oleh

Sosok Mbah Kyai Nadhori Gusten Jepangrejo, Pejuang Kemerdekaan Dari Blora

BLORA, KAPERNEWS.COM – Cuaca cerah mengantarkan Tim Jelajah Blora menuju ke Makam Mbah Kyai Nadhori yang terletak di Dukuh Gusten Desa Jepangrejo, sebuah desa turut Kecamatan Blora Kota yang terletak di ujung sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jepon dan Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Selasa (1/2/2022) siang.

Suasana jalan desa Jepangrejo menuju ke makam Mbah Kyai Nadhori

Setelah menyusuri jalan desa dengan pohon Randu dan persawahan di kiri-kanannya, akhirnya sampailah tim di gapura makam yang terletak di sebelah timur pertigaan embung arah Balai Desa Jepangrejo. Di areal persawahan inilah jenasah ulama pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia ini disemayamkan.

Makam Mbah Kyai Nadhori (paling kiri) berdampingan dengan makam Mbah Nyai istrinya

“Saya merasa ziarah kubur penting dilakukan untuk mengambil pelajaran dari perjuangan para pejuang terdahulu,” ujar Eko Arifianto, Koordinator Jelajah Blora, Selasa (1/2/2022).

Eko menjelaskan, bahwa menurut ceritanya dulu Mbah Nadhori adalah seorang ulama kawan seperjuangan Mbak Engkrek dari Klopodhuwur.

Masjid Mbah Kyai Nadhori di Dukuh Gusten Desa Jepangrejo

“Ya inilah dua tokoh pejuang dari Blora yang turut berjuang membela tanah air dan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Menurut kisahnya pernah berjuang bersama melawan Belanda di Genuk-Sayung Semarang. Yang konon karena kekuatan batin mereka berdua berhasil “mengubah” tangsi militer tentara dan pejuang Republik menjadi hutan belantara hingga bom tidak jadi dijatuhkan dari pesawat tempur Belanda,” terangnya.

Eko melanjutkan, mengutip apa yang pernah disampaikan Bung Karno, dirinya menjelaskan tentang pentingnya persatuan semua unsur pergerakan di Indonesia untuk bersama melawan penjajah.

Asih Paniyati dari Jelajah Blora mencoba tempat wudlu jaman kuno peninggalan Mbah Kyai Nadhori

“Ya kalau gak bersatu mana mungkin menang. Jadi benar seperti kata Bapak Proklamator kita Bung Karno, bahwa untuk menghadapi penjajah yang mempunyai strategi Devide et Impera (memecah belah dan menjajah, red), semua kekuatan revolusioner di Nusantara musti bersatu. Samen bundeling van alle revolutionaire krachten, atau yang artinya menyatupadukan seluruh kekuatan revolusioner untuk mengusir kekuatan kolonial menuju Indonesia merdeka,” tegasnya.

Barang-barang dan perabotan peninggalan Mbah Kyai Nadhori

Sementara itu, Mbah Sarti (67) asal Dukuh Ploso Desa Kamolan yang merawat Mbah Nadhori sejak tahun 1967 mengatakan paska Indonesia merdeka, ulama tersebut masih terus berjuang. Perjuangan dilakukan dengan membantu sesamanya.

“Nglayani tamu-tamu sing dugi. Wonten sing nyuwun donga, nyuwun tamba, macem-macem keperluane. Kadang nggih didamelke rajah ken ngunjuk. (Melayani tamu-tamu yang datang. Ada yang minta didoakan, minta obat, bermacam-macam keperluannya. Kadang ya dibuatkan rajah lalu disuruh meminum airnya),” terang istri Mbah Chosim putra bungsu Mbah Nadhori dalam bahasa Jawa.

Mbah Sarti menantu dan anaknya Kustiyah cucu Mbah Kyai Nadhori

Menurut penjelasannya, dari istrinya yang bernama Siti Asmilatun dari Kunduran yang akrab disapa Mbah Nyai, Mbah Nadhori mempunyai keturunan enam orang, di antaranya Mbah Jawahir, Mbah Kaji Kasan, Mbah Rokani, Mbah Mukson, Mbah Mutiah dan Mbah Chosim. Dan memang atas kehendak Allah SWT, Mbah Nadhori diberikan beberapa kelebihan.

“Riyin pager pring sing ditanem mawon saged dados tiyang. Antek Belanda sing niat jahat mlebet pekarangan nate kapok mergi turene kados ting segara. Nggih posisine terus-terusan nglangi. Sakbakdane konangan, akhire dijak ting griyane Mbah Nadhori lan dimasakke kalih Mbah Nyai. (Dulu pagar dari bambu yang ditancapkan di tanah saja bisa berubah seperti wujud orang. Antek Belanda yang punya niat jahat, masuk pekarangan pernah akhirnya kapok karena seperti berada di lautan lepas. Ya posisinya terus-menerus berenang. Setelah dipergoki akhirnya diajak ke rumah Mbah Nadhori dan diberi makan sama Mbah Nyai istrinya),” ungkapnya.

Di lain sisi, kata Kustiyah (46) salah seorang cucu, anak dari Mbah Chosim dan Mbah Sarti mengatakan selain pejuang kemerdekaan dan kemanusiaan Mbah Nadhori adalah pribadi yang peduli dengan lingkungan.

Jajaran pohon bambu di tepi sungai belakang rumah Mbah Kyai Nadhori

“Agar tepi sungai tidak longsor, beliau membuat tanggul pengaman. Berjuang membetulkan sungai. Sendiri. Pinggir sungai itu ditanami jenis Pring Petung, Pring Legi, Pring Ori, dan juga Pohon Jati. Setelah beliau meninggal proses menanam bambu tersebut diteruskan oleh Mbah Misbah Chosim anak bungsunya,” imbuhnya.

Kustiyah menyebutkan, sewaktu meninggalnya Mbah Nadhori, dirinya masih berumur sekitar 9 tahun. Mbah Nadhori meninggal di usia kurang-lebih 105 tahun.

“Nalika kapundute Mbah Nadhori sekitar tahun 1977 niku kula taksih alit. Dalan ngantos dugi ting makam niku ngantos macet. (Ketika meninggalnya Mbah Nadhori sekitar tahun 1977 itu saya masih kecil. Jalan sampai ke makam itu hingga macet),” ungkap ibu dua orang anak ini.

Cucu Mbah Nadhori itu pun kembali menerangkan, sebelum meninggal dunia, Mbah Nadhori sudah menyiapkan batu nisan kuburnya sendiri.

Tempat wudlu tempo dulu Mbah Kyai Nadhori yang akhirnya mengalir airnya

“Sakderenge kapundhutipun, kijing niku sampun disediakke kiyambak kalih beliaunipun Mbah Nadhori. Disalap ting kamar wingking. Kulo ndik cilik ngantos ajeng mlebet kamar niku ajrih. Piyantune mendelan, boten kathah ngomong. Nek pas wonten tamu niku kadang kulo anguk saking cendela. Kiyambake ting kamar nulis rajah. Kalih mesem kiyambake tangklet: “Opo…”(Sebelum meninggal dunia, nisan itu sudah disiapkan sendiri oleh beliau. Ditaruh di kamar belakang. Saya waktu kecil kalau mau masuk kamar itu takut. Orangnya pendiam, tidak banyak bicara. Kadangkala pas ada tamu itu saya tengok dari jendela. Dia di dalam kamar sedang menulis rajah. Sambil tersenyum beliaunya tanya: “Apa…”),” tutupnya.

(Ka-Ki) Eko Arifianto (45), Samsudin (50), Kustiyah (53), Mbah Sarti (67), Sarmini (46) dan Muntoha (58) di depan rumah Mbah Kyai Nadhori Gusten Jepangrejo

Saat ini beberapa barang peninggalan yang dulu pernah dipakai berjuang oleh Mbah Nadhori seperti sorban, sajadah dan penutup kepala, serta perabotannya seperti dipan tempat tidur, kursi dan almari kayu jatinya masih tersimpan baik di rumahnya yang terletak Di Dukuh Gusten, Desa Jepangrejo, turut Kecamatan Blora Kota, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

(Abu Sahid)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed