oleh

Petani Asal Desa Rajamandala Kulon Merasa Puas Setelah Terapkan PGPR Akar Bambu dan Trichoderma

KBB, KAPERNEWS – Meski sempat terkendala dengan persoalan hama, penen padi di musim pertama tahun 2021 pada Jumat (19/03) di alami Saepudin dengan hasil yang cukup memuaskan.

Hal tersebut di dapat setelah petani asal Cisameung, Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat yang tergabung dalam Kelompok Tani Makmur tersebut menerapkan PGPR (Plant Growth Promoting Rizhobakteri) akar bambu dan Trichoderma sesuai yang diarahkan POPT Kecamatan Cipatat.

Kepada kapernews.com, Saepudin menceritakan, biasanya kalau sudah terkena penyakit tanaman padi itu langsung mati.

“Kalau ini kan disemprot terus pakai cairan PGPR Akar Bambu secara rutin tiap minggu jadi bisa tumbuh lagi. Trus tanaman lain juga seperti terong yang udah mau mati tumbuh lagi setelah di semprot cairan tersebut, tanaman bagus lagi,” ungkapnya.

Sambung Saepudin, dari segi biaya juga jauh lebih irit, bisa mengirit separuh biaya yang biasa dikeluarkan.

“Kalau misalkan habis 500 sekarang cuma habis 250, cuma tenaga harus lebih rutin, rajin melakukan penyemprotan. Kualitas padi pun lebih bagus, pada berisi semua, kalau kata orang sini mah bencing,” terangnya.

lebih jauh ia mengungkapkan, sebelumnya padi yang ia tanam akan mati, namun setelah di semprot PGPR dan Trichoderma bisa hidup lagi, lebih bagus.

“Cuma masa tumbuhnya sedikit lama karena mungkin sempat mau mati itu trus tumbuh lagi, biasanya kan 3 bulan, sekarang 3 bulan lebih 3 minggu, soalnya pas nanam itu waktunya sama yang lain, namun panennya paling belakang yakni 1 minggu setelah yang lain panen,” tuturnya.

Diluas lahan kurang lebih 100 tumbak tersebut, dirinya akan mengaplikasikan PGPR dan Teichoderma tersebut supaya lebih bagus lagi, pupuk kimianya akan dikurangin.

“Saya di bimbing terus sama pak eki, biasanya waktu mau bikin PGPR, Trichoderma dia sering kesini, kalau dikontek misalkan saya mau bikin ini nanti waktunya ditentukan. Pembuatan PGPR ini juga cukup mudah, karena barangnya juga kan sudah ada disini, jadi gak sulit nyarinya,” pungkasnya.

Terpisah, Eki Samsul Hidayat POPT wilayah Cipatat mengatakan, sebetulnya lahan milik Saepudin ini sebelumnya memang termasuk wilayah kronis endemis blas.

“Tapi Alhamdulillah setelah aplikasi pakai agen hayati PGPR dan Trichoderma meskipun aplikasi tidak dari awal karena sudah berjalan sekitar 3 minggu baru diterapkan tapi hasilnya tidak jauh berbeda dengan yang menerapkan PGPR dan Trichoderma dari awal,” terangnya.

Sebelumnya, sambung ia, kondisi padi yang pelepahnya sudah membusuk dikeluhkan Saepudin dan sudah merasa kecewa, lalu Saepudin meminta solusi mengenai hal tersebut.

“Saya kasih solusi pada pak udin, kebetulan sudah praktek PGPR dan Trichoderma, yang awalnya buat pengendalian pohon pisang,” ujarnya.

Menurut Eka, PGPR multifungsi jadi bagus sebagai preemtif pengendalian hama penyakit, sekarang di aplikasikanlah pengendalian hama tanaman padi ada busuk pelepah, meskipun baru diterapkan setelah tanaman padi sudah berusia sekitar 3 minggu.

“Diaplikasikan seminggu sekali pada akhirnya sekarang kan panennya petani sendiri sudah merasa puas dengan hasil yang sekarang walaupun sedikit capek, karena kebiasaan tidak seperti ini, kabiasaan memakai pupuk kimia full,” ungkapnya.

Sekarang dengan aplikasi PGPR dan Trichoderma hampir 50 persen lebih aplikasi pupuk kimia otomatis biaya juga kurang.

“Biaya yang dikeluarkan buat pupuk sintetis seperti NPK, Ponsta sama urea itu di papas 50 persen, nah sekarang udah keliatan ada pembanding antara aplikasi agen hayati sama full pake kimia sintetis,” katanya.

“Mudah-mudahan kedepannya ini hasilnya lebih meningkat, karena aplikasi agen hayati tadi PGPR sama Trichoderma dari awal, dari setreatmen, dari perendaman benih, dan lainnya, setelah itu selang seminggu aplikasi lagi jadi terus seminggu sekali,” tandasnya.

(KN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed