oleh

Peringati Hari Ibu, “Ibu Kendeng Meruwat Negeri”

PATI, KAPERNEWS.COM –  Ada yang menarik dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) di momentum peringatan Hari Ibu 2019, yaitu dengan cara melakukan prosesi ruwatan pada alam pegunungan Kendeng seisinya. Acara dilakukan di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo Pati Jawa Tengah, Minggu (22/12/2019).

Aksi peringatan Hari Ibu kali ini istimewa bukan karena pesta meriahnya, melainkan karena diliputi keprihatinan mendalam dari seluruh ibu di belahan bumi yang mengalami bencana, mengalami penggusuran, mengalami keterancaman ruang hidup dan ruang produksi bahkan sebagian sudah hilang akibat eksploitasi alam membabi-buta disertai kekerasan fisik-mental yang dilakukan oleh negara.

“Ibu iku wong wedok. Bumi iki ya wedok. Mula sebutane ibu bumi. Ibune wong sak bumi. Kanthi nandur iku wujud bekti karo ibu lan asih marang panguripan sing saiki lan ing mbesuke kang wujud apa wae (Ibu itu perempuan. Bumi ini ya perempuan. Maka disebut ibu bumi. Ibunya orang sedunia. Dengan menanam itu adalah wujud bakti dengan ibu dan asih kepada kehidupan yang sekarang dan yang akan datang yang berwujud apa saja),” kata Gunarti, salah seorang petani aktifis JM-PPK dari Dukuh Bowong, Desa Sukolilo saat dikonfirmasi Kapernews.com, Senin (23/12/2019) sekitar pukul 10.45 WIB.

Menurut Gunarti, pohon yang ditanam itu mengeluarkan oksigen yang dibutuhkan semua makhluk hidup, dan juga menyimpan sumber mata air yang juga dibutuhkan untuk semua makhluk hidup.

“Wit kang uwoh isa metu pangane iku ya dadi kebutuhane kabeh sing urip. Iku lah kenapa ibu-ibu seneng nandur lan milih nenandur. Supaya urip iki terus cakra manggilingan (Pohon yang berbuah bisa keluar bahan pangan itu juga menjadi kebutuhannya semua makhluk hidup. Itulah kenapa ibu-ibu senang menanam dan memilih menanam. Agar hidup ini terus berlanjut),” ujar perempuan penganut Sikep, sebuah ajaran kebajikan yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka ini.

Di momen Hari Ibu 2019, Gunarti beserta para perempuan yang tinggal di lereng pegunungan Kendeng Utara melakukan penanaman sebagai simbolis untuk menggugah kesadaran pemerintah dan masyarakat dari berbagai latar belakang yang ada.

Seperti inilah pers rilis yang dibagikan JM-PPK lewat media sosial:

“Dirasakke saya ndadra anggone anyawiyah ibu bumi. Dielekke tan digugu. Malah sing neka- neka (Sepertinya semakin parah pengrusakan Ibu Bumi. Sudah diingatkan dengan berbagai cara, tetapi pengrusakan juga dilakukan dengan berbagai cara);

Sajake pancen digawe ngana iku. Merga akeh kepentingan. Kanthi cara nyeksa bumi Ibu bumi (Sepertinya memang dibuat begitu karena adanya beberapa kepentingan dan akhirnya bumilah yang dirusak);

Kang duh kita, Ndika butuh kanggo ngimbangke diri (Ibu bumi yang berduka, aku yakin ibu butuh menyeimbangkan diri);

Kula lenggana satuhu. Mila saking punika. Lamun sedaya sampun katata utuh. Wenang ndika anindakna. Hangrampungi lan mungkasi (Untuk itu, bila menurut ibu segalanya telah tertata, Ibu yang berwenang menyeimbangkan dengan cara Ibu, untuk mengakhiri dan menyelesaikan).”

Begitulah syair tembang dalam bahasa Jawa yang dilantunkan.

Ibu merupakan sosok pribadi dengan peran di garis depan dalam perjalanan manusia di bumi ini.

Penderitaan anak-cucu, maka ibulah yang pertama kali menanggungnya. Tanpa ibu, kita tidak akan pernah ada dan sampai pada titik ini, begitu pula dengan bumi. Ibu-Bumi adalah Ibu Pertiwi, Ibu kita bersama.

Menyakiti BUMI berarti kita telah menyakiti ibu sendiri.

Dengan cara meruwat Bumi, maka mengandung makna do’a mendalam.

Ibu Pertiwi sedang lara (sakit) menanggung derita keserakahan manusia demi nafsu untuk memperkaya diri.

Sayang, negara yang seharusnya menjadi pelindung utama ibu pertiwi justru semakin gencar menyakitinya dengan kebijakan yang kian menyakiti Ibu Pertiwi.

Bersama dengan perempuan-perempuan dari berbagai kalangan: petani, nelayan, buruh pabrik, pegawai, penjual sayur, aktifis, seniman, budayawan, sejarawan dan lainnya, ibu-ibu Kendeng mengajak kita semua bangkit berdiri berjuang demi keselamatan Ibu Pertiwi.

Menyuarakan lantang, berbuat serta berjuang mengingatkan negara untuk sadar akan perannya.

Bumi yang dipijak bukanlah warisan tetapi titipan anak bangsa. Selayaknya dan seharusnya sadar untuk terus berbuat demi masa depan anak bangsa.

Berhentilah kita menjadi bangsa yang tidak peduli dengan ancaman ekosistem bumi ini.

Kekeringan, gempa, banjir dan kebakaran hutan bukan datang tiba-tiba dan bukan pula bukan karena kutukan ataupun takdir.

Bencana ada karena manusia tidak ingat lagi akan kesejatian dirinya sebagai manusia.

Sang Hyang Pencipta Langit dan Bumi telah melimpahkan kasihnya untuk setiap warga dan anak bangsa indonesia.

Negeri yang “gemah ripah loh jinawi” telah “salah urus”, maka Bumi Nusantara –Indonesia Raya ini menjadi kewajiban semua untuk menyelamatkannya.

Akhir-akhir ini negara gencar bicara tentang Pancasila.

Kelima sila bukanlah sekedar teks hafalan atau doktrin.

Pancasila adalah LAKU.

Di mana negara mengambil peran utama untuk mengamalkannya melalui tangan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Negara menjadi tiang bagi seluruh rakyat dan anak bangsa dalam mengamalkannya.

Di mana letak Kemanusiaan dan Keadilan jika setiap hari dipertontonkan dengan berbagai kejadian yang bertolak belakang dengan Pancasila.

Jika bencana melanda, rakyatlah yang menanggung derita itu, karena mereka yang tinggal di gunung-gunung, di hutan, di desa, di pinggiran kota, di bantaran sungai, di gang-gang sempit, di tempat-tempat rentan mengalami bencana alam dan bencana struktural.

Rakyat yang tinggal di area pabrik-pabrik yang selama ini terus menerus menebar asap racun hasil emisi gas buang, merekalah yang terpapar oleh bencana ini.

Rakyat yang tinggal di sekitar wilayah bekas lubang tambang yang menganga, merekalah yang menanggung resiko hidup di ruang hidup yang berbahaya ini.

Rakyat yang setia menunggu aliran sungai untuk mengairi sawah-sawah dan memenuhi kebutuhan airnya, merekalah yang mengalami dehidrasi kehidupan.

Rakyat bukanlah alat kampanye elektoral lima tahunan yangdisuguhi janji-janji kampanye, namun ketika setelah menjabat, rakyat “disingkirkan” dan “dipinggirkan”.

Bagaimana rakyat bisa paham dan menjalankan Pancasila jika negara melalui tangan pemerintah telah mengingkarinya.

Pembangunan tidak dimaknai sempit dengan hanya sekedar membangun fisik (infrastruktur, pabrik, dll).

Tetapi pembangunan berperikemanusian dan berkeadilanlah yang diharapkan anak bangsa.

Apalah arti jalan terbangun jika sawah-sawah kehilangan akses sumber air akibat dibabatnya hutan dan gunung, kita kehilangan mata pencaharian bahkan tercerabut dari akar kehidupan.

Pertanyaannya: Untuk siapa sesungguhnya pembangunan itu?

Dengan diringi lantunan Donga Nusantara, aksi peringatan Hari Ibu 2019 tidak hanya dilakukan di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo Pati, aksi simbolis berupa penanaman juga dilakukan ibu-ibu dari pegunungan Kendeng di depan Istana Negara Republik Indonesia Jakarta. (Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed