oleh

Kupatan Kendeng 2023, JM-PPK Ajak Rakyat Indonesia Mengingat Kondisi Bumi

REMBANG, KAPERNEWS.COM – Petani Kendeng yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) kembali mengadakan ritual budaya Kupatan Kendeng bertempat di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Kamis (27/4/2023).

Tradisi yang dilaksanakan lima hari sesudah Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal tahun ini mengambil tema Eling Ibu Bumi (Ingat Ibu Bumi). Tema ini mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengingat ibu bumi yang saat ini dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Sejak akhir 2022 setidaknya sampai April 2023 bencana di Pegunungan Kendeng tidak berkesudahan.

“Sejak November 2022 daerah Pati mengalami banjir yang menggenangi lahan pertanian hingga saat ini. Sedang kondisi di Rembang juga tidak jauh berbeda di mana aktifitas pertambangan dan operasi pabrik semen telah mengakibatkan gagalnya pertanian. Dua daerah ini adalah korban dari keserakahan negara dalam merusak gunung kapur purba Kendeng dari tahun ke tahun tanpa ada pengurangan intensitas sehingga menyebabkan bencana tak berkesudahan,” kata Joko Prianto Narahubung JM-PPK dalam siaran persnya.

Disampaikannya, pada 2017 Presiden mengamanatkan KLHK untuk membuat kajian menyeluruh terkait Pegunungan Kendeng. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng yang keluar pada bulan April 2017 yang seharusnya menjadi pijakan utama bagi kebijakan pemerintah untuk menjaga kelestarian alam.

“KLHS Pegunungan Kendeng memprediksikan bahwa eksploitasi di Pegunungan Kendeng berarti ancaman bagi ribuan sumber-sumber mata air abadi di dalamnya,” ucapnya.

Dalam kajiannya, JM-PPK menyampaikan, bahwa yang bergantung pada keutuhan ketersediaan air bukan hanya petani tetapi seluruh rakyat dan semua makhluk yang ada di dalam ekosistem Kendeng.

“Jika eksploitasi di Pegunungan Kendeng dengan kisaran luasan lahan 392,84 hektar tersebut terus dilakukan, valuasi ekonomi sebagaimana tercantum pada dokumen KLHS Kendeng memperhitungkan bahwa masyarakat dan lingkungan akan mengalami kerugian sebesar 3,2 Trilyun setiap tahunnya,” ungkapnya.

Sehingga KLHS merekomendasi dilakukannya moratorium izin pertambangan dan dilakukan penetapan perlindungan atas kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.

“Namun sayangnya KLHS Pegunungan Kendeng ini seolah-olah dianulir sendiri oleh pemerintah dengan berbagai upaya. Kabupaten Rembang di tahun 2022 menyusun KLHS sendiri, demikian halnya dengan Provinsi Jawa Tengah yang sejak 2019 juga menyusun KLHS sendiri,” bebernya.

Keduanya secara jelas menolak rekomendasi KLHS Pegunungan Kendeng tahun 2017 yang diamanatkan oleh Presiden. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya Omnibuslaw Cipta Kerja dan PP Proyek Strategis Nasional (PSN) yang semakin tidak menggunakan kajian ilmiah yang mengakibatkan dampak krisis iklim dan krisis pangan makin jelas terjadi di beberapa titik saat ini.

“Paska tujuh tahun beroperasinya PT Semen Indonesia di Rembang bukti kerusakan alam dan kerugian bagi pertanian di Rembang semakin jelas terlihat. Keserakahan kebijakan negara yang dikhususkan untuk PT Semen Indonesia membuat putusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan warga dan memerintahkan pencabutan izin lingkungan atas PT Semen Indonesia dan rekomendasi KLHS Pegunungan Kendeng seolah-olah hanya menjadi tulisan saja tanpa eksekusi nyata,” terangnya.

Dalam Kupatan Kendeng 2023 ini, setidaknya ada tiga prosesi ritual yang dilakukan, yaitu “Temon Banyu Beras”, “Dono Weweh Kupat lan Lepet” serta “Lamporan” dan ditutup dengan Brokohan.

“Temon Banyu Beras” adalah prosesi mempertemukan bulir-bulir beras dengan air yang nantinya akan diwujudkan menjadi ketupat sebagai makanan dan sumber energi bagi kita untuk tetap hidup dan menghidupi. Temon Banyu melambangkan bahwa tanpa air musnahlah kehidupan.

“Prosesi ini kami laksanakan dalam keheningan yang melambangkan kesucian hati setelah 30 hari menjalani puasa, mengendalikan segala hawa nafsu, untuk menempa jiwa kami agar kembali ling-kinilingan (saling mengingatkan) akan kesejatian diri sebagai manusia yang luhur, bukan manusia yang “serakah”, bukan manusia yang tidak peduli pada “penderitaan” ibu bumi, dan bukan manusia yang hanya memikirkan urusan perut semata,” jelasnya.

Dalam “Dono Weweh Kupat lan Lepet”, warga membawa ketupat yang telah matang beserta lauk-pauknya, disusun membentuk gunungan dan dipikul bersama-sama mengelilingi desa untuk dibagi-bagikan kepada seluruh warga desa.

“Ketupat atau kupat adalah akronim dari Kula lepat, artinya kita sebagai manusia yang penuh kekurangan, salah dan dosa mohon maaf kepada sesama kita. Kerendahan hati diperlukan sebagai awal dari segala rencana baik merangkul seluruh sedulur desa untuk bersama-sama meneruskan perjuangan penyelamatan Pegunungan Kendeng dari upaya perusakan sumber-sumber mata air, penambangan batu kapur serta pengalihan fungsi lahan pertanian untuk industri pabrik semen, demi keselamatan kita bersama serta demi masa depan kehidupan anak cucu kita semua,” ujarnya.

Sedangkan “Lamporan”, merupakan prosesi turun temurun dari leluhur dalam upaya mengusir hama pertanian.

“Hama pertanian tidak hanya wereng, tikus dan lain-lain, tetapi hama pertanian yang utama disaat ini adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada petani dan dunia pertanian,” tegasnya.

Menurutnya yang merupakan narahubung JM-PPK, saat ini terjadi pengalihan fungsi lahan-lahan subur untuk industri dan pertambangan, gunung dengan hutan yang mengandung keanekaragaman hayati dihancurkan bahkan fungsinya telah beralih menjadi daerah industri perkebunan monokultur bahkan industri pertambangan.

“Gunung dan hutan yang awalnya menjadi penyerap air, menjadi penjaga sumber-sumber mata air agar tetap berlimpah yang menjadi sumber utama keberlangsungan dunia pertanian serta penyedia udara bersih bagi seluruh makhluk hidup semakin lama semakin hilang,” tandasnya.

Pihaknya menyampaikan, hama utama petani dan dunia pertanian masa kini itulah yang harus diperangi bersama.

“Obor yang diarak keliling berputar sebagai lambang semangat yang terus menyala bagi upaya-upaya penyelamatan Pegunungan Kendeng. JM-PPK berupaya sekuat tenaga untuk mengusir “hama” tersebut,” pungkasnya.

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed