oleh

Menyibak Lwaram, Membumikan Air Kehidupan

Review Buku: Lwaram: Dalam Lipatan Masa

Lwaram: Dalam Lipatan Masa karya penulis Totok Supriyanto adalah sebuah karya luar biasa yang mengajak pembaca melintasi rentang sejarah Jawa dari awal abad ke-11 hingga akhir abad ke-15.

Dengan gaya penulisan yang jelas dan narasi yang mendalam, Totok menghubungkan titik-titik kunci dalam perkembangan sejarah, membawa kita untuk memahami bagaimana perubahan sosial dan budaya membentuk Jawa seperti yang kita kenal saat ini.

Totok tidak hanya memberikan fakta-fakta sejarah yang mendalam, tetapi juga mampu menghidupkan kembali periode waktu tersebut.

Sebagai sebuah artefak budaya, Ngloram hanyalah benda, namun di tangan dingin penulis yang sempat tergabung dalam Komunitas Jelajah Blora itu diubah menjadi fragmen diorama.

Penulis buku Lwaram, Totok Supriyanto (melambaikan tangan) bersama Tim Jelajah Blora

Lwaram adalah ibukota Kerajaan Worawari. Lwaram sendiri merupakan kata dalam bahasa Jawa kuno saat ini telah menjadi Ngloram sebagai bahasa Jawa Baru.

Situs sejarah peninggalannya secara administratif terletak di Desa Ngloram, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mempunyai luas sekitar 1 hektar dan berlokasi tidak jauh dari Bengawan Solo .

Terlepas dari lay out halaman dan ukuran font yang kadang tidak sama, buku ini tidak hanya memberikan wawasan sejarah yang mendalam, tetapi juga menantang pemikiran pembaca tentang makna dan tujuan perjalanan panjang kehidupan manusia: dharma, kekuasaan, kejayaan hingga pralaya.

Lwaram: Dalam Lipatan Masa bukan hanya sekadar buku sejarah, tetapi buku karya Ketua Komunitas Bumi Budaya ini cukup provokatif dan merangsang pikiran.

Penulis yang juga aktif di Dewan Kebudayaan Blora ini mempersenjatai nalar kritis dan imajinasinya dengan data dan manuskrip catatan sejarah, baik itu babad maupun kakawin dalam kajian-kajiannya.

Buku ini adalah karya menarik yang membawa pembaca dalam perjalanan epik melintasi sejarah umat manusia. Dengan gaya penulisan yang jelas dan transparan, Totok Supriyanto merinci peristiwa besar dan perubahan revolusioner yang membentuk dunia seperti yang kita kenal hari ini, tentang penyerangan Sri Aji Worawari dari Kerajaan Ngloram yang mengakibatkan tewasnya Raja Dharmawangsa pada abad ke-11 seperti diceritakan dalam Prasasti Pucangan yang saat ini teronggok hingga berlumut di gudang museum Calcutta, India.

Dari kajian budaya, Totok menggambarkan kompleksitas perjalanan peradaban di Jawa dengan mendalam. Buku ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang masa lalu, tetapi juga merangsang pemikiran tentang arah masa depan sebuah bangsa. Lwaram adalah wajib baca bagi siapa saja yang tertarik memahami akar sejarah peradaban manusia Jawa.

Buku sejarah ini menarik karena memberikan pandangan mendalam tentang periode tertentu. Penulis dengan cermat menggali sumber-sumber dan menyajikan fakta-fakta yang menghidupkan kembali masa lalu. Sebagai budayawan, Totok adalah penyambung lidah rakawi di masa lalu yang memaknai fragmen-fragmen sejarah sebagai pengingat manusia yang hidup di era modern ini.

Gaya penulisannya yang seringkali melesat sekejap, membuat pembaca dalam sepersekian detik seolah-olah melakukan teleportasi, melintasi dimensi ruang-waktu untuk melihat peristiwa sejarah dan mengungkap misteri penggalan kisah satu titik di alam semesta.

Beda dengan penulis lain yang agak sungkan dan malu-malu, di buku ini sinkretisme dipaparkan penulis secara blak-blakan. Sinkretisme sendiri dilakukan guna mencari titik simpul berupa keharmonisan, keserasian dan keseimbangan.

Seperti Ngloram yang menjadi titik simpul Jipang dan Panolan, Rembang menjadi titik simpul Lasem dan Tuban, Medang Kamolan yang menjadi titik simpul Jawa Tengah dan Jawa Timur, Isana yang merupakan titik simpul dinasti Syailendra dan Sanjaya hingga Mahabrahmana yang merupakan titik simpul antara Brahmanisme dengan Siwaisme.

Ya, walaupun dari deret analisanya belum secara tersurat menjelaskan bahwa Kawasan Cepu Raya juga merupakan titik simpul Bojonegoro dan Blora, sebagai kunci reaktivasi bandara Ngloram yang saat ini kembali mangkrak, tentunya secara tersirat dikembalikan pada naluri masing-masing pembaca.

Meskipun demikian, buku ini memberikan kontribusi yang berharga untuk pemahaman sejarah dan dapat dijadikan referensi yang bagus, baik bagi para pelajar, pengajar, mahasiswa, peneliti, politisi hingga negarawan.

Walau kadang-kadang bahasa yang digunakan sedikit teknis, namun buku yang diterbitkan oleh Penerbit Kolin Sambong Blora ini tetap dapat diakses oleh pembaca umum yang tertarik pada sejarah.

Bagi pembaca kelas intermediate dan advanced, setidaknya pembaca yang sedikit memahami periodisasi sejarah dan mengetahui gambaran pengenalan jiwa atau semangat setiap zaman, pola, struktur dan urutan kejadian sejarah, membaca buku ini akan menjadi aktifitas yang terasa lebih mencerahkan.

Hal itu dikarenakan kemunculan beberapa frasa kata yang jarang didengar. Ya tentu akan menjadikan pembaca seperti direcharge, khususnya di perbendarahaan bahasa Sanskerta dan Proto-austronesia,
seperti: Wanua, Candala, Mleccha, Tuccha, dan lain sebagainya.

Ketiadaan catatan kaki yang terletak pada bagian bawah tulisan untuk memberikan keterangan sumber kutipan dan pernyataan, awalnya menjadi persoalan tersendiri, tapi dengan pencantuman 22 literatur rujukan di daftar pustaka cukup menjelaskan bahwa Totok Supriyanto selaku penulis mampu mempertanggungjawabkan karya ilmiah yang dibuatnya dengan sebenar-benarnya.

Memang tidak mudah menulis tentang sesuatu hal dengan data tertulis yang terbatas. Keterbatasan data tertulis sejaman telah diakui penulis kelahiran Blora 42 tahun yang lalu ini dan menjadi tantangan tersendiri untuk menelisik periode Ngloram ini.

Seperti halnya Prasasti Pucangan dibuat pada tahun 936 Saka atau 1041 Masehi yang dikatakan beberapa peneliti sebagai bencana katastropik Jawa.

Bencana di tanah Jawa yang pada waktu itu dianalogikan seperti lautan susu kemungkinan besar berasal dari ciri khas fenomena yang ada. Tsunami yang seringkali disebabkan oleh gempa bumi akibat letusan gunung api, dapat mengakibatkan pergeseran besar pada struktur tanah. Ketika gelombang tsunami mendekati pantai, air laut dapat membawa lumpur, sedimen, dan material lainnya, menciptakan tampilan yang mirip susu berwarna putih.

Masih minimnya catatan sejarah yang menyebutkan tentang letusan Gunung Merapi di Jawa pada tahun 1041 M yang kemudian dianggap sebagai salah satu bencana besar karena menciptakan tsunami yang menyapu pesisir selatan Jawa dan menimbulkan dampak signifikan masa itu menjadi kendala tersendiri dalam perumusan sejarahnya.

Dari penelitian Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian yang tertulis pada Jurnal Geologi Indonesia, Vol 1 No. 4 Desember 2006: 201-207 menjelaskan bahwa dari 11 letusan besar sejak 3000 tahun yang lalu, termasuk di tahun 765-911 yang menyebabkan pengungsian besar-besaran penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tidak ditemukan sisa endapan yang mempunyai korelasi dengan endapan hasil letusan pada rentang tahun 1006-1041.

Bukti-bukti tersebut menyimpulkan bahwa letusan besar Gunung Merapi yang konon mengakibatkan diaduknya lautan hingga menjadi putih seperti susu dan tsunami pada rentang tahun 1006-1041 tidak pernah terjadi. Pralaya tersebut adalah penggambaran secara metaforis serangan Raja Worawari hingga menyebabkan kematian Raja Dharmawangsa dan para petinggi-petinggi yang ada waktu itu.

“Pralaya rin yawadwipa i rikan sakakala 939 ri pralaya haji Wurawari maso mijil sanke Lwaram ekarnawa rapanikan sayawadwipa rilankala, akweh sira wwan mahawisesa pjah karuhun samanankana dwasa sri maharaja dewata pjah lumah rin san hyan dharma parhyangan i wwatan rin citramasa sakakala 939 skan wala.”

“Pralaya atau petaka di tanah Jawa terjadi tahun 939 Saka karena serangan Raja Worawari yang datang menyerbu dari Lwaram, seluruh pulau Jawa tampak bagaikan lautan (susu). Banyak orang penting gugur, khususnya juga waktu itu Sri Maharaja gugur dan dimakamkam di candi suci di Wwatan pada bulan Caitra tahun 939 Saka.”

Adalah sebuah kebijaksanaan bila kita dapat mengambil saripati hikmah setiap detak nafas kehidupan terlebih masa transisi semua peradaban.

Selain piawai menyelipkan kisah yang jarang orang tahu dan memberikan warna kehidupan pada fakta-fakta sejarah yang seringkali tidak terdapat dalam catatan lain, selaku dokumentator, penulis juga cakap memperkenalkan kekayaan budaya yang telah diwariskan oleh peradaban Jawa. Gambar-gambar sejarah yang disertakan memberikan dimensi visual yang kuat hingga akan memperkaya pengetahuan Anda. Seperti Kalamakara dan Medallion di Candi Lemahdhuwur Getas Kradenan Blora, Peta Letak Lwaram, Prasasti Pucangan, Peta Nadhitirapradesa Bengawan, hingga Ilustrasi Perahu-perahu di Bengawan Solo tempo dulu.

Eko Arifianto bersama Totok Supriyanto saat melakukan penelitian Kalamakara dan Medallion di Candi Lemahdhuwur Getas Kradenan Blora Jawa Tengah

Meskipun demikian, bukan tanpa kekurangan, namun secara keseluruhan, “Lwaram” adalah pengantar yang luar biasa untuk menyibak keragaman kekayaan sejarah serta budaya di wilayah hutan jati purba bernama Medang Kamulan (Balora/ Blora) hingga bisa memaknai dan meneguk air kehidupanNya untuk kemaslahatan bersama. Tentunya buku ini diharapkan dapat menjadi kurikulum muatan lokal dalam penyusunan buku teks pembelajaran sejarah lokal di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

(Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed