oleh

Mencengangkan, 1.300 Hektar Lebih Tanah Masyarakat Yang Telah Ber-SHM Overlapping Dengan HGU Perkebunan Besar Sawit (Bagian I)

PASANGKAYU, KAPERNEWS.COM –  Ini di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), ada tanah masyarakat seluas 13.730.476  M2 telah miliki Sertifikat Hak Milik (SHM), ternyata berada atas dokumen kepemilikan lain yaitu sertifikat Hak Guna Usaha (SHU) milik perusahaan besar perkebunan sawit.

Perihal tumpang tindih (overlapping) antara SHM masyarakat dan SHU perusahaan perkebunan sawit terkuak secara jelas dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP), Selasa 2 Nopember 2021 antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pasangkayu dengan pihak perkebunan besar sawit, Pemerintah Daerah (Daerah), Badan Pertanahan (BPN) Provinsi Sulawesi Barat, Pertanahan Kabupaten  (BPN) Pasangkayu, Polres, Pengadilan, Pihak Perbankan, beberapa anggota DPRD yang hadir, Kepala Desa Lariang, Kepala Desa Pakawa, dan Kepala Desa Martasari, serta sejumlah Tokoh Masyarakat yang hadir.

Saat membuka RDP tersebut, Ketua DPRD Pasangkayu, Alwiaty, SH katakan kalau RDP ini telah direncanakan sebulan yang lalu, namun karena padatnya kegiatan DPRD, sehingga baru dilaksanakan. Menurutnya, RDP ini dilakukan karena adanya laporan masyarakat tentang problem overlapping sertifikat tanah mereka dengan SHU perusahaan, itu diketahui karena sertifikat  mereka tidak bisa menjadi agunan untuk berusaha mendapatkan pinjaman dari perbankan. “Pimpinan DPRD merasa perlu untuk mengadakan RDP, terkait keluhan-keluahan masyarakat. Dengan melalui RDP ini, DPRD  tersebut  memediasi antara masyarakat dan pihak-pihak terkait agar terbuka jalan untuk menemukan solusi dari masalah ini,” kata Alwiaty.

Dalam forum RDP yang diwarnai debat sengit antara salah satu anggota DPRD dan masyarakat serta aplaus yang ramai dari hadirin bagi pembicara  yang suaranya dianggap masuk akal tepat sesuai materi RDP ini, Kepala BPN Pasangkayu, Suwono Budi Hartono, S.Si.T, M.M. menguraikan sejarah tentang adanya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dimana di Kabupaten Pasangkayu ada dua, yaitu HGU milik Astra Group (PT Astra Agro Lestari, red.) dan PT. Unggul Widya Lestari. Dari kedua perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan besar kelapa sawit ini, memiliki 14 sertifikat HGU. Dari ke-14 sertifikat HGU tersebut menurut Kepala BPN Pasangkayu, tidak semuanya overlapping dengan SHM masyarakat.

Lebih lanjut Kepala BPN Pasangkayu jelaskan bahwa HGU itu terbit rata     – rata antara tahun 1997 dan 1998, atas dasar pelepasan kawasan hutan dari kementerian Kehutanan RI. “Jadi dasarnya sertifikat HGU oleh PT, baik Letawa, Mamuang, Pasangkayu dan lain sebagainya. Dasarnya itu adalah pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan, untuk terbitnya. Itu pada kisaran tahun 1997 dan 1998, yang paling banyak pada tahun 1997 dan yang berhak menerbitkan HGU adalah adalah BPN pusat, mulai dari kegiatan pengukurannya sampai dengan penerbitan surat keputusan pemerintah,” papar Kepala BPN Pasangkayu lebih lanjut.

Mengenai terjadinya indikasi overlapping antara SHM masyarakat dan HGU itu, berdasarkan data yang ada di BPN Pasangkayu, penerbitan SHM itu terjadi pada tahun 2008 hingga 2012. Karena pada saat itu pihak BPN masih sangat terbatas fasilitasnya, juga sarana peta lainnya dalam menentukan obyek secara detail.

Sementara itu anggota DPRD Pasangkayu, Yani Pepi Adriani, Usai RDP katakan RDP tentang overlapping antara SHM masyarakat dan HGU perusahan sawit  sejatinya memang harus dilaksanakan demi memediasi masyarakat dengan pihak terkait. Terutama untuk untuk mendapatkan kepastian hukum atas SHM yang dimiliki masyarakat. Menurutnya, sertifikat yang dimiliki masyarakat harus jelas kedudukannya, sehingga sertifikat itu dapat digunakan oleh masyarakat di perbankan dan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Lanjut Yani, masyarakat yang ada di lokasi HGU yang kemudian memiliki SHM atas lokasi tersebut, tentu dalam permohonannya  ke BPN tentu telah memenuhi syarat untuk terbitnya sertifikat pada saat itu. Kemudian pihak pemegang perusahaan pemegang HGU sendiri tidak mengajukan keberatan, maka terbitlah SHM di masyarakat.

Lanjut Yani, perusahaan pemegang HGU tersebut memang tidak tau kalo ada overlapping karena datanya tidak ada. Seharusnya perusahaan tidak boleh demikian. Apalagi kalau menganggap tidak ada overlapping.

“Seharusnya mereka sebagai pemilik lahan HGU harus lebih awal tau jika ada overlapping. Aneh kan kalau perusahaan tidak punya data tentang overlapping ini. Karena seharusnya mereka yang keberatan. Karena ketidaktahuannya inilah mereka menganggap tidak ada SHM masyarakat masuk dalam HGU-nya,” terang Yani lagi.

Pada intinya kata Yani,  terjadinya overlapping karena perusahaan tidak menjaga batas-batas awal pengukuran dan akhirnya. Karena batas tersebut  tidak terjaga dengan baik maka masyarakat masuk dan mengelolah lahan tersebut sampai saat ini sudah kurang lebih 24 tahun lamanya. Masyarakat menguasai lahan tersebut dan menerbitkan Sporadik dan SHM. Dalam kesimpulannya, Yani sarankan solusinya,  masyarakat yang sudah miliki SHM maupun yang belum ber-SHM harus dibebaskan dari HGU.

Pada sisi lain Yani melihat adanya hal krusial di daerah ini (Kabupaten Pasangkayu, red.) jika benar apa disebut-sebut dalam RDP tersebut bahwa ada satu desa, yaitu Desa Pakava hampir 100 persen dalam kawasan HGU. Berarti semua fasilitas pemerintah maupun asset pemerintah lainnya, seperti kantor-kantor pemerintah, sekolah jalan dan jembatan terbangun di atas HGU perusahaan tanpa ijin.

Menurut Yani lagi, kalau diinventarisir, semua fasilitas pemerintah yang dibangun di dalam kawasan HGU, bisa milyaran rupiah yang telah dipakai. Bagaimana statusnya ini dikemudian hari. Apakah tidak menjadi persoalan hukum kalau pihak perusahaan keberataan. Namun soal fasilitas pemerintah perusahaan tdk bisa menggugat karena lahan tersebut mereka tidak tahu kalau lahan HGU nya,” tandas Yani. ( LS/Asw )

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed