oleh

Zero Sum Game, ‘Permainan’ Berbahaya Petinggi KPK

Polemik tes wawasan kebangsaan masih bergulir di publik. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sudah memberikan keputusan. 51 pegawai dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan dicap sebagai pegawai merah yang tidak bisa ‘diselamatkan’, dan harus dipecat.

Ada tiga aspek dalam asesmen, yang menurut BKN menjadi dasar pengambilan keputusan tersebut. Yakni aspek pribadi, aspek pengaruh dan aspek PUNP yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan seluruh turunan peraturan perundang-undangannya, NKRI dan Pemerintah yang sah.

Aspek PUNP inilah yang menurut BKN menjadi harga mati penilaian terhadap pegawai. Keputusan tersebut dianggap publik melangkahi arahan Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya menyatakan bahwa tes wawasan kebangsaan tidak boleh serta merta menjadi standar pemberhentian karyawan.

Terlebih, dalam kerangka sistem kelembagaan, KPK adalah lembaga eksekutif yang berada langsung di bawah Presiden dan harus mengikuti arahan Presiden. Bahkan meski ratusan pegawai menuntut penundaan pelantikan, pimpinan KPK tetap pada keputusannya dan melantik pegawai KPK yang lolos TWK 1 Juni 2021.

Sebelumnya, rekan-rekan yang lulus tes wawasan kebangsaan mendukung pegawai yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan, dengan menolak pemberlakuan Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tertanggal 7 Mei 2021.

SK yang membahas penon-aktifan pegawai KPK yang gagal dalam asesmen itu dianggap tidak memuat ketentuan perundangan yang lengkap. Perintah yang tercantum di dalamnya juga tidak dikenal dalam ketentuan kepegawaian KPK. Lantas pertanyaannya, apakah keputusan pemberhentian 51 pegawai KPK ini menjadikan KPK sebagai pemenang?

Zero-sum Game

Dalam Game Theory yang dicetuskan John Von Neumann (1928), muncul istilah zero-sum game, yang aslinya merujuk pada sebuah permainan menang kalah. Game Theory ini kemudian diadaptasi tidak hanya pada ilmu eksakta tapi juga keilmuan sosial termasuk komunikasi.

Deepak Malhotra dan Max Bazerman dalam buku Negotiation Genius menyebutkan bahwa negosiasi yang hanya melibatkan satu isu utama, sangat berpotensi untuk menghasilkan zero-sum negotiation, yakni satu pihak menang sementara pihak lainnya kalah.

Terkait polemik pemberhentian 51 pegawai KPK, terlihat sekali bahwa kedua belah pihak berkukuh pada satu isu utama yang saling bertentangan dan tidak memiliki titik temu atau kerap diistilahkan sebagai zone of possible agreement (ZOPA). Pihak pimpinan KPK serta BKN berkukuh bahwa tes wawasan kebangsaan sudah sesuai aturan dan sah untuk dijadikan standar peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Sementara itu, pihak pegawai KPK, baik yang gagal atau lolos tes berpendapat sebaliknya.

Sewajarnya, konflik internal antara pegawai dengan petinggi organisasi semacam ini diselesaikan dalam ranah employee relations.

Mengacu kepada Perkom 7 tahun 2020, urusan kepegawaian bisa dibicarakan antara Wadah Pegawai KPK sebagai perwakilan pegawai, dengan pihak kesekjenan KPK. Hal ini karena KPK termasuk ke dalam lembaga negara non-struktural.

Namun seperti yang diungkap Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK dalam program Mata Najwa, ternyata proses asesmen pegawai KPK langsung ditangani oleh pimpinan KPK bersama dengan BKN, tanpa melibatkan kesekjenan. Akibatnya, penjajakan negosiasi yang telah dilakukan wadah pegawai KPK dengan kesekjenan menemui jalan buntu.

Harun Al Rasyid, penyelidik yang juga wakil ketua Wadah Pegawai KPK juga telah berusaha melobi ketua KPK Firli Bahuri untuk mempertimbangkan kembali keputusan KPK. Namun lobi menemui jalan buntu.

Ketimpangan relasi kuasa inilah yang kemudian membuat pegawai KPK, terutama yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan, berusaha melangkah menuju strategi media relations. Mereka membangun narasi persuasif untuk meningkatkan citra kredibilitas mereka via media massa dan media sosial.

Citra positif tersebut diharapkan mampu menyeimbangkan relasi kuasa antara pegawai KPK dengan pimpinan KPK, dan menciptakan situasi yang membuat kedua pihak sukarela melangkah ke meja perundingan. Petinggi KPK pun melakukan hal sama, dengan berusaha membangun narasi persuasif menyangkut kredibilitas di mata publik. Salah satunya adalah narasi yang menyatakan bahwa proses tes wawasan kebangsaan telah dilakukan sesuai prosedur.

Permasalahannya, sesuai Teori Naratif yang diusung ahli komunikasi Walter Fisher, narasi yang dilemparkan ke media tidak serta merta dipercaya oleh publik. Ada dua unsur utama yang menjadikan narasi tersebut diterima publik sebagai sebuah kebenaran, yakni koherence dan fidelity.

Keduanya mensyaratkan adanya konsistensi dari narasi yang disampaikan dengan fakta yang ada, serta sesuai dengan nilai umum yang berkembang di publik. Dalam polemik pemberhentian 51 pegawai KPK, pihak pegawai KPK mampu membangun narasi yang solid.

Terbukti dengan adanya aliran dukungan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari pegawai KPK yang lulus seleksi, mantan Ketua KPK, LSM yang berkiprah di bidang hukum, hak perempuan, hingga public figure lainnya.

Dalam berbagai wawancara di media massa, pegawai KPK yang tidak lolos assessmen tersebut juga memaparkan hasil kinerja mereka yang moncer selama di KPK. Sebagai contoh, Harun Al Rasyid, penyelidik senior sekaligus wakil ketua Wadah KPK. Ia sampai dijuluki sebagai raja OTT di internal KPK, karena prestasinya yang luar biasa dalam operasi tangkap tangan koruptor.

Sementara itu pegawai lain juga mengaku kepada media, pernah dan sedang menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Harun Masiku, suap benih lobster, suap bansos, kasus suap penanganan perkara di Kota Tanjungbalai hingga kasus lawas simulator SIM.

Narasi tersebut mampu menepis anggapan bahwa pegawai KPK yang diberhentikan tidak kompeten dalam pekerjaannya. Lalu dalam trailer film dokumenter karya Watchdoc Documentary berjudul The End Game, 15 pegawai KPK non-muslim yang tidak lolos TWK juga memberikan kesaksian bahwa isu Talibanisme di tubuh KPK hanyalah isapan jempol belaka.

Dampak Zero-sum Game dan Peluang Renegosiasi

Kerugian paling utama dari polemik TWK ini adalah menurunnya citra dan reputasi organisasi KPK. Kelak, publik akan selalu diliputi rasa curiga akan adanya motif politik dalam penanganan kasus korupsi di Tanah Air.

Jika polemik ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin akan muncul desakan dari publik untuk pembubaran KPK, yang jika terjadi bisa menjadi jalan mundur bagi penanganan korupsi.

Kedua, kasus ini bisa bermuara ke ranah hukum. Mulai dari laporan ke Ombudsman soal malpraktik dalam proses asesmen pegawai KPK, tuntutan terkait peran BKN yang menjadikan tes wawasan kebangsaan KPK sebagai syarat peralihan menjadi ASN, hingga terakhir laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Bareskrim Polri terkait dugaan gratifikasi penggunaan helikopter untuk perjalanan pribadi Firli Bahuri pada Juni 2020.

Fakta bahwa baik BKN maupun KPK tetap kukuh dengan keputusannya, juga memberikan dampak yang tidak main-main terhadap Presiden Joko Widodo. Jika pernyataan Presiden yang harusnya official, directive dan presidential tidak diikuti, lantas di manakah wibawa Kepala Negara. Apalagi setelah pegawai KPK menyandang status sebagai ASN, maka segala kebijakan terkait ASN berada di pundak pemimpin tertinggi yakni Presiden Jokowi. Karena itu bola panas polemik ini pasti akan kembali bergulir ke Jokowi.

Menanti Ketegasan Presiden

Keputusan tegas dari Presiden sangat dibutuhkan dalam polemik ini. Jika perbedaan sudut pandang memaknai aturan menjadi batu sandungan, maka Presiden bisa saja memerintahkan kedua belah pihak untuk menjalankan renegosiasi.

Mundur selangkah dan duduk bersama dalam satu meja perundingan bukanlah kekalahan. Kedua belah pihak bisa memetakan kembali isu yang hendak dibicarakan, dan membaginya menjadi beberapa isu turunan.

Sebagaimana ditulis dalam buku Negotiation Genius, tahapan membedah isu jadi beberapa pokok bahasan, terbukti menjadi strategi negosiasi yang mampu menghasilkan win win solution.

Tindakan korektif atas polemik yang sudah terlanjur bergulir ini sangat penting untuk dijalankan. Karena jika dibiarkan berlarut-larut, maka menurut sosiolog Talcott Parsons, akan ada mekanisme alami dari ruang publik yang akan mengambil alih, demi mencapai kembali titik keseimbangan.

Mekanisme alami ini berupa problem sosial, yang nantinya menjadi pekerjaan rumah yang melelahkan bagi pemerintah yang berkuasa saat ini. Tentu semua pihak tidak menginginkan terjadinya kekacauan, terlebih tujuan demokrasi adalah untuk menyejahterakan masyarakat.

Seluruh aturan yang dibuat, termasuk tes wawasan kebangsaan hanyalah alat untuk mencapai tujuan sebenarnya, yakni kesejahteraan rakyat. Jangan sampai alat tersebut justru dijadikan tujuan, hingga berani menempuh resiko yang cukup berbahaya dan bisa membakar ‘rumah’ yang seharusnya jadi tempat bernaung bersama. Sebuah resiko yang juga bisa membuat sang pemenang menjadi arang dan si kalah menjadi abu.

Oleh : Ella Devianti Effendi
Mahasiswi Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed