oleh

Di Balik Kisah Sawah Ndulit Samin Surosentiko

BLORA, KAPERNEWS.COM – Dalam memperingati Hari Pahlawan, kekadangan sedulur Sikep mengadakan gotong-royong gebyah macul dan brokohan di Sawah Ndulit turut Dukuh Plosowetan, Desa Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Rabu (9/11/2022) kemarin pukul 09.00 sampai 12.30 WIB. Acara dihadiri Kepala Desa P
Kediren beserta perangkat, Bhabinsa, Bhabinkamtibmas dan sedulur-sedulur Sikep dari berbagai wilayah.

“Dulu Bung Karno tahun 1952 pernah mengatakan bahwa petani adalah penyangga tatanan negara Indonesia, maka laku sikep seorang petani yang terus mendidik diri untuk menjadi petani yang giat dan mencintai profesinya merupakan terapan yang konkret dalam berperan serta bela negara, karena melewati tangan petani lah kebutuhan pangan bisa terpenuhi dan pangan merupakan salah satu pilar utama ketahanan bangsa,” kata Gunretno, seorang sedulur Sikep.

Menurut Gunretno, kepahlawanan mengandung sebuah keteladanan yaitu sikap berkorban untuk kepentingan hidup bersama.

“Adapun sikap berkorban tersebut lahir dari kasih sayang seorang manusia kepada sesamanya, dengan demikian semangat kepahlawanan bisa diejawantahkan oleh siapa saja yang memenuhi asas dasar tersebut, tak terkecuali para petani,” tuturnya.

Peringatan Hari Pahlawan bertemakan Petani penyangga tatanan negara Indonesia disertai dengan upacara gorong-royong di sawah Ndulit, sebuah areal persawahan yang ditengarai dulu menjadi lahan garapan Samin Surosentiko.

Kumari, tokoh sedulur Sikep dari Desa Gondel, Kecamatan Kedungtuban

“Dulu menurut apa yang disampaikan oleh buyut saya yaitu Mbah Gunokrono, yaitu ipar Mbah Samin Surosentiko, bahwa kisah kenapa areal garapan tersebut dinamakan Sawah Ndulit karena dulu banyak yuyu (kepiting sawah, red) di sana yang dijadikan lauk. Salah seorang putra Bupati Blora bernama Ndoro Sumo senang akan menu kuliner tersebut, karena makannya dengan jari (didulit) akhirnya lahan tersebut dinamakan Sawah Ndulit,” jelas Kumari, seorang tokoh sedulur Sikep dari Desa Gondel, Kecamatan Kedungtuban.

Sementara itu, saat ditemui awak media, Kepala Desa Plosokediren, Juwadi, S.Sos, menyampaikan bahwa ada kemungkinan karena sejarahnya membuat areal persawahan yang ada hingga sekarang penuh misteri.

Juwadi, S. Sos, Kepala Desa Plosokediren, Kecamatan Randublatung

“Daerah kene ibarate gak ono sing wani ndemek (Daerah sini ibaratnya tidak ada yang berani bertindak macam-macam). Dulu bila hujan tidak kehujanan, hingga akhirnya hanya sak ombone payung (seluas payung). Bila ditarik sejarahnya, konon menurut cerita tutur, Ndoro Sumo mempunyai kedekatan dengan Mbah Samin. Beliau yang masih berusia muda waktu itu sering ke Plosokediren sehingga sampai punya klangenan (kesukaan, red) kuliner Bothok Yuyu,” kata Juwadi, S. Sos, Kepala Desa Kediren, Kecamatan Randublatung kepada Kapernews.com, Rabu (9/11/2022).

Untuk diketahui, bahwa RM (Raden Mas) Soejoed Koesoemaningrat (1883-1950) atau yang dikenal masyarakat Blora sebagai Ndoro Sumo adalah putra pertama dari Cokronegoro III (Bupati Blora yang memerintah pada 1886-1912 yang lebih memilih jalan mandita ketimbang meneruskan kepemimpinan Ayahnya.
Sehingga Ndoro Sumo termasuk cucu dari
Raden Mas Adipati Ario (RMAA) Cokronegoro II alias Kanjeng Bendhul yang sering dipanggil Den Bendhul (Bupati Blora pada tahun 1857-1886).

Keterangan: Raden Mas Toemenggoeng Tjokronegoro III, Bupati Blora, didampingi istri dan anak-anaknya. Dari kiri ke kanan: Raden Mas Soehoed, Raden Mas Soeratno, Raden Ajoe Toemenggoeng Tjokronegoro III, Raden Mas Soejoed (lingkaran merah), Raden Mas Toemenggoeng Tjokronegoro III, Raden Adjeng Soemarsijah, di belakang piano Raden Adjeng Soeminar, Raden Adjeng Soeni dan di depan lantai dari kiri ke kanan: Raden Adjeng Soemardijah, Raden Adjeng Sitiaminah dan Raden Adjeng Rustinah. Foto diterbitkan/ dibuat sekitar tahun 1900.

“Kalau Mbah Samin waktu itu bisa mencukupi kebutuhan pangan orang segitu banyaknya yang berkunjung ke padepokannya pasti tentulah punya lahan garapan. Sehingga saya coba menelusurinya dan dipertemukan. Jadi waktu pemetaan tahun ini di Desa Plosokediren ada tanah tak bertuan. Tidak ada surat pajaknya. Padahal surat pajak areal sawah di dekatnya ada semua. Akhirnya tadi pagi secara simbolis saya serahkan (pengelolaannya) buat bantu sedulur-sedulur di pendopo pengayoman. Saya punya keyakinan kalau itu punya Mbah Samin, jadi saya serahkan. Saya bilang: Kang Gun, sawah iki garapem, iso kanggo nguripi Pendopo Pengayoman. Tapi sakjane aku ya gak weweh, sampeyan yo gak njaluk. Aku mung luru lan menehke nggone Mbah,” ungkap pria yang akrab disapa Kento ini.

Menurut penjelasannya, dirinya pernah mengajak tokoh sedulur Sikep Gunretno ke beberapa lokasi yang ditengarai ada hubungan sejarah dengan sejarah Samin Surosentiko.

“Saya sebetulnya pernah mengajak Kang Gunretno ke daerah Gas Plan, yang mempunyai luas sekitar 3-4 hektar, ternyata menurutnya tidak. Akhirnya ketemu Sawah Ndulit. Luasannya hampir setengah bahu, sekitar 3 ribu meter persegi. Konon di situlah lokasi penangkapan Mbah Samin waktu tahun 1907 dulu. Daerahnya mistis. Sampai sekarang tempatnya sintru (angker, red) dan penuh misteri,” ujarnya.

Dirinya juga menceritakan sepertinya dimudahkan dalam prosesi acara peringatan Hari Pahlawan, termasuk celana hitam tiga perempat khas pakaian Samin milik almarhum bapaknya yang ditemukannya di lantai dua rumahnya dan pengerjaan lahan yang bisa rampung cepat tidak sampai sehari.

“Jujur saya sampai heran. Lahan dengan luas lebih dari seperempat hektar hanya dalam waktu 2,5 jam kok digarap 20 orang bisa selesai. Dan lagi, saya itu kan termasuk Kepala Desa yang sangat sulit berbicara. Tapi tidak tahu, tadi pagi itu ya dengan lancar saya ngomong dan ajak semua orang yang sudah berkumpul di Pendopo Pengayoman. Ayo dulur-dulur dho mangkat ning sawah,” tuturnya menirukan.

Untuk diketahui, di Desa Kediren ada 6 dusun/dukuh, yaitu: Kediren, Ploso Kulon, Ploso Wetan, Tengklik, Kedung Glonggong dan Kedung Jambu.

Selaku Kepala Desa Kediren Juwadi alias Kento merasa senang bisa turut melestarikan sejarah dan situs pejuang kemerdekaan di abad 19, dimana sudah seabad lebih yang lalu praktis tidak ada yang peduli dan melestarikan.

“Alhamdulillah, walaupun secuil sudah ketemu. Kita jadi cucunya juga bangga. Saiki wis kelakon nduweni pendopo, wis karek nguri-uri (Sekarang sudah tercapai cita-cita mempunyai pendopo, tinggal melestarikannya). Saat ini satu-persatu sudah terurai permasalahannya. Sekarang mau dibuat destinasi wisata atau apa dikembangkan, monggo, silahkan,” tuturnya.

Kento memaparkan, kalau saat ini agak enteng dalam menjalani hidup, karena
beban yang ada seperti sudah berkurang.

“Iya, rasanya agak enteng, sekarang tinggal mikir perbaikan jalan Wulung-Kedungjambu sekitar 3 km dan buat gapura pintu masuk dari jalan raya menuju Pendopo Pengayoman,” ucapnya.

Gunretno bersama Kepala Desa Juwadi ‘Kento’ dan sedulur Sikep dan masyarakat Kediren di Sawah Ndulit

Sementara itu, paska upacara penyerahan dan brokohan tokoh Sedulur Sikep Gunretno menyampaikan akan menjalankan pesan yang diberikan oleh Kepala Desa kepadanya.

“Dasar aku nresnani Ibu bumi bakal tak lakoni nganti cara nandur lan ngopeni. Pertiwi, seksenono, bakal paring hasil kang lumintu kanggo cukupe butuhe kabeh sedulur. Dasar tresnaku karo dulur, dulur-dulur bakal tak jak ngrasakke bareng hasile sawah iki. Tresna iki bakal tak rumat kanthi ajeg. Maturnuwun Mbah Lurah,” pungkasnya.

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed