oleh

Pemantau Independen Kehutanan Luncurkan Siaran Pers Audit Investigasi Independen Perlu Dilakukan Atas Pelaksanaan Permenhut P.60/2011

TEMANGGUNG, KAPERNEWS.COM – Menurut Andrianto, Pemantau Independen Kehutanan, semenjak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.72/2010 tentang Perum Perhutani maka Perusahaan diamanatkan untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan di Jawa.

“Dengan menyusun Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) di mana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan melakukan penilaian terlebih dahulu dan kemudian memberikan persetujuan,” kata Andrianto, Pemantau Independen Kehutanan dalam
Siaran Persnya, Senin (15/8/2022).

Andrianto menjelaskan, selain membuat RPKH, Perum Perhutani berkewajiban untuk membuat Rencana Tehnik Tahunan (RTT).

Batang pohon jati yang tegak menjulang di hutan Randublatung Blora Jawa Tengah

“Dalam RPKH disusun penyelenggaraan kegiatan pengelolaan hutan sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat optimal dari segi ekologi, sosial dan ekonomi secara lestari, baik bagi perusahaan maupun masyarakat,” jelasnya.

Singkatnya, RPKH merupakan rencana pengelolaan hutan berkelanjutan dan menyeluruh yang memberikan gambaran tentang keadaan hutan, lingkungan dan potensinya.

“Ya, pedoman tehnis pengaturan tata kelola kehutanan bagi Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P. 60/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Penyusunan RPKH dan RTT di Wilayah Perum Perhutani,” terangnya.

Dirinya menyampaikan bahwa mendasarkan Permenhut P. 60/2011 sesungguhnya dapat diawasi dan diketahui secara dini serta diambil tindakan preventif dan korektif atas implementasi berjalannya penyelenggaraan pengelolaan hutan yang telah dilakukan Perum Perhutani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Sebagaimana cukup jelas ditegaskan dalam Permenhut P. 60/2011 bahwasanya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat mengembalikan RPKH kepada Perum Perhutani apabila dinilai tidak memenuhi persyaratan maupun melakukan tindakan revisi RPKH bilamana telah terjadi perubahan kondisi fisik sumberdaya hutan yang disebabkan faktor manusia maupun alam ataupun penggunaan kawasan hutan menjadi non kehutanan,” ujarnya.

Penampakan cabang-cabang pohon jati dengan background langit biru

Andri menambahkan bahkan dalam mendukung pelaksanaan RPKH dan RTT, Menteri Kehutanan menunjuk Direktur Jenderal untuk melaksanakan supervisi dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan/atau Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota melakukan monitoring/pengawasan pelaksanaan RTT dan melaporkan kepada Menteri LHK setiap 6 bulan dan tahunan.

“Pada sisi lain, Direksi Perhutani berkewajiban menyampaikan laporan gabungan realisasi RTT kepada Direktur Jenderal KLHK setiap 6 bulan dan tahunan,” imbuhnya.

Ia mengatakan bahwa Kepala Unit Perhutani dan Administratur/KKPH Perhutani juga wajib menyampaikan realisasi RTT setiap 6 bulan dan tahunan masing-masing kepada Kepada Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.

“Rencana tehnik tahunan (RTT) ini di dalamnya mencantumkan perencanaan perawatan hutan, pemeliharaan tanaman, pemberantasan hama dan penyakit, produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu serta sarana dan prasarana hutan. Sesungguhnya RPKH dan RTT merupakan mekanisme tehnis dan panduan cek and balance bagi KLHK selaku regulator dan Perum Perhutani selaku operator dalam melaksanakan pengelolaan hutan di Jawa sebagaimana telah diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” ucapnya.

Andri melihat bahwa munculnya kegaduhan dan polemik SK. Menteri LHK No.287/2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dengan mempertentangkan bahwasanya untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan lahan hutan kritis sehingga perlu dilakukan rehabilitasi lahan versus potensinya terjadi pengrusakan hutan dan salah kelola hutan akibat pemberian akses kelola kepada pihak yang tidak tepat justru menegaskan bahwa pemenuhan kewajiban RPKH dan RTT sesungguhnya selama ini tidak berlangsung.

“Berlangsungnya pro-kontra yang melatarbelakangi KHDPK adalah upaya untuk saling melindungi diri bagi KLHK dan Perum Perhutani atas buruknya praktek tata kelola kehutanan yang telah berjalan menahun di Pulau Jawa. Berbagai upaya seperti unjuk rasa, seminar maupun FGD dari beragam kalangan terkait KHDPK yang marak belakangan ini justru menjauhkan untuk menemukan persoalan hutan di Jawa dan Madura,” tandasnya.

Tampak dahan, cabang dan ranting pohon jati yang meranggas

Bagi Andri, tidak pernah dilakukannya audit investigasi independen atas implementasi RTT semenjak diundangkan pada tahun 2011 lalu baik kepada KLHK maupun Perum Perhutani menimbulkan banyak pertanyaan.

“Selaku regulator, apakah KLHK maupun aparatur di bawahnya mulai Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/kota telah menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana amanat ketentuan peraturan perundangan yang berlaku tidaklah dapat diketahui dengan pasti. Demikian pula dengan Perum Perhutani selaku operator. Ironisnya, justru kedua belah pihak ini sama-sama merasa memiliki “otoritas penuh” di tengah melanggengnya kondisi kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan dan berlangsungnya kerusakan hutan di Jawa,” pungkasnya.

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed