oleh

Safari Aktifitas Literasi

Gerakan literasi bukan sekedar upaya pengentasan buta aksara atau tentang peningkatan kuantitas dan kualitas baca tulis semata, tetapi juga harus ditujukan pada upaya pembentukan karakter dan arah berpikir yang rasional dan kritis, mampu merespon terhadap apa yang terjadi di sekitar dalam konteks perlawanan atas apa yang dianggap tabu, sesat, atau segala bentuk kekeliruan termasuk hoax.

Sejarah tentang aktifitas literasi tidak selalu diwarnai dengan kebebasan dalam menuangkan pemikiran, tanggapan apalagi kritik. Sejak jaman Kolonial, masa Orde Baru bahkan Pasca Reformasi pun aktifitas literasi masih mendapatkan pengawasan yang ketat dari pemerintah atas nama ketertiban dan keamanan. Tindakan represif tersebut tidak hanya berlaku bagi penulis, penerbit, atau penjual buku. Pada masa Orde Baru mereka yang kedapatan memiliki buku-buku yang dianggap terlarang ditangkap dan bisa ditahan.

Sejak dikeluarkannya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang berisi tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, aktifitas membaca adalah hal yang langka dan jika pun terjadi aktifitas itu tidak sebebas dan seluas seperti sekarang ini. Sumber-sumber bacaan seperti buku sangat terbatas, terutama buku-buku yang terindikasi mengandung ajaran Marxisme-Leninisme-komunisme. Hal itu ditandai dengan banyaknya buku-buku yang ditarik dari peradaran karena dianggap melanggar dalam pandangan hukum atau subversif secara politik.

Diantara banyak buku yang dilarang beredar dan pernah disita dari peredaran adalah buku-buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer. Tidak hanya karyanya saja, bahkan ia pun harus merasakan pahitnya pembuangan. Karya-karya Pram yang bisa dinikmati saat ini bahkan sebagian ia tulisnya di lokasi dimana ia dibuang oleh Pemerintahan Orde Baru yaitu Pulau Buru.Hal senasib juga dirasakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang telah menuliskan banyak karya sastra puisi. Lembaga, orang-orang, serta karya-karyanya bahkan lenyap. Pemerintahan Orde Baru menganggap mereka sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia.

Kondisi politik pasca tragedi-1965 memang begitu keras dan brutal hingga apapun yang dianggap terkait Komunis seperti seni dan budaya termasuk karya tulis didalamnya dibantai habis. Tetapi rupanya tidak sampai disitu, mengenai penyitaan atau razia buku-buku tertentu sebetulnya masih saja terdengar di Era Reformasi dengan cara-cara yang hampir sama dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu akibat kekhawatiran yang mendalam akan munculnya kembali faham-faham yang tidak diharapkan oleh bangsa ini.

Sedikit berbeda dengan keadaan sekarang, dimana sumber pengetahuan begitu mudah didapat baik dari buku-buku atau sumber lainnya. Sekarang, kalau kita berkunjung ke sebuah toko buku atau gramedia, buku-buku begitu berserakan termasuk buku-buku yang dulu pernah disita, banyak sekali dan itu untuk dijual secara umum. Terlalu jauh kita ke toko buku, saat ini hampir semua orang disekiling kita memiliki android yang dapat mengakses berbagai informasi melalui internet. Itu artinya siapapun dapat mencari pengetahuan tentang apapun tanpa melihat status, golongan atau kepentingan. Bahkan kondisinya terbalik, kini sulit untuk mencegah atau membatasi konsumsi informasi tentang berbagai hal ditengah pesatnya kemajuan teknologi berbasis digital.

Dengan demikian saat ini kegiatan literasi harus dimanfaatkan sekalipun keberadaan beberapa aturan seakan menciptakan paradok antara isu kebebasan berpendapat dengan kepentingan politik kekuasaan. Kegiatan literasi menjadi penting bukan hanya dalam pengertian pendidikan formal saja, tetapi juga non formal dalam pengertian masyarakat luas, bahkan literasi semestinya menjadi bagian dari proyek modernisasi dalam perspektif budaya populer agar tidak terkesan ekslusif, teoritik, dan penuh doktrin.

Hal terakhir dalam tulisan ini adalah bahwa dari sekian banyak cara membangun budaya literasi, sebuah pendekatan berbasis kebutuhan dan kesadaran ideologis secara substansial adalah penting jika tidak ingin dianggap pragmatis yang hanya bertujuan sekedar agar tidak dipandang buta sosial saat ikut bergotong royong, tidak intoleran agar tidak dianggap buta budaya, atau ikut menjadi pendukung salah satu kandidat dalam Pilkada agar tidak dianggap buta politik.

Penulis : Windan Jatnika
Fasilitator Program Pemberdayaan Masyarakat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed