oleh

Hidup Dalam Kenormalan Yang Baru

-Suara Kita-1.566 views

KAPERNEWS.COM –  Mau tidak mau, siap atau tidak siap, kita bakal atau telah dihadapkan dengan wajah baru pola kehidupan sosial dan budaya yang menyangkut aspek-aspek perilaku hidup kita sehari-hari. Pandemi Covid-19 yang menimpa seluruh masyarakat dunia memaksa kita untuk turut bergerak dalam perubahan pola kehidupan yang masif ini.

Kesiapan-kesiapan itu dibutuhkan, tapi, kita boleh memilih apa dan bagaimana harusnya jalan yang selayaknya kita tempuh.

Awal Mula

Pada 31 Desember 2019, rumah sakit di China melaporkan adanya kasus penyakit sejenis pneumonia yang belum diketahui penyebabnya. Infeksi pernapasan akut yang menyerang paru-paru itu terdeteksi di kota Wuhan, provinsi Hubei, China. Menurut pihak berwenang, beberapa pasien adalah pedagang yang beroperasi di Pasar Ikan Huanan.

Adapun sebuah laporan yang diterbitkan dalam laman jurnal medis The Lancet oleh dokter China dari Rumah Sakit Jin Yin-tan di Wuhan, yang merawat beberapa pasien yang paling awal, menyebutkan tanggal infeksi pertama yang diketahui pada 1 Desember 2019.

Namun, menurut data Pemerintah China yang dilihat South China Morning Post, seorang penduduk Provinsi Hubei berusia 55 tahun kemungkinan menjadi orang pertama yang terjangkit Covid-19 pada 17 November 2019. Sejak tanggal itu dan seterusnya, satu hingga lima kasus baru dilaporkan setiap hari.

Sedangkan kasus covid-19 pertama di luar China dilaporkan di Thailand pada 13 Januari 2020. Kemudian negara-negara lain di seluruh belahan dunia mulai melaporkan warganya yang terjangkit Covid-19.

Covid-19 di Indonesia

Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, kita seakan-akan dibuat kelimpungan akan datangnya kemungkinan-kemungkinan terburuk akibat wabah yang dengan cepat merebak itu. Seperti yang diketahui, dua warga negara Indonesia yang positif Covid-19 tersebut mengadakan kontak dengan warga negara Jepang yang datang ke Indonesia, dan jadi awal perjalanan penyebaran virus SARS-CoV-2 di bumi Nusantara.

Seketika, masyarakat menjadi gaduh, masker dan pembersih tangan berbasis alkohol ludes dengan cepat di pasaran sesaat setelah pengumuman resmi itu diumumkan. Produk-produk yang masih tersedia di beberapa toko bahkan mulai dijual dengan harga yang tak masuk akal. Hal itu disusul kepanikan masyarakat yang mulai memborong dan menimbun bahan-bahan pokok dengan dalih untuk bertahan hidup kalau-kalau negara di Lockdown dan orang tak bisa kemana-mana.

“Aku tadi cari di mana-mana kosong. Di Alfamart dan Indomaret juga sama,” keluh Fajar, salah seorang teman saya yang jadi geram gara-gara fenomena tersebut.

Selain itu, banyaknya video yang saat itu beredar di media sosial tentang orang yang kejang-kejang dan bergeletakan di jalan yang disinyalir terinfeksi virus corona membuat banyak orang menjadi takut. Wabah ini nyatanya berkembang menjadi sebuah wabah ketakutan yang menjangkiti pikiran setiap orang.

Situasi jadi semakin gaduh, ketika pada 11 Maret 2020, untuk pertama kalinya warga negara Indonesia meninggal akibat Covid-19. Korban tersebut meninggal di Solo, adalah seorang laki-laki berusia 59 tahun. Diketahui sebelumnya ia menghadiri seminar di kota Bogor, Jawa Barat, 25-28 Februari 2020.

Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, merespon dengan cepat kasus tersebut. Solo jadi kota pertama yang menaikan status menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan jadi kota pertama yang menerapkan Lockdown atau Karantina Wilayah. Tentu saja ini hal yang sama sekali baru.

Sekolah dan kampus-kampus mulai diliburkan dan diganti dengan sistem pembelajaran jarak jauh atau online, acara-acara dan konser-konser juga terancam batal diselenggarakan. Bahkan Ujian Nasional yang akan digelar dalam waktu dekat juga dibatalkan atas keputusan Kemendikbud Nadiem Makarim. Beberapa perusahaan juga harus menerapkan Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah. Namun, tidak semua orang bisa seberuntung itu dapat berkerja dari rumah. Ada dari mereka yang harus tetap pasang badan untuk bekerja dan menyambung hidup di tengah-tengah wabah yang sedang merebak. Pelaku UMKM juga tak luput menerima efek dari diberlakukannya kebijakan lockdown di kota Solo. Pendapatan mereka menurun drastis hingga terpaksa menutup sementara usaha mereka.

Yusuf Canarisla, seorang kawan sekaligus owner Cafe Baca Canarisla, mengaku pamasukan kedai kopinya yang berada di Jl Garuda itu menurun secara signifikan setiap harinya, “Die,” katanya, “Coffee Shop di sekitar kampus sini gue kira juga bernasib sama.”

Yang tak bisa dimungkiri adalah Yusuf bukanlah satu-satunya orang yang harus merasakan dampak Lockdown. Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, pada 2019, entitas produksi Indonesia didominasi UMKM, yaitu 99,99 persen dari total jumlah unit usaha yang ada. Sementara itu, dari sisi nilai tambah, UMKM menyumbang sekitar 63 persen dari produk domestik bruto. Itu berarti, masih banyak pelaku UMKM yang mungkin merasakan hal serupa.

Istilah lockdown, yang secara harfiah berarti kuncian, secara teknis bermakna mengunci seluruh akses masuk atau keluar dari suatu wilayah/daerah/negara untuk mencegah penyebaran Covid-19. Karantina wilayah menurut UU No 6/2018 merupakan pembatasan pergerakan orang untuk kepentingan kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Meski banyak pihak yang mengusulkan, Pemerintah Pusat tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan Lockdown. Banyak yang harus dipertimbangkan jika negara menerapkan kebijakan tersebut, salah satunya resiko kelumpuhan di sektor ekonomi nasional.

Sampai pada akhirnya, Pemerintah Pusat memilih untuk menerapkan Social Distancing yang kemudian diubah menjadi Physical Distancing. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah mengubah istilah pembatasan sosial (social distancing) menjadi menjaga jarak fisik (physical distancing) sebab istilah social distancing dianggap kurang bagus oleh pemerintah.

Mulai dari situ, entah terpaksa atau tidak, kita mulai terbiasa dengan namanya menjaga jarak. Kita tidak boleh berjabat tangan, cipika-cipiki, dan harus menjaga jarak sekurang-kurangnya 1 meter ketika harus berinteraksi dengan orang lain. WHO juga menyarankan untuk rutin mencuci tangan pakai sabun setidaknya 20 detik, memakai masker, dan memakai hand sanitizer untuk memutus penyebaran virus Covid-19.

Semakin ke sini rasanya keadaan menjadi semakin rancu, kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly tentang asimilasi bagi para narapidana (napi) di tengah pandemi Covid-19 menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat.

Banyak orang menjadi resah karena tingkat kejahatan naik. Meski hal ini belum bisa dibuktikan dengan data valid apakah tingkat kejahatan naik akibat kebijakan asimilasi, tapi, masyarakat kadung resah dan ketakutan dengan kabar-kabar seram yang sering berseliweran di media sosial maupun yang tersebar pada grup-grup WhatsApp.

Kabar yang paling populer adalah begal dan pencurian yang membuat masyarakat menjadi was-was kemudian membentuk swadaya pengamanan di setiap RT. Setiap gang kini diberi portal untuk menutup atau meminimalisir akses orang yang keluar masuk kampung. Beberapa portal baru dibangun dan dicat dengan warna mentereng. Setiap warga dengan sukarela bergantian berjaga dan mengaktifkan kembali Siskamling.

“Demi keamanan bersama,” kata mereka.

Tapi, kejadian salah pukul pun terjadi. Ngadino Cipto Wiyono, Seorang tukang becak yang hendak buang air di belakang Museum Keris Solo dituduh sebagai pencuri dan digebuki oleh beberapa Security. Kejadian yang viral akibat unggahan video pada Minggu (19/4/2020) itu pun membuat keluarga tidak terima dan melaporkan ke Polisi. Bahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo turut merespon aksi pemukulan tersebut dan meminta pihak berwenang untuk mengusutnya.

Saya kira, kasus Ngadino hanya salah satu contoh dari paranoia tentang napi asimilasi yang melakukan tindak kejahatan lagi, yang membuat kita saling curiga ketika bertemu orang asing dan berkata: “Jangan-jangan dia maling?!” Dan diam-diam menyiapkan bogem mentah kalau-kalau orang asing itu benar maling.

Belakangan, para warga mulai terbiasa dengan pola kehidupan seperti itu. Edi, Ketua RT di salah satu kampung yang menerapkan sistem tersebut, mengaku tetap akan memberlakukan penutupan portal meski pandemi virus corona berakhir dan keadaan mulai membaik.

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menanggapi pernyataan dari WHO tentang virus corona yang akan tetap ada meski vaksin telah ditemukan, mengajak masyarakat untuk berdamai dengan Covid-19 dan membiasakan diri dengan pola kehidupan New Normal. Dan sekali lagi, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, kita bakal atau telah dihadapkan dengan wajah baru pola kehidupan sosial dan budaya yang menyangkut aspek-aspek perilaku hidup kita sehari-hari.

Kelak, mungkin kita akan saling bertemu dengan masker yang menutupi setengah wajah, menenteng hand sanitizer ke mana-mana, dan akan kesulitan ketika hendak ke rumah karena portal di mana-mana.

Namun, di antara sekian rentetan peristiwa tersebut, saya ingin percaya bahwa akan selalu ada harapan, bahwa kita akan tetap bisa bercengkrama seperti sediakala, bisa bersalaman dan memeluk orang-orang terkasih tanpa takut kena korona. Kedai-kedai kopi akan dipenuhi lagi oleh anak-anak muda dengan jiwa yang bergairah, konser-konser dangdut ambyar akan digelar lebih semarak, gunung-gunung dan tebing tinggi akan bertemu lagi dengan penjelajah yang sengaja tersesat, bunga-bunga akan berdansa sepanjang malam, saya dan kamu, akan menemukan cinta yang selama ini tersembunyi entah di mana, dan dunia akan kembali damai—tentu saja.

(Sigit Wibowo)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed