TEMANGGUNG, KAPERNEWS.COM – Karena Keputusan Bupati Temanggung Nomor : 970/365 Tahun 2022 tentang Tim Pengkajian Pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) berupa Los, Kios dan Pertokoan Pasar Daerah di Kabupaten Temanggung yang ditetapkan 5 Oktober 2022 lalu disinyalir belum menghasilkan keputusan mengenai pengelolaan pasar,
membuat Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP) mengeluarkan sorotan tajam, Temanggung, Senin (26/12/2022).
“Berlarut-larutnya upaya untuk memperjelas perpanjangan Izin Menempati kios maupun los bagi pedagang yang menjadi salah satu agenda pembahasan Tim Pengkajian ini memiliki rentang waktu cukup lama,” kata Andrianto
Ketua LSPP dalam siaran persnya, Senin (26/12/2022).
Menurutnya,semenjak habis masa berlakunya Izin Menempati Kios/Los bagi pedagang pada 5 Oktober 2019 silam maka berarti sudah lebih dari 3 tahun tidak memiliki kepastian hukum dalam pengelolaan barang milik daerah (BMD) maupun kepastian berusaha bagi pedagang pasar.
“Permasalahan yang terjadi pada Pasar Legi Parakan ini juga berlangsung di pasar-pasar lainnya seperti Pasar Adiwinangun Ngadirejo, Pasar Candiroto maupun Pasar Kliwon Temanggung,” ungkapnya.
Kata Andri, bagi Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP), bahwa berlarutnya penanganan penyelesaian pasar merupakan cermin buruknya penyelenggaraan administrasi pemerintahan Kabupaten Temanggung.
“Yang sebenarnya cukup jelas diamanatkan dalam ketentuan UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, pada awal Oktober 2022 lalu ratusan pedagang Pasar Adiwinangun Ngadirejo melakukan unjuk rasa kepada Bupati Temanggung maupun DPRD untuk mencabut Perbup No. 117/2021 yang dinilai menyengsarakan pedagang pasar dengan membebani biaya sewa yang tinggi.
“Menurut kajian LSPP, permasalahan pasar ini sesungguhnya telah tersedia pedoman maupun petunjuk tehnisnya dengan mengacu kepada UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMD),” ujarnya.
Dirinya melihat pada tingkat pelaksanaannya menjadi penyebab
munculnya permasalahan yang ada.
“Yaitu ketika Peraturan Bupati (Perbup) sebagai dasar ketentuan yang mengatur pengelolaan pasar sebagai barang milik daerah (BMD) terindikasi menyimpang dari ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” ucapnya.
Dirinya memberikan contoh dalam pengelolaan Pasar Legi Parakan setelah dilakukan renovasi bahwa penataan dan penempatan pedagang pasar diatur melalui Perbup Temanggung No. 64/2015.
“Dalam Perbup ini ditegaskan bahwasanya para pedagang diwajibkan membayar biaya bagi pembangunan pasar sebagai bentuk Retribusi Penempatan Awal (RPA) bagi pedagang untuk menempati kios/los yang jumlah besaran nominalnya terlampir dalam Perbup,” paparnya.
Andri menyoroti bahwa istilah RPA dalam Perbup No. 64/2015 ini sesungguhnya tidak dikenal/tidak ada di dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku selain Retribusi Pelayanan Pasar.
“Bagi LSPP sejak awal Perbup No. 64/2015 memiliki cacat materiil sebagai produk ketentuan dan berdampak secara langsung kepada pedagang pasar yaitu pertama, tidak adanya kepastian hukum yang sah dalam pengelolaan barang milik daerah (BMD); kedua, patut diduga terindikasi terjadi mark up atas besarnya biaya yang wajib dibayarkan oleh pedagang dan ketiga, pedagang telah melakukan kelebihan pembayaran sebagai syarat untuk menempati kios/los,” tegasnya.
Dirinya mengungkapkan, tidak adanya kepastian hukum yang sah dalam pengelolaan BMD berupa pasar adalah bahwa surat Izin Menempati/Menyewa Kios/Los bagi pedagang yang diterbitkan selama ini oleh Kepala Dinas Perindagkop UKM Kabupaten Temanggung (sekarang bernama Dinkopdag) adalah tanpa adanya Perjanjian Sewa terlebih dahulu antara Para Pihak yang terlibat dalam Perjanjian tersebut.
“Perjanjian Sewa yang di dalamnya memuat identitas para pihak; jenis, luas, besaran sewa dan jangka waktu sewa; tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa serta hak dan kewajiban para pihak merupakan amanat ketentuan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,” ungkapnya.
Andri menambahkan, tidak adanya Perjanjian Sewa antara para pihak dalam pemanfaatan barang milik daerah merupakan perbuatan maladministrasi yang telah dilakukan SETDA Temanggung selaku Pengelola BMD maupun Dinkopdag selaku Pengguna BMD.
“Dugaan terindikasi terjadinya mark up atas biaya pembangunan Pasar Legi Parakan yang dibebankan kepada pedagang sebagaimana tertera dalam lampiran Perbup No. 64/2015 karena penetapan besaran nilanya tidak mendasarkan pada prinsip dan sasaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa Retribusi Pelayanan Pasar,” imbuhnya.
Andri mengatakan, penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan (Pelayanan Pasar), kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
“Besarnya nilai biaya pembangunan Pasar Legi Parakan yang dibebankan kepada pedagang sebagaimana terlampir dalam Perbup patut diduga terjadi mark up karena dalam penghitungannya bukanlah merupakan Retribusi Penempatan Awal tetapi sesungguhnya adalah Sewa,” bebernya.
LSPP menduga bahwa pedagang telah melakukan kelebihan pembayaran kepada Bank BPD Jawa Tengah sebagai syarat untuk dapat menempati Kios/Los dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) berupa Retribusi Penempatan Awal yang sesungguhnya bukanlah biaya retribusi yang dibayarkan tetapi adalah sewa, yang dalam menentukan besarnya nilai nominal antara retribusi dengan sewa sangatlah berbeda karena perbedaan variabel yang digunakan maupun metode/cara penghitungannya.
“Kajian mendalam dan temuan LSPP mengenai Pasar Legi Parakan dengan mendasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku serta dukungan data/dokumen yang ada telah disampaikan secara resmi kepada Kejaksaan Negeri Temanggung pada pertengahan November 2022 untuk dapat dilakukan pengusutan mendalam dan tuntas,” pungkasnya
(Abu Sahid/ Eko Arifianto)
Komentar