oleh

Peringati Sumpah Pemuda Ke-92, JM-PPK Ikrarkan Sumpah Pada Ibu Bumi

PATI, KAPERNEWS.COM – Peringatan Sumpah Pemuda ke-92 dengan tajuk “Pemuda Indonesia Bersumpah Untuk Ibu Bumi” dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) dengan melakukan penanaman pohon di Gua Lowo yang masuk dalam kawasan Pegunungan Karst Kendeng, Sukolilo, Pati, Rabu (28/10/2020) tadi.

“Penanaman pohon dilakukan dengan tujuan untuk memastikan hijau dan lestarinya wilayah Pegunungan Karst Kendeng,” kata Agung Pangestu perwakilan JM-PPK dalam siaran persnya.

Tidak hanya itu, warga yang hadir juga melakukan sumpah bersama. Sumpah ini disusun oleh warga khususnya para pemuda, yang mengambil inspirasi dari naskah Sumpah Pemuda yang asli. Beberapa bagian dilakukan penyesuaian disesuaikan dengan konteks dan refleksi atas persoalan yang dihadapi di wilayah pegunungan Kendeng.

Sumpah bersama tersebut dinamakan “Sumpah Pemuda Kepada Ibu Bumi”, yang memuat sejumlah pokok-pokok ikrar, yakni:

1. Kami putra-putri Indonesia, bertumpah darah satu untuk menjaga Ibu Bumi;
2. Kami putra-putri Indonesia, berbangsa satu wujudkan bangsa yang beradab;
3. Kami putra-putri Indonesia, berbahasa satu hentikan penindasan.

“Sumpah yang diucapkan tersebut merupakan gambaran atas persoalan mendasar yakni aktivitas perusakan lingkungan yang semakin dirasakan secara serius oleh para pemuda sebagai generasi penerus,” imbuhnya.

Ketika lingkungan adalah aspek yang sangat krusial bagi kehidupan ke depan, namun saat ini sedang dalam ancaman karena kelestariannya semakin dikesampingkan dalam praktik-praktik pembangunan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan lingkungan.

“Sehingga JM-PPK tak henti-hentinya menyoroti dan menagih keseriusan komitmen pemerintah untuk berpihak pada kelestarian lingkungan,” terangnya.

Hingga saat ini pegunungan Kendeng masih terancam. Namun pemerintah justru terus memilih dan mendukung untuk merusak pegunungan Kendeng dengan aktivitas pertambangan dibanding dengan menjaga kelestarian alam. Sebuah wujud nyata bahwa pemerintah masih abai terhadap lingkungan.

“Tanpa lingkungan yang lestari, praktik pembangunan yang sangat merusak dan merugikan hanya akan membawa kerugian teramat besar dalam jangka panjang. Tidak hanya bagi generasi saat ini tetapi juga bagi generasi yang akan datang,” pungkasnya.

Mungkin tembang Pangkur ini menggambarkan tentang kondisi yang ada sekarang ini.

“Ngrembuyung ijo sumringah, uwit gedhe kang tansah angayomi, kang dadi pangajabipun, punggawa lan pra warga, nanging tangeh yen ta pabrik, kang den tandur, lemah lan sumber dirusak, kawula alit mbrebes mili (Tumbuh hijau dan rimbun, pohon besar yang selalu mengayomi yang diharapkan pejabat dan rakyat, tapi semua mustahil bisa dirasakan bila yang ditanam adalah pabrik semen, tanah dan sumber air dirusak dan menjadikan rakyat kecil menangis).”

“Bening lan segere toya, ingkang mili saking jeroning redi, dadya srana kanggo musus beras kang dadya marga, anyekapi kabetahan boganipun, warga Kendheng sadayanya, lemah wareg waras wiris (Bening dan segarnya air yang mengalir dari dalam gunung, untuk mencuci beras sebagai sarana mencukupi kebutuhan pangan seluruh warga pegunungan Kendeng, agar tercukupi kebutuhan pangan dan kesehatan).”

(Eko Arifianto)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *