oleh

Perwali, Sepeda, dan Virus Corona

-Suara Kita-1.377 views

SOLO, KAPERNEWS.COM –  Peraturan Wali Kota (Perwali) yang dicanangkan akan menjadi pedoman teknis pelaksanaan penanganan Covid-19 di Kota Solo itu telah ditandatangani oleh Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, Senin (8/6/2020).

Adapun Perwali yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 067/1078 tersebut mengatur kegiatan-kegiatan di tempat ibadah, tempat hiburan, rumah makan, pasar tradisional/mal, tempat kuliner, serta gedung pertemuan dan hotel setelah berakhirnya masa KLB 7 Juni kemarin.

Menurut Surat Edaran Wali Kota tersebut, beberapa aturan telah disiapkan seperti dilarang berkumpul atau berkerumun, menerapkan pola hidup sehat, sering cuci tangan, memakai masker, dan memakai hand sanitizer.

Selain itu, Pemkot Solo mengimbau agar menyiapkan tempat cuci tangan dengan sabun untuk tempat-tempat yang berpotensi mengundang banyak orang seperti rumah makan atau kafe. Para pengunjung juga diimbau untuk memakai masker dan menjaga jarak atau physical distancing. Dalam Surat Edaran tersebut juga dinyatakan dengan jelas bahwa pengunjung yang tidak memakai masker dilarang untuk berkunjung.

Pada tempat-tempat ibadah juga diimbau untuk membatasi orang yang berkumpul dalam waktu yang bersamaan dan mempersingkat waktu pelaksanaan ibadah tanpa mengurangi kesempurnaan ibadah. Sedangkan untuk pasar tradisional dan mal, anak-anak yaitu yang masih sekolah di tingkat TK, SD, SMP dan SMA dilarang untuk melakukan kegiatan di tempat-tempat tersebut. Bahkan, akan ada sanksi khusus jika anak-anak masih nekat ke mal. Para orang tua juga diimbau untuk mengawasi anak-anaknya agar tidak ke mal dulu untuk sementara waktu.

Perwali tersebut berlaku sejak ditetapkan hingga 30 Juni 2020 dan masih akan dievaluasi sesuai kebutuhan.

Aturan-aturan tersebut, sebetulnya, masih sama dengan​ aturan-aturan sebelumnya tentang penanganan penyebaran Covid-19. Dalam Perwali tersebut, hanya ada sedikit aturan yang berbeda atau yang paling mutakhir, yaitu dilarangnya anak-anak untuk ke mal, dan itu dikhususkan untuk anak-anak guna menyegah penyebaran virus pada mereka.

Saya melihat kecenderungan masyarakat sejak pertama kali Pemerintah Kota Solo melaporkan warganya yang meninggal akibat Covid-19 pada 11 Maret 2020 dan menaikkan status menjadi KLB. Dalam rentang waktu itu masih banyak masyarakat yang abai tentang aturan protokol kesehatan Covid-19. Hal senada disampaikan oleh akun Instagram @sorayandaa pada akun resmi Pemkot Solo dalam unggahannya tentang Perwali tersebut.

“Dri dlu pedoman pedoman ini udah bnyak yg melanggar min,” tulis akun @sorayadaa.

Akun lain, @chanifaibrahim juga mengeluhkan hal serupa, “Jalankan fungsi kontrol yg lbh sering pak, krn kl cuma imbauan masih byk orang yg abai,” tulisnya.

Dalam hal ini, masyarakat perlu memiliki kesadaran penuh tentang apa yang yang mesti dilakukan dan apa tidak boleh dilakukan. Sebab, masih banyak yang abai ataupun sengaja melanggar​ protokol kesehatan Covid-19.

Beberapa pekan terakhir, bahkan, tren baru muncul di sekitaran Solo dan sekitarnya: orang-orang dalam jumlah banyak bersepeda di pagi, sore, dan malam hari. Mereka tumpah ruah di jalan dan sesekali berkumpul di beberapa titik, salah satunya di depan Balai Kota Solo.

Sebetulnya petugas sudah beberapa kali memperingatkan para pesepeda untuk memakai masker, menjaga jarak, dan segera pulang. Namun, banyak yang tidak mengindahkan. Sampai-sampai, petugas Pemkot Solo memadamkan lampu area kompleks perkantoran tersebut karena imbauan tidak didengarkan.

Kabid Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Satpol PP Kota Solo, Agus Sis Wuryanto, mengakui hal itu. Agus sebenarnya tidak melarang warga melakukan aktivitas bersepeda malam, yang dilarang adalah yang melibatkan banyak orang. Kumpulan para pesepeda di depan Balai Kota Solo pada malam hari itu nyatanya memang terlalu ramai.

“Mereka berangkat sendiri-sendiri, tapi bertemu di satu jujugan. Titik itulah yang kami pantau, kalau terlalu ramai, ya dibubarkan,” ujarnya.

Bersepeda memang bukan hal baru di muka bumi, namun, yang belakangan ini merupakan fenomena musiman, apalagi, kegiatan yang lebih sering dilakukan secara kolektif itu dilakukan di tengah-tengah wabah yang sedang merebak. Fonemana musiman, seperti yang kita tahu, hanya ada dalam momen-momen tertentu.

Pada mulanya, kegiatan bersepeda ini hanya didominasi oleh komunitas-komunitas sepeda yang memang memiliki kegemaran tentang serba-neka sepeda. Kemudian, beberapa mengunggah foto kegiatan bersepeda mereka di media sosial dan mengundang lebih banyak lagi orang. Dalam era New Media atau Media Baru, isu atau hal-hal semacam itu memang bisa dengan mudah dan cepat menyebar melalui internet. Kajian Komunikasi telah banyak memberi perangkat yang memadai untuk melihat hal ini.

Masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengikuti apa yang mereka lihat, terlebih dalam masa pandemi Covid-19 seperti ini yang mengharuskan untuk tetap tinggal di rumah dalam waktu yang cukup lama. Terhitung sudah sekitar 3 bulan sejak pemerintahan mewajibkan untuk karantina mandiri di rumah masing-masing dan tidak diperbolehkan untuk kemana-mana

Hal ini, tentu saja, memicu rasa bosan yang sangat kuat, yang kemudian membuat masyarakat nekat keluar rumah untuk bersepeda alih-alih berdiam diri di rumah dan malah didera kebosanan. Lalu, siapakah yang bersalah atas fenomena ini? Apakah pemerintah yang kurang tegas dalam penerapan dan pengawasan? Atau, masyarakat yang abai terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan?

Dua hal tersebut memiliki andil yang sama. Kurangnya ketegasan pemerintah dalam penerapan dan pengawasan membuat masyarakat nekat meski mereka tahu tentang larangan atau imbauan untuk tidak berkumpul atau berkerumun. Di satu sisi, masyarakat juga tak ambil pusing misal mereka terpapar Covid-19 di jalan ketika mereka bersepeda secara massal, toh, mereka belum melihat atau merasakan bagaimana jika Covid-19 ini menginfeksi dirinya secara langsung dan cukup menjadi alasan untuk tetap merasa aman ketika berada di luar rumah. Lagipula, bersepeda itu menyehatkan bukan?

Dalam hal ini keduanya memang muskil untuk disalahkan. Siklus seperti itu terus berulang, dari masa ke masa. Hanya, yang perlu diyakini, setiap perubahan besar selalu dimulai dari diri sendiri. Dari lingkaran kecil, kemudian menjadi besar dan semakin besar. Hingga lahir pemahaman tentang apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan dalam menjalani kehidupan ini.

(Sigit Wibowo)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed