oleh

Cerita Pilu Petani di Bandung Barat, Sawah Produktif Jadi Perumahan

BANDUNG BARAT, KAPERNEWS – Sejumlah petani di wilayah Kampung Warungtiwu, Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat terus berupaya mempertahankan lahan-lahan miliknya, baik lahan pesawahan maupun rumah.

Selain mempunyai nilai historis peninggalan leluhurnya, kawasan yang saat ini tengah gencar dibangun perumahan bersubsidi diatas lahan seluas 5 hektare tersebut dikabarkan merupakan lahan produktif yang mampu panen padi 3 kali dalam setahun.

Sudah setahun, mata pencaharian Asep Rasmala (55) sebagai seorang petani terganggu dengan adanya pembangunan tersebut, selain sawah-sawah yang dulu ia garap telah dijual pemiliknya, air yang dulu mengaliri sawah-sawah yang ada juga menjadi tak normal.

Kediaman Asep Rasmili dikepung tembok beton, akses jalan terbatas dibagian belakang rumah.

Meski begitu, Asep tak memungkiri jika sebagian sawah miliknya ada yang terpaksa dijual karena ketiadaan akses air yang dulu melimpah mengaliri sawahnya.

“Punya paman, punya adik, punya kakak digarap sama saya makanya saya kerasan. sesudah pada di jual, punya saya yang ke sebelah Selatan tadinya gak dijual, sama saya dijual itu karena gak ada air,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ironisnya dirinya harus menerima kenyataan pahit rumah yang ditempatinya di kepung tembok beton pembatas perumahan, sehingga akses keluar masuk ke rumahnya menjadi terbatas.

Penderitaan Asep bertambah setelah pasokan listrik yang biasanya mengaliri rumahnya, diputus sementara oleh pihak pengembang. Selain itu, air sumur juga ikut hilang sejak adanya perumahan bersubsidi tersebut.

“Tidak ada niat untuk ngejual rumah, inginya rumah tetap disitu dengan sawah. sudah turun temurun dari dulu rumah disini,” keluhnya.

Perasaan sedih terus menyelimuti Asep Rasmala dan istri, lantaran dalam benak mereka tidak pernah membayangkan akan terjadi hal seperti ini, sawah terpaksa di jual, rumah di kepung pagar tembok beton pembatas perumahan, listrik rumah padam dan air untuk keperluan rumah tangga hilang.

“Sedih, karena kita tidak membayangkeun bakal begini,makanya sekarang meski rumah tidak ada lampu, kalau tidur pakai cahaya lilin saja,” tambah istri Asep dengan nada sedih.

Cerita pilu lainnya dialami Abudin (58), bahkan dirinya dengan tegas menolak menjual lahannya kepada pihak pengembang meskipun lahannya sudah terkepung bangunan-bangunan kokoh perumahan.

Selain karena sulit mencari pengganti lahannya, dirinya juga menentang alih fungsi lahan produktif menjadi lahan perumahan.

“Gak akan dijual, buat apa? uang saya punya. Buat apa dibeli 2.8 Juta sedangkan beli 5 Juta, mau gimana?” jelasnya.

Abudin sangat menyayangkan adanya pembangunan komplek perumahan di lahan produktif padahal menurutnya masih banyak lahan kosong yang bisa dibangun untuk perumahan.

“Saya merasa jengkel saja tanah produktif, kalau di kebun yang tidak produktif tidak jadi masalah, ini mah tanahnya bagus,” ucapnya dengan nada geram.

Disinggung dampak negatif, Abudin mengungkapkan pernah mengalami ikan lele sebanyak 3.000 di kolam miliknya mati akibat tercemar limbah cat.

“Lele saya habis kena limbah cat, 3 ribu ekor lebih ikan lele mati. nyuci rolan cat airnya kesini mengalir masuk ke kolam,” pungkasnya.

(KAMIL)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed