oleh

Pemantau Independen Desak Implementasi Perhutanan Sosial Sebagai Bentuk Akses Legal Pemanfaatan Lahan Hutan Negara Bagi Desa Sekitar Hutan

BLORA, KAPERNEWS.COM – Menurut pemantau independen, semenjak diundangkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) P. 83/2016, PermenLHK P. 39/2017 dan Permen LHK P. 9/2021 sebagai pedoman dan petunjuk teknis dalam mengimplementasikan program Perhutanan Sosial (PS) ternyata tidak banyak diketahui dan dipahami oleh masyarakat desa sekitar hutan dan sedikit mendapatkan perhatian dari kalangan pemangku kepentingan di Kabupaten Blora. Sementara itu, terbitnya SK. Menteri LHK 287/2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) memunculkan pro kontra dari berbagai tingkatan elemen masyarakat.

Andrianto, Pemantau Independen Kehutanan bersama Kelompok Tani Hutan di Desa Tanggel Randublatung Blora

“Hal ini tentulah menimbulkan tanda tanya besar, sebab program PS sebagai bentuk pemberian akses legal dalam pemanfatan lahan hutan negara justru luput dan tidak mendapatkan penanganan memadai sementara KHDPK disikapi luar biasa di Kabupaten Blora. Adakah faktor penghambat atau bottleneck dalam mengimplementasikan Perhutanan Sosial yang sesungguhnya sedang berlangsung,” kata Andrianto, Pemantau Independen Kehutanan lewat rilisnya yang dikirim ke Kapernews.com, Senin (8/8/2022).

Aksi Gabungan Kelompok Tani Hutan Blora Selatan di DPRD Blora, Jawa Tengah, Rabu (20/7/2022) lalu

Andri melihat ketika beberapa waktu yang lalu, Rabu (20/7 2022) saat ribuan petani penggarap lahan hutan yang tergabung dalam beberapa kelompok tani hutan di wilayah Blora Selatan melakukan unjuk rasa ke Kantor DPRD Kabupaten Blora, aspirasi dan tuntutan yang disampaikan kepada wakil rakyat adalah mendorong pelaksanaan SK Menteri LHK 287/2022 agar KHDPK jangan sampai dibekukan atau dicabut.

“Di tengah persiapan unjuk rasa, koordinator Gabungan Kelompok Tani Hutan Blora Selatan (GKTHBS) melakukan komunikasi aktif dengan kami terkait terjadinya pro kontra paska ditetapkannya KHDPK. Bagi kami, kegaduhan atas terbitnya SK 287 tentang KHDPK justru menimbulkan tanda tanya besar,” tuturnya.

Dalam rilisnya, dirinya menyampaikan bahwa semenjak mendedikasikan diri sebagai pemantau independen kehutanan, dengan mendasarkan bukti-bukti terverifikasi, menunjukkan bahwasanya pada tingkat tapak implementasi tata kelola kehutanan di Jawa dan Madura yang dilakukan Kementerian LHK dan Perum Perhutani adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Para petani hutan di Blora Selatan turun jalan menyuarakan aspirasinya

“Banyak terjadi tindakan atau kegiatan yang terindikasi maladministrasi telah dilakukan oleh Perhutani ditingkat KPH sekaligus dilakukan pembiaran oleh Kementerian LHK yang terkesan tidak memahami tugas dan fungsinya,” terangnya.

Andri mengatakan bahwa sebetulnya tidak terlalu sulit menemukan berlangsungnya perbuatan maladministrasi yang dilakukan KPH Perhutani di satu sisi dan pada sisi lain dibiarkan oleh KLHK yaitu penggunaan akad Perjanjian Kerjasama (PKS) yang ditandatangani Administratur KPH Perhutani dengan Ketua LMDH sebagai sahnya pemanfaat hutan Negara.

Pertemuan Kelompok Tani Hutan di Blora Selatan

“Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan mendasarkan kepada SK. Direksi Perhutani tentang Pedoman Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ini merupakan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dan bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” jelasnya.

Dirinya menambahkan bahwa, karena di dalam perjanjian kerja sama mengatur perbuatan hukum antara orang dengan hutan dan hubungan hukum mengenai kehutanan.

“Ya, sebagaimana amanat ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang jelas menyebutkan bahwa Pemerintahlah yang memiliki kewenangan mengatur dan menetapkan hubungan hukum dan perbuatan hukum kehutanan,” ucapnya.

Andri menambahkan bahwa hal tersebut dipertegas dalam Permenhut P. 39/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui Kemitraan Kehutanan sebagai petunjuk teknisnya bahwa kesepakatan bersama antara pengelola hutan (Perum Perhutani) dengan masyarakat setempat dilakukan melalui Perjanjian Kemitraan Kehutanan dan dituangkan dalam bentuk Naskah Kerjasama Kemitraan Kehutanan (NKK).

Pengukuhan salah satu kelompok tani hutan di Randublatung Blora Jawa Tengah

“Dalam Permenhut P. 39/2013 ini juga tegas disebutkan bahwa Dirjen atau kepala dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi kehutanan wajib melakukan fasilitasi kemitraan kehutanan,” imbuhnya.

Menurutnya, pembiaran penggunaan PKS dan bukan NKK dalam pemanfaatan hutan Negara di seluruh areal kerja KPH Perhutani di Jawa dan Madura merupakan praktek penyimpangan hukum yang kronis dan ironis.

“Sengkarutnya implementasi tata kelola kehutanan yang memiliki cakupan wilayah luas dan berdampak besar bagi masyarakat desa sekitar hutan serta berpotensi terjadinya kerusakan hutan sesungguhnya telah berjalan lama dan diinisiasi oleh Kementerian LHK dan Perhutani sendiri,” tandasnya.

Dalam pengamatannya, Andri melihat bahwa periode paska ditetapkannya Perhutanan Sosial melalui PermenLHK P. 83/2016 maupun PermenLHK P. 9/2021 pada tingkat implementasinya belum juga menunjukkan progres perubahan sebagaimana amanat ketentuan peraturan yang berlaku.

Pertemuan Kelompok Tani Hutan Wono Sumo Joyo Tanggel Randublatung Blora

“Kami selaku pemantau independen pada Mei 2021 telah menyampaikan laporan resmi kepada Dirjen Penegakan Hukum (GAKUM) KLHK terkait indikasi dugaan perusakan hutan yang dilakukan Kepala Desa di Banyuwangi namun hingga saat ini tidak memberikan tanggapan sama sekali,” ungkapnya.

Demikian pula Andri melihat, bahwa permohonan peralatan penyulingan yang disampaikan kelompok tani yang telah memiliki izin KULIN KK kepada Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) pada September 2021 sama sekali juga tidak memberikan tanggapan.

“Kinerja kedua institusi publik ini jauh dari pemenuhan amanat ketentuan peraturan baik UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) maupun UU tentang Pelayanan Publik,” tegasnya.

Baginya, temuan atas praktek-praktek tata kelola hutan di tingkat tapak selama ini dengan mencermati maraknya pro kontra SK. Menhut 287/2022 tentang KHDPK tidak ada urgensinya dan justru menjadi faktor penghambat (bottleneck) dalam mengimplementasikan Perhutanan Sosial, karena saat paska unjuk rasa petani penggarap hutan di Blora dirinya melakukan pertemuan dan inventarisasi ke dusun-dusun serta desa di wilayah hutan Randublatung dan menemukan fakta bahwasanya masyarakat tidak pernah mendengar dan memahami adanya program Perhutanan Sosial yang telah diundangkan lebih dari 5 tahun.

“Selaku pemantau independen kehutanan, kami menilai bahwa kondisi faktual ini memberikan petunjuk jelas mengapa implementasi Perhutanan Sosial sebagai salah satu program strategis nasional Presiden Joko Widodo mengalami hambatan keras dalam pelaksanaannya di tingkat tapak,” pungkasnya.

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed