oleh

Ketidaksesuaian Dengan Peraturan Perundangan Yang Lebih Tinggi, Pengelolaan Pasar Legi Parakan Mendapat Sorotan Tajam

TEMANGGUNG, KAPERNEWS.COM – Setelah diterbitkannya Peraturan Bupati (Perbup) No. 73 Tahun 2022 tanggal 5 Oktober 2022 tentang Pencabutan Perbup No. 117 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Sewa Los, Kios dan Pertokoan di Kabupaten Temanggung, para pedagang khususnya di Pasar Legi Parakan mulai mencemaskan keberlangsungannya untuk dapat menempati Kios/Los, Kamis (19/10/2022).

“Permasalahan pedagang ini mengemuka setelah pengurus/perwakilan pedagang Pasar Legi Parakan melakukan FGD (Focus Group Discussion) bersama Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP) pada Senin, (17/10/2022) kemarin,” kata
Andrianto, Ketua Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP) dalam rilis persnya, Kamis (19/10/2022).

Disampaikannya bahwa selama ini pengelolaan Pasar Parakan mendasarkan pada Perbup No. 64 Tahun 2015 tentang Penempatan Pedagang Pasar Legi Parakan.

“Ya, dalam kajian LSPP, penerbitan Perbup Temanggung No. 64/2015 memiliki kejanggalan karena tidak memasukkan peraturan perundangan yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah yaitu Undang Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD),” terangnya.

Andri menambahkan, dalam UU PDRD No. 28 Tahun 2009 jelas mengatur mengenai retribusi pasar yang disebut sebagai Retribusi Jasa Umum. Selain itu, dalam UU PDRD juga mengatur pengenaan pajak sebagai biaya perolehan Hak atas Tanah maupun Bangunan.

“Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 6 ayat (3) Perbup Temanggung 64/2015 menetapkan kewajiban besarnya biaya bagi pembangunan pasar yang menjadi tanggungan pedagang sebagai syarat untuk dapat menempati Los/Kios dengan harga berkisar mulai dari Rp. 2.000.000 per meter persegi hingga Rp. 7.700.000 per meter persegi,” imbuhnya.

Dirinya menjelaskan, pelunasan kewajiban pembayaran pembangunan pasar oleh pedagang ini kemudian diterbitkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah dengan sebutan sebagai Retribusi Penempatan Awal (RPA) bagi pedagang dan kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian Surat Izin Menempati Kios/Los yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM atas nama Bupati Temanggung pada tanggal 5 Oktober 2016.

“Surat Izin Menempati Kios/Los Pasar Legi Parakan bagi pedagang ini berlaku selama 3 (tiga) tahun yaitu sejak diterbitkan pada tanggal 5 Oktober 2016 hingga tanggal 4 Oktober 2019,” jelasnya.

Dipaparkannya, semenjak berakhir masa berlakunya Izin Menempati Kios/Los Pasar Legi Parakan sudah lebih dari 3 tahun hingga saat ini belum juga diterbitkan perpanjangannya oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan Kabupaten Temanggung.

“Bagi LSPP, diberikannya Surat Izin Menempati Kios/Los kepada pedagang dan bukan berupa surat Hak Guna Bangunan (HGB) memunculkan bias dan berpotensi terjadi ketidaksinkronan antara Perbup Temanggung No. 64/2015 dengan UU No. 28/2009 tentang PDRD sebagai ketentuan perundangan di atasnya,” tandasnya.

Menurut Andri, seharusnya pedagang mendapatkan Hak Guna Bangunan karena pedaganglah yang membiayai pembangunan Pasar Legi Parakan sebagaimana tertuang dalam Perbup No. 64/2015.

“Dalam ketentuan peraturan perundangan disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 20 tahun,” ucapnya.

Pihaknya menyampaikan, terkait ketidakjelasan dan ketidaksinkronan materi maupun pelaksanaan dalam Perbup No. 64/2015 hingga saat ini, termasuk tidak diterbitkannya Hak Guna Bangunan (HGB) bagi pedagang maka LSPP akan melakukan pengkajian mendalam dan konsultasi kepada pihak-pihak terkait, terutama kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan maupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

“Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan UU No. 28/2009 tentang PDRD perbedaan antara Pajak dengan Retribusi yaitu bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi/badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Sedangkan Retribusi adalah “Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa/pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan Pribadi/Badan”, tuturnya.

Sehingga perbedaan ranah maupun status hukumnya menurutnya cukup jelas bahwa pajak adalah kewajiban pembayaran atas diperolehnya suatu hak termasuk Hak Guna Bangunan (HGB), sedangkan retribusi, termasuk Retribusi Penempatan Awal (RPA) dan Surat Izin Menempati merupakan pembayaran atas pemberian izin tertentu yang diberikan Pemerintah Daerah atas penggunaan barang milik daerah.

LSPP menilai bahwa selama ini penyusunan kebijakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dalam menetapkan kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) banyak diketemukan ketidaksesuaian dengan UU PDRD No. 28/2009 sebagai peraturan perundangan yang lebih tinggi, khususnya belum terpenuhinya prinsip-prinsip dan materi dalam pemungutan pajak dan retribusi.

“Hal inilah yang mendasari Direktur Pendapatan dan Kapasitas Keuangan Daerah, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Pedoman Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada bulan Januari 2019,” pungkasnya.

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed