pada huruf a terdapat kata “perintah”, lantas perintah seperti apa yang dimaksud dalam pasal tersebut, apakah perintah secara lisan yang diucapkan oleh hakim, atau putusan hakim atau seperti apa.

Nah, terlebih ada yang dirasa lebih kontroversial dengan provesi Advokat, dimana dalam pasal pasal 282 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:
mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.”
Pada huruf b terdapat kata “mempengaruhi” padahal tugas seorang advokat adalah mempengaruhi panitera, penitera penggati, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, maupun hakim dengan cara yang legal.
Pasal 252 “(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).” Akan sulit menemukan bukti dan memenuhi unsur tindak pidana tersebut.

Pasal 304 “Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.” pasal ini dinilai tidak jelas, yang dikhawatirkan kebenaran itu ditentukan oleh mayoritas.

Saat ini, mahasiswa Garut khususnya Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) akan melayangkan surat audiensi kepada DPRD Kabupaten Garut dengan tujuan rekomendaei yang dikeluarkan mahasiswa Garut pasca kajian RKUHP dapat disampaikan ke DPR Pusat, tutupnya didampingi anggota Senat. (Apdar)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed