PALANGKARAYA – Keputusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya memvonis Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersalah atau lalai dalam bencana kebakaran hutan dan lahan pada 2015.
Hal itu secara tak langsung membuat nama kota Palangkaraya menjadi buah bibir.
Terlebih belakangan ini, asap akibat kebakaran hutan dan lahan di sebagian wilayah di Kota Palangkaraya mulai menyelimuti Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah itu pada sore hingga pagi hari.
Organisasi nirlaba Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat angkat bicara menanggapi keputusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang memvonis Jokowi bersalah atau lalai dalam bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015.
Anton P Widjaya selaku Direktur Walhi Kalimantan Barat, menyebutkan bukti-bukti di lapangan menguatkan keputusan pengadilan tersebut.
Direktur Walhi Kalimantan Barat ini, menjelaskan, hingga 14 Agustus 2018, tercatat 790 titik api, di mana 201 diantaranya berada di areal korporasi.
“Berdasarkan data titik api pada tanggal 14 Agustus 2018 yang di-overlay dengan peta sebaran konsesi di Kalimantan Barat, dari 790 titik api terdapat 201 titik api berada di dalam konsesi,” katanya pada hari Jumat (24/8).
Overlay sebaran titik api Walhi Kalimantan Barat itu, menurutnya, bersumber dari Citra Modis C6 Kalimantan Barat NASA 2018 dengan confidence 80-100 persen dengan Peta Sebaran Investasi di Kalimantan Barat.
Berdasarkan data itu, Walhi mendesak Menteri Lingkungan dan Kehutanan Siti Nurbaya, untuk mengklarifikasi pernyataan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Ruandha Agung Sugardiman, bahwa yang menyebutkan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah masyarakat.
Menurut Anton, pernyataan tersebut merupakan cerminan rendahnya komitmen institusi terkait tersebut dalam menegakkan hukum dalam kasus kejahatan lingkungan.
Anton menambahkan, Pernyataan tersebut tidak berpijak pada data, subjektif dan terkesan melindungi korporasi yang sengaja membakar atau terbakar lahan konsesinya.
Meski demikian, dirinya tidak menyangkal fakta bahwa ada masyarakat yang mengelola lahan dengan cara membakar dengan skala kecil. Hal ini dikuatkan dengan melihat titik api yang ada di konsesi dan ada juga di luar konsesi.
Menurut Anton, kebakaran hutan dan lahan harus dilihat kualitas dampak dari kebakaran tersebut dan bukan hanya kuantitas berapa banyak titik kebakarannya.
“Seratus petani membakar lahan pertanian yang luasnya terbatas dampaknya tidak sama dengan satu perusahaan yang melakukan pembersihan lahan yang luasnya ribuan hektare. Kerusakan dan polutan asap yang dihasilkan sangat mengerikan, apalagi jika ratusan perusahaan perkebunan melakukannya,” ucap Anton.
“Tanggung jawab hukum ada pada korporasi dan birokrasi sebagai pemilik izin konsesi dan pemberi izin, kenapa masyarakat yang disalahkan? Negara jangan lagi melindungi para penjahat lingkungan di Indonesia,” kata Anton.
Presiden Jokowi menyatakan menghormati keputusan vonis terhadap dirinya tersebut.
“Kita harus menghormati, kita harus menghormati sebuah keputusan yang ada di wilayah hukum, yang ada di pengadilan. Harus kita hormati,” kata Jokowi di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, pada hari Kamis (23/8).
Jokowi menyebutkan bahwa putusan tersebut belum final.
Pemerintah masih akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Diketahui, Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan gugatan kepada Presiden RI, Menteri Pertanian RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI (BPN RI), Menteri Kesehatan RI, Gubernur Kalteng dan DPRD Kalteng.
sumber : tempo.co
Ditulis oleh: jendil / JT/Kapernews.com
*Tulisan ini adalah ‘Suara Kita’ kiriman dari pembaca. Kapernews.com tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini.
Komentar