oleh

Samin Surosentiko Seabad Perjuangan, Tauladan Semangat dan Nilai Kepahlawanan

BLORA, KAPERNEWS.COM – Satu Abad perjuangan Samin Surosentiko diperingati oleh anak keturunan dan pengikut ajarannya yang akrab disapa dengan sebutan Sedulur Sikep, Senin (14/3/2022) kemarin.

Salah satu tokoh Sedulur Sikep dari Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, Gunretno, menerangkan, bahwa Samin Surosentiko adalah nama gubahan dari Raden Kohar.

Gunretno, Sedulur Sikep dari Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati

“Dia adalah keturunan dari Bupati Sumoroto Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang berkuasa 1802-1826,” kata Gunretno.

Dijelaskannya, perjuangannya berbentuk perlawanan kebudayaan berbentuk “Laku Sikep” yang sangat disegani Belanda.

“Salah satunya “Ojo njajah, moh dijajah (Jangan menjajah, tidak mau dijajah),” ucapnya.

Gunretno melanjutkan, falsafah dan perilaku ini diterapkan dalam hidup keseharian, melawan tanpa kekerasan. Tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan guna membangun peradaban dunia yang berkeadilan.

“Samin Surosentiko mengajak sedulur-sedulur tani yang lain untuk berani tidak membayar pajak kepada Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan,” terangnya.

Sehingga akibat dari perlawanannya yang menjadi ancaman pihak kolonial Belanda tersebut, Samin Surosentiko kemudian dibuang ke Sawahlunto bersama pengikutnya.

“Tepat di bulan Maret ini, seabad perjuangan Samin Surosentiko. Sehingga berlandaskan pada perjuangan Samin Surosentiko hingga dibuang ke Sawahlunto, kami Paguyuban Kadang Sikep, mengadakan rangkaian acara “Peringatan Satu Abad Perjuangan Samin Surosentiko: Panglingo Wonge Ojo Pangling Swarane, Laku Sikep Kanggo Ndonya (Lupa orangnya jangan lupa apa yang dikatakan, laku Sikep untuk dunia seisinya” di Pendopo Pengayoman Mbah Samin Surosentiko Desa Plosokediren, Kecamatan Randublatung, Blora,” jelasnya.

Brokohan menjadi awal peringatan seabad perjuangan Samin Surosentiko di Pendopo Pengayoman Plosokediren

Menurut Kang Gun – sapaan akrabnya, sudah banyak studi akademik dan penelusuran sejarah oleh berbagai akademisi-intelektual, baik dari dalam dan luar negeri tentang perjuangan Samin Surosentiko.

“Walau begitu, gerakan ini memiliki keunikan yang membedakannya dengan gerakan-gerakan petani lainnya. Gerakan Samin dilakukan tanpa kekerasan. Seperti aksi tidak membayar pajak dan menolak untuk patuh terhadap peraturan pemerintah kolonial dan sebagainya,” ungkapnya.

Gunretno menambahkan, para pelakunya pun dikenal tekun, rajin, jujur, serta menghargai sesama, termasuk kepada kaum perempuan dan kelestarian alam lingkungan di sekitarnya.

“Hal inilah yang kala itu mendasari pemerintah kolonial Belanda menganggap bahwa gerakan Samin tidaklah berbahaya dan dapat dengan cepat ditumpas apabila dibuang pemimpinnya,” tambahnya.

Gunretno melanjutkan, namun ternyata, tidak demikian dengan Saminisme. Tidak seperti gerakan sosial penentang kolonial Belanda lainnya yang umumnya berumur singkat, gerakan Samin yang dimulai pada akhir abad ke-19 ternyata bertahan cukup lama.

“Kini, perjuangan Samin Surosentiko menjadi legenda dan inspirasi bagi perjuangan rakyat. Terhadap segala bentuk penjajahan baru yang menimpa rakyat kecil. Khususnya kaum petani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya di seluruh Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, Pemerhati Sejarah Eko Arifianto menjelaskan bahwa gelar Seabad Perjuangan Samin Surosentiko ini adalah momentum bersejarah yang penuh makna.

“Tepatnya 115 tahun sejak penangkapan oleh kolonial dan antek-anteknya. Yaitu pada bulan Maret tahun 1907 di Plosokediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora,” ucap Eko Arifianto kepada awak media.

Dalam peringatan tersebut diisi dengan rangkaian acara kebudayaan, seperti Brokohan, Seminar Kebudayaan, Pemutaran Film Geger Samin, Klonengan Sami Wiji, Kidungan Wiji Kendeng, serta Diskusi Panglingo Wonge Ojo Pangling Swarane, Laku Sikep Kanggo Ndonyo Sak Isine.

“Ada Pak Bupati Blora Arief Rohman dan Pak Walikota Sawahlunto Deri Asta hadir di dalam acara peringatan Satu Abad Perjuangan Mbah Samin Surosentiko ini. Ada juga Pak Hilmar Farid Dirjen Kebudayaan. Selain itu ada Mbak Elsa Syarif peneliti linguistik, Mas Dandhy pembuat film Samin vs Semen dan Mas Profesor Amrih Widodo peneliti Samin yang menjadi sekarang dosen di Universitas Nasional Autralia dengan moderator Mas Eggy Yunaedi,” terang Bapak dua anak yang suka menjelajah tersebut.

Selaku pemerhati sejarah, dirinya berharap, kegiatan ini adalah untuk menguatkan sejarah Samin Surosentiko sebagai cagar budaya atau warisan budaya tak benda.

“Sudah cukup lama saya melakukan penelitian terkait hal ini. Sekitar 10 tahun silam atau tahun 2012 saja saya sudah membuat tulisan berbentuk leaflet berjudul Samin Surosentiko Orang Rantai dari Jawa. Ya isinya tentang kisah pembuangannya ke Sawahlunto Padang Sumatra Barat,” paparnya.

Eko Arifianto menunjukkan leaflet yang dibuatnya tahun 2012 silam berjudul Samin Surosentiko: Orang Rantai dari Jawa

Eko mengungkapkan, dalam penelitian yang dilakukan secara mandiri tersebut banyak ditemukan dokumen dan catatan-catatan penting tentang kisah sejarah perjuangan Samin Surosentiko.

“Seperti cerita tutur sedulur-sedulur bahwa Mbah Samin (Surosentiko) itu berasal dari Desa Plosokediren Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah. Kebetulan saya menemukan data Belanda, bahwa memang benar Samin Surosentiko berasal dari sana (Plosokediren). Itu saya dapatkan dari dokumen koran Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1907 yang menceritakan kisahnya,” ungkapnya.

Dalam peringatan seabad perjuangan ini dirinya berharap para generasi penerus bangsa bisa meneladani semangat dan nilai kepahlawanan yang ada

“Ya, mengutip kalimat yang pernah disampaikan oleh Bapak Proklamasi Kemerdekaan Republik Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno bahwa Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya,” tandasnya.

Lebih jauh ketika ditanyakan, kenapa Samin perlu dijadikan tauladan, menurutnya karena gerakan Saminisme dalam perjuangannya tidak untuk pribadi dan kelompoknya saja.

“Ya saya melihat yang dilakukan Samin dan Sedulur Sikep ini beda dengan gerakan yang dilakukan oleh sebagian besar kelompok, terlebih saat ini. Dulu itu mereka berjuang, ditahan, diasingkan hingga jadi buruh paksa yang dirantai hingga meninggal di tempat buangan Sawahlunto itu ya demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negaranya, yaitu Indonesia ini agar lepas dari belenggu penjajahan kolonial Belanda,” pungkasnya.

(Abu Sahid)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed