oleh

Budaya Syawalan, Agus Mujayanto: Ini Adalah Bentuk Akulturasi Budaya dalam Pengejawantahan Syariat dan Hakikat

DEMAK, KAPERNEWS.COM – Syawalan berkaitan erat dengan tradisi saling memaafkan di rangkaian Hari Raya Idul Fitri. Kegiatan ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia yang dilaksanakan utamanya di bulan Syawal setelah bulan Ramadhan selesai, di mana mereka melakukan silaturahmi berisi ikrar saling memaafkan dan memulai kehidupan baru yang lebih baik untuk tujuan masa depan yang lebih tentram.

“Iya, tradisi Syawalan selalu ada setelah 7 hari lebaran Idul Fitri, budaya yang selalu ada dan diuri-uri di beberapa kota di Jawa Tengah dan Nusantara yang diwariskan oleh sang Guru sejati Syekh Malaya Kanjeng Sunan Kalijaga,” kata Agus Mujayanto kepada Kapernews.com, Selasa (25/4/2023).

Menurut Agus, ajaran-ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga berisi tentang keteladanan, keutamaan, keluhuran dan keagungan dalam dakwah Islamiyah di Tanah Jawa.

“Pengajaran kawruh kasampurnan yang dibawa Kanjeng Sunan Kalijaga bertumpu pada nilai keagamaan yang berbingkai pada kebudayaan. Keselarasan hidup yang penuh kebijaksanaan amat ditekankan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga,” tuturnya.

Agus menuturkan, bahwa Ilmu Makrifat merupakan pengetahuan tentang puncak satataning panembah untuk memperoleh derajat Insan Kamil.

“Bermula dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa, yang selaras dengan terminologi Islam syariat, tarikat, hakikat, makrifat. Kemudian diolah Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi akulturasi teologi khas Kejawen: kama, arta, dharma, muksa,” tuturnya.

Menurutnya, Sunan Kalijaga adalah local genius yang mampu membaca kondisi, owah gingsiring jaman.

“Seperti ungkapan “Dodotira kumitir bedhah ing pinggir”, sebenarnya sindiran atas tragedi perang Paregreg yang membuat kebesaran Kraton Majapahit terkoyak dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi (1400). “Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore”, adalah lambang tekad Sunan Kalijaga untuk merajut perabadan yang lebih anggun dan agung. Maka berdirilah Kraton Demak Bintara dengan aliansi strategis yaitu sultan-sunan, ulama-umara, kepala-dada serta pikir-dzikir,” ungkapnya.

Menurut calon Anggota DPD RI/ MPR RI yang dinyatakan lolos dalam pelaksanaan tahapan verifikasi faktual
sebagai Peserta
Pemilu 2024 oleh KPU Provinsi Jateng ini bahwa intisari ajaran Sunan Kalijaga berpangkal dari nilai luhur paham Sabda Brahmana Raja.

“Pengertian sabda di sini berkaitan dengan wulang wuruk yang meliputi ilmu pengetahuan kasampurnan, material spiritual dan lahir batin. Adapun pengertian brahmana merupakan kualitas pribadi yang kebak ngelmu sipating kawruh, putusing reh saniskara dengan bersumberkan kepada prinsip kebajikan dan kebijakan,” bebernya.

Sedangkan pengertian raja, lanjut Agus adalah kepemimpinan yang telah hamangku, hamengku dan hamengkoni terhadap jagad sakalir, sehingga bisa mengayomi dan mengayemi sanggyaning kawula dasih.

“Sinopsis kearifan lokal yang dirumuskan oleh Sunan Kalijaga itu pada kenyataannya telah mengantarkan sukses dakwah Islamiyah di segala penjuru tanah Jawa,” ujarnya

Pria murah senyum yang merupakan cicit dari Sunan Gendok alias Pangeran Wijil II dan Pangeran Wijil III alias Raden Dhadap dari sang ibu ini mengatakan, bahwa secara historis dan sosiologis, Kanjeng Sunan Kalijaga adalah ulama besar yang aktif melakukan dakwah Islamiyah dengan pendekatan kultural.

“Yaitu memadukan antara nilai keagamaan dengan kearifan kebudayaan. Sebuah tatanan yang sesuai dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika, berbeda beda tetapi tetap satu. Syariat, tarikat, hakikat dan makrifat menjadi landasan utama ajaran Wali Agung ini. Sufisme Sunan Kalijaga dapat digunakan sebagai kaca benggala bagi praktek keagamaan pada era mutakhir sekarang,” ucapnya.

Sebagai seorang budayawan, dirinya melihat bahwa Sunan Kalijaga mewariskan nilai kebijaksanaan keagungan, keluhuran dan kebajikan buat generasi penerus, tepa palupi yang tetap lestari guna menata negeri.

“Dari situ dawuh Eyang Sunan Kalijaga untuk dakwah dan syiar dewasa ini dalam dakwah dengan syiar, bukan untuk mengislamisasikan atau mengislamkan orang. Tapi dalam dakwah atau syiar akan menjaga budaya dan paugeran karena manifestasi budaya dan substansi budaya itu ada dalam empat pilar kebangsaan sebagai pilar utama kejayaan bangsa dan attitude manusia yang hidup di dalamnya, keselarasan agama dengan budaya akan kembali berjaya saat kita sadar diri akan jatidiri dan tepasarira pada sesama juga semesta,” pungkasnya.

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed