oleh

Banjir Semarang, WALHI: Potret Dari Bencana Ekologis

SEMARANG, KAPERNEWS.COM – Statemen Walikota Semarang di berbagai media, bahwa banjir di Kota Semarang disebabkan oleh cuaca ekstrim yang melanda Kota Semarang dan merupakan siklus 50 tahunan, mendapat respon tegas dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah (Jateng).

Dalam siaran persnya, WALHI Jawa Tengah
beranggapan bahwa pemerintah Kota Semarang tidak serius dalam menyelesaikan banjir dan tidak melihat permasalahan banjir ini dari akar masalahnya.

“Permasalahan banjir yang terjadi di Semarang bukan semata-mata terjadi karena cuaca ekstrim saja, melainkan juga kebijakan pola tata ruang dan perubahan iklim,” kata Fahmi Bastian, Direktur WALHI Jateng.

Menurut Fahmi, kebijakan pola tata ruang berpengaruh besar terhadap kerusakan dari hulu hingga hilir.

“Misalkan saja di hulu, akibat perubahan RIK (Rencana Induk Kota) 1975-2000, menyebabkan berkurangnya fungsi-fungsi hidrologis lingkungan hulu sebagai daerah penyangga Kota Semarang,” ujarnya.

WALHI menilai, persoalan pola ruang juga terjadi di pusat kota, di mana kemampuan kota dalam menyerap air semakin hari semakin berkurang karena daya tampung saluran-saluran drainase di dalam kota terlampaui yang diakibatkan oleh berbagai permasalahan.

“Seperti saluran air yang tersumbat, lubang saluran air yang berukuran kecil hingga banyaknya lumpur (comberan, red) di saluran air tersebut menyebabkan kota tidak dapat menampung air saat terjadi hujan,” jelasnya.

Dalam kajian WALHI, persoalan hilir kota Semarang tidak lebih baik dari hulu dan pusat kota, bahkan dapat dibilang lebih parah akibat alih fungsi pesisir menjadi kawasan industri, pariwisata (reklamasi pantai Marina) dan transportasi (reklamasi bandara baru Ahmad Yani dan perluasan kawasan Tanjung Mas) yang bepengaruh terhadap penurunan muka tanah sehingga menyebabkan rob (pasang air laut).

“Akibatnya, terjadi penumpukan bencana ekologis berupa kombinasi antara banjir kiriman dari hulu dan banjir akibat rob,” terangnya.

Seperti dilansir dalam news.detik.com, Selasa (8/2/2021) inilah yang menurut WALHI Jateng sebagai pengaruh besar banjir yang terjadi di 45 titik dan longsor yang terjadi di 33 titik di Kota Semarang yang memakan 4 korban jiwa dan memaksa 972 orang harus mengungsi.

Selain menyebabkan banjir dan tanah longsor, perubahan tata ruang juga berpengaruh terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, karena banyaknya alih fungsi lahan dari kawasan agraria/ hutan menjadi kawasan pemukiman, industri, kampus dan sebagainya menyebabkan berkurangnya fungsi hutan dalam menstabilkan iklim dan pemanasan global.

“Inilah yang menjadi pengaruh terjadinya cuaca ekstrim berupa curah hujan yang tinggi dan rob yang menjadi dalih pemerintah kota dalam menanggapi permasalahan banjir yang terjadi di Semarang,” tukasnya.

WALHI Jateng berharap penyelesaian banjir di Semarang tidak hanya menjadi janji-janji kampanye saja dan harus ada usaha menyelesaikan permasalahan banjir dari akarnya.

“Selain itu, dalam membuat RTRW pemerintah kota wajib melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penyusunan rencana tata ruangnya sesuai yang diamatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 15,” pungkasnya.

Ke depan, WALHI merasa perlu adanya mitigasi bencana secara serius agar banjir tidak menjadi bencana tahunan di Kota Semarang. 

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *