oleh

Peringati 11 Tahun 9 Pejuang Lingkungan Yang Ditahan, JM-PPK Lakukan Reboisasi Di Pegunungan Kendeng

PATI, KAPERNEWS.COM – Dalam bahasa Jawa tembang Pangkur dilantunkan:“Nyawiji lan gegandhengan, amung iku srana nyelametke bumi, tetepa kuat lan kukuh, lakune perjuangan, sanga dulur nyata dadi bukti tuhu, totoh jiwa dadi bandan, kanggo ngrungkepi pertiwi (Bersatu saling bergandengan tangan, hanya itu cara menyelamatkan bumi, tetaplah kuat dan kukuh, itulah jalannya proses perjuangan, sembilan saudara kita jadi bukti ditahan karena menjaga dan melindungi Ibu Pertiwi).”

Dilanjut pada bait ke dua: “Nanduri panggonan bera, dina iki barengan ditindhaki, wujud tindakan lan laku, kanggo ngomahi toya, dimen sumber lestari nyukupi butuh, kang mangkono anak putu, tetep bisa den warisi (Mari menanam di lahan yang kosong, hari ini kita melakukannya bersama-sama, sebagai wujud tindakan dan melaksanakan, agar sumber mata air punya rumah, untuk mencukupi kebutuhan hidup, dengan demikian, harapannya anak cucu kita, supaya bisa merasakan warisan lestarinya sumber mata air).”

Untuk mengenang 9 sedulur tani dari Pegunungan Kendeng yang ditangkap pihak berwajib pada tanggal 22 Januari 2009 dan harus menjalani persidangan 25 kali hingga divonis hukuman 5 bulan penjara, warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) melakukan reboisasi di pegunungan Kendeng, Selasa (22/1/2020).

“Kami ingin mengajak semua pihak, mulai dari MUSPIDA, MUSPIKA dan masyarakat khususnya yang menggarap lahan Perhutani, agar menjadi sadar untuk menanam, karena dampak negatif  pegunungan Kendeng ini gundul telah dirasakan . Contohnya, kemarau saja sampai 8 bulan dan ketika hujan turun selama satu jam banjir bandang datang melanda. Bukan hanya itu saja, hal ini karena pegunungan Kendeng yang gundul selalu menjadi alasan pemerintah mengatakan bahwa Kendeng tidak produktif. Itu yang selalu menjadi alasan mereka mengeksploitasi Kendeng untuk pertambangan dan pabrik semen,”  kata Bambang Sutiknyo, selaku Koordinator Acara Nyawiji Nandur sewaktu dikonfirmasi oleh Kapernews.com, Kamis, 23 Januari 2020.

Menurut Bambang, acara penanaman pohon dari JM-PPK tersebut dilakukan untuk merespon paska kunjungan Doni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Kecamatan Kayen Kabupaten Pati bulan yang lalu yang menyatakan bahwa Kendeng dalam kondisi kritis dan perlu direboisasi.

“Ya, sehingga akhirnya Bupati Pati berencana menanami pegunungan Kendeng dengan 3 juta bibit. Seolah menjadi trend saat ini yang menjadikan pihak MUSPIDA berlomba-lomba menanami Kendeng, namun sayang hanya simbolis,” ungkapnya.

Pada setiap kegiatannya, JM-PPK selalu mengkritisi bahwa menanam itu mudah, tapi merawat, menjaga itu jauh lebih sulit, maka dari itu JM-PPK menyediakan prasarana pengairan untuk perawatan yang ditanam.

“Menanam itu mudah namun merawat itu lebih sulit, oleh sebab itu hari ini pula JM-PPK membuat prasarana pengairan yang airnya diambil dari Goa Lowo, Desa Kedumulyo dengan ketinggian 68 mdpl dan kemudian ditampung di tempat penampungan yang berada di atas bukit Watu Kah Bumi dengan ketinggian 57 mdpl, untuk sebagai upaya perawatan bibit yang telah ditanam,” kata Gunretno selaku Koordinator JM-PPK melalui siaran persnya.

Acara Nyawiji Nandur ini dilakukan oleh JM-PPK guna memperingati 9 orang sedulur JM-PPK yang tertangkap dan ditahan ketika berjuang melawan Semen Gresik di Sukolilo tanggal 22 Januari 2009.

Ke sembilan pejuang pelestari Pegunungan Kendeng yang pernah ditahan pada tahun 2009 di antaranya adalah Mbah Kamsi (65), Sunarto (52), Sudarto Buntung (48), Sukarman (26), Sutikno (26), Gunarto (25), Purwanto (22), Mualim (21) dan Zainul (17). Mereka berasal dari beberapa desa di wilayah pegunungan Kendeng Utara, Kecamatan Sukolilo, Pati.

“Kenangan pahit ini kami wujudkan dalam bentuk kegiatan menanam pohon di kawasan Pegunungan Kendeng. Menanam adalah bagian hidup kami sebagai petani. Menanam adalah jati diri kami. Menanam berarti menumbuhkan harapan baik bagi anak cucu kita semua. Saat ini banyak terjadinya bencana alam di mana-mana, hampir di seluruh Indonesia, di Kendeng sendiri kemarau panjang terjadi, ketika hujan turun beberapa jam saja terjadi banjir bandang. Itu semua merupakan akibat panjang dari keserakahan manusia yang terus menerus mengeksploitasi ibu bumi tanpa kenal ampun. Penggundulan hutan untuk lahan perkebunan monokultur, penggundulan hutan untuk penambangan, pengalihan fungsi lahan produktif pertanian untuk industri, perlakuan terhadap sampah yang semakin hari semakin brutal, pendangkalan sungai akibat erosi dan sampah, semuanya terjadi akibat kita abai terhadap ibu bumi,” jelasnya.

Menurut Gunretno, banyak peristiwa pahit yang dialami lebih dari 10 tahun terakhir dalam memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng.

“Hal tersebut tidak membuat kami putus asa. Hanya satu yang membuat kami terus kuat dan bangkit berjuang, yaitu nasib anak cucu kita semua. Kita berarti bukan hanya anak cucu kami, tapi juga anak cucu para pemimpin negeri ini, seluruh sedulur dari Sabang – Merauke, anak cucu para penambang, juga anak cucu para pemodal semen. Rusaknya kawasan karst akibat kegiatan penambangan batu kapur berdampak langsung pada kehancuran ribuan sumber mata air bawah tanah. Rusaknya sumber mata air, maka musnahlah masa depan anak cucu kita. Musnahlah sumber pangan dan kehidupan bagi semua. Air dari sumber mata air Pegunungan Kendeng tidak hanya menghidupi pertanian dan masyarakat sekitar Kendeng, tetapi juga merupakan bahan baku air bersih bagi masyarakat perkotaan,” terang salah satu penerus ajaran Samin Surosentiko dari Dukuh Bombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Pati.

Seperti yang ditulis dalam siaran persnya, peringatan ditahannya 9 petani Kendeng adalah menjadi bahan perenungan bagi semua pihak khususnya para pemimpin negeri ini sebagai pengambil kebijakan. Bahwa sesuatu yang baik dan benar memang harus terus diperjuangkan oleh rakyat di saat negara abai terhadap nasib dan harkat hidup rakyat banyak.

“Kita tidak boleh tinggal diam dan hanya pasrah menunggu kehancuran datang. Oleh karena itu kami petani Kendeng mengajak seluruh rakyat untuk peduli akan keselamatan lingkungan hidup. Mari kita semua kembali kepada kesejatian diri kita sebagai manusia, makhluk ciptaan yang paling mulia. Ibu bumi telah memberikan kelimpahannya, sudah tugas kita untuk terus menjaga keseimbangannya. Menanam dan peduli kepada ibu bumi adalah kunci jika kita mau terhindar dari bencana ekologis. Dengan menanam pohon, kita telah menyemai masa depan kehidupan anak cucu kelak. Hentikan perusakan hutan dengan alasan demi pembangunan. Bukankah pembangunan berarti menciptakan kehidupan, bukan malah sebaliknya memusnahkan kehidupan,” pungkasnya.

Di malam harinya, acara dilanjutkan dengan brokohan sebagai simbol ucapan syukur pada Sang Pencipta dan ditutup dengan pagelaran wayang kulit dengan lakon “Mbok Sri Boyong”.

(Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *