oleh

Cicit Sunan Kalijaga Maju Kandidat DPD RI, Agus Mujayanto Berjuang Untuk Kelestarian Seni dan Budaya Jawa Tengah

SEMARANG, KAPERNEWS.COM – Setelah resmi dinyatakan lolos verifikasi administrasi oleh KPU Jateng, kandidat senator DPD RI Agus Mujayanto terus turun ke bawah berjuang menjaga kelestarian seni budaya dan kearifan lokal Jawa Tengah.

Lantas, bagaimana dirinya selaku calon anggota DPD RI berupaya mewujudkan kelestarian seni dan budaya di Jawa Tengah?

Berikut ini petikan hasil wawancaranya dalam video berdurasi 24:39 menit dalam program Tribun Topik bersama host Tribun Jateng Eunike Abella yang bisa dilihat di https://youtu.be/9ClyxTSK4tw berjudul Mengenal Agus Mujayanto Cicit Sunan Kalijaga Yang Nyaleg DPD RI, Rabu (12/7/2023).

Selamat menikmati…..

Host: “Hai Tribunners, Anda menyaksikan Tribun Topic, bersama saya Eunika Abella akan mengajak Anda mengetahui beragam informasi seputar Jawa Tengah dan sekitarnya, hari ini langsung menyapa dari Gedung Kompas Tribun Jateng lantai 3. Sudah hadir bersama Bella, ada Bapak Agus Mujayanto, ini selaku Caleg DPD RI 2024 mendatang. Selamat siang, Pak, apa kabar?”

Agus Mujayanto: “Selamat siang, Mbak.. Kabar baik. Kewarasan to, Mbak? Sehat to, Mbak?”

Agus Mujayanto di program Tribun Topik bersama host Tribun Jateng Eunike Abella

Host: “Njih.. Iya, ini Jawanya sudah melekat banget ya. Habis ini kita ngobrol full Jawa atau bahasa Indonesia ini, Pak?”

Agus Mujayanto: “Yo campur ra popo, ben dadi lontong campur. Lha promosi lontong campur malahan iki…”

Host: “Hehe.. Njih, siappp… Oke.. Pak Agus, ini menarik sekali ternyata cicit Sunan Kalijaga ini mau nyaleg DPD RI 2024. Ini sebelumnya bisa diceritakan sejarah singkatnya terlebih dahulu, terkait cicit Sunan Kalijaga versi keluarganya Pak Agus ini. Silahkan…”

Agus Mujayanto: “Ya nek namanya Kanjeng Sunan Kalijaga itu kan istrinya ada dari anaknya Sunan Giri, terus ada anaknya dari Sunan Ampel, terus juga ada anaknya Ki Ageng Mangir dari ibunya Sultan Hadiwijaya. Tapi kalau yang bergelar di daerah wilayah Kadilangu itu kan dari putra-putra Pangeran Wujil dan Eyang Notobroto yang menurunkan Notobratan.”

“Sedangkan di Kadilangu sendiri, itu ada yang namanya ahli waris. Ahli waris itu ya beliau sekarang yang jumeneng Bopo Imam Santoso, ada Mas Kristiawan, juga ada keluarga lain Mbak Haryanti anaknya almarhum Bulik Raden Ayu Supraptini Mursidi, juga ada Pak Sujono, juga ada beberapa lain yang belum saya sebutkan satu-satu. Nek tak sebutke engko dowo.”

“Nah, kebetulan dari saya, kenapa kok orang awam memanggil saya masih ada tedhak turun Eyang Sunan. Sebenarnya kami sejak kecil sudah tinggal di Demak, tapi tidak tinggal di wilayah private area. Karena Kadilangu itu bagi kami wilayah private area, yang sesuai dawuh Pakubuwono I itu adalah pusaka yang mutlak harus dijaga dengan Masjid Agung Demak.”

“Jadi apalagi dengan basic keluarga saya, bapak saya lahir di Bojonegoro (Jawa Timur), tapi bapaknya dari Barahan Tawangharjo, sami panjenengan kan Grobogan? Yang Bapak saya dari Buyut Dalem Rajekwesi Sumber Arum Bojonegoro, tapi Ibu saya dari Cepu Blora. Jadi dari keluarga saya kalau diturut itu dari Pangeran Wujil II, Raden Lelono atau Raden Mas Sujatmo, yang punya anak namanya Raden Ayu Danupoyo.”

“Itu menikah dengan Mbah Buyut kami Ki Ageng Yudhawijaya yang menurunkan ibune bapake bapakku. Ki Ageng Yudhawijaya itu lenggahnya di Barahan, Grobogan. Setelah itu turun, yang satu lagi masnya jadi Wedana di Wirosari Ngaringan bergelar Raden Ngabei Prawirosentono I dan II, terus yang dari bapak saya itu yang jadi lurah zaman Belanda Ratu Wihelmina dan Yuliana di Barahan, itu namanya dulu sebelum Desa Tarub.”

Host: “Kemudian sampai cicitnya ini njenengan?”

Agus Mujayanto: “Ya masih ada banyak lagi, yang lenggah di Kadilangu itu di private area, yang jumeneng sesepuh, kemarin yang menjamasi pusaka itu ada Bopo Imam Santoso selaku sesepuh, ada Mas Wawit putranya almarhum Pak Sepuh Sedyoko, ada Mbak Haryanti selaku anaknya almarhum Raden Ayu Supraptini Mursidi, terus ada lagi keluarganya almarhum Bu Nani Sudarsono mantan Mensos di era Orde Baru. Mungkin njenengan belum lahir lho ya. Itu beliau dari Kadilangu juga. Ada Pak Rahmat mantan Gubernur Bank juga.”

Host: “Ini kalau ditarik panjang bakal satu hari enggak selesai ya, Pak. Baik terlepas dari itu semua luar biasa pasti sejarahnya juga kalau diruntut sampai panjang gitu gak abis-abis. Gitu ya…”

“Terkait dengan agenda akhir-akhir ini yang sedang dijalankan menuju Pemilu 2024 apa ini?”

Agus Mujayanto: “Saya ada pemilu enggak ada pemilu tetap agendanya adalah turun ke bawah, nyambangi sedulur-sedulur atau masyarakat untuk tetap menjaga paugeran, kebudayaan, seni, pariwisata dan kearifan lokal, terutama kalau misalkan di daerah itu di Desa Ploso itu ada pepundhen, biasanya kan rembagan dengan orang tua saya.”

“Orang tua saya masih hidup, kelahirannya mungkin dari masa sebelum kemerdekaan, tapi kebetulan Gusti Allah masih maringi sehat.”

“Kemarin makanya kan saya kan ngendiko, sudah ke Grobogan ke Mbah Kasreman Pojok, takziah ke adiknya Bapak.”

“Jadi saya tetap turun ke bawah, Mbak, saya tetap turun ke bawah untuk mengenalkan ajaran-ajaran filosofinya Eyang Sunan Kalijaga, ketambahan lagi ajaran-ajaran yang ditulis dari Mbah Buyut kami yang dari istrinya Bapak saya, itu dari Kitab Tapel Adam, kagungane pengaran Raden Mas Kromodiwiryo, itu di dalam Kraton Surakarta dan Yogyakarta pun sudah ada.”

“Jadi kita tularkanlah kepada anak-anak muda sekarang untuk mencintai budaya. Dan tidak hanya anak-anak muda, juga orang yang masih ada saat ini. Karena seni budaya paugeran itu harus perlu dilestarikan sebagai jati diri bangsa. Wong Jawa ojo ilang jawane, ya.. ”

Host: “Njih.. Jadi tetap nguri-uri budaya yang ada di Jawa ya?”

Agus Mujayanto: “Iya.. Wong Jawa itu ojo dadi wong jawa kang jawal. Bagaikan orang yang kehilangan arah mata angin. Kadya sarah ing tengahing samodra. Bagaikan sampah di tengah lautan yang terombang-ambing.”

Host: “Gak tahu arah ya, Pak?”

Agus Mujayanto: “Ya koyok sampah, ya koyok perahu, tinggal milih sing endi… Kan ngoten… ”

Host: “Baik, terlepas dari kegiatan yang sedang dijalankan juga, baik itu pemilu maupun di luar pemilu tetap terjun langsung gitu ya untuk masyarakat. Kemudian ini kan sudah lama menjadi seorang seniman tentunya sejarawan juga, tapi kenapa tertarik di bidang politik, ini apa sebenarnya yang melatarbelakangi?”

Agus Mujayanto: “Ya tertariknya saya memang suka dengan kesenian, kebudayaan dan pariwisata serta kearifan lokal itu tertarik masuk ke dalam dunia politik, saya berharap ingin mewakili teman-teman kesenian kebudayaan itu di legislasi, di Senayan, di dunia politik.”

“Karena kalau nggak begitu teman-teman ini enggak ada yang mengakomodir, apa yang disampaikan, keluh kesahnya waktu kemarin Covid ada pageblug itu kan. Jadi mereka tiarap enggak bisa tampil. Ada organ yang mungkin harus berhenti, penyanyi-penyanyi yang tangannya keri, mungkin enggak bisa mbeksa, enggak bisa nari.”

“Jadi terjun ke dunia politik, saya pengin melalui jalur kesenian kebudayaan pariwisata itu mengangkat sektor ekonomi kegotongroyongan untuk ekonomi kerakyatan. Itu satu. Lewat jalur kesenian dan kebudayaan dan pariwisata kearifan lokal saya pengin pertahanan dan keamanan itu kalau sudah menyangkut dengan seni budaya itu sebuah kebhinekaan dan kemajemukan. Sudah tidak memandang itu agamane opo. Namanya kesenian kebudayaan itu milik semua orang. Nek handarbeni yo hangrungkepi, kan gitu.”

“Nek handarbeni yo hangrungkepi,” kata cicit Sunan Kalijaga kandidat senator DPD RI 2024 Agus Mujayanto, Rabu (12/7/2023)

“Sebagai sektor ekonomi untuk itu, terus untuk pertahanan itu dan kearifan lokal di Indonesia ini khususnya Jawa Tengah harus lebih diangkat lagi.”

Host: “Diangkat lagi lokal wisdomnya ya?”

Agus Mujayanto: “Nggih..”

Host: “Baik, berarti bisa dibilang itu isu-isu politik yang akan bapak angkat, yang akan Bapak ajukan nanti di Senayan, benar?”

Agus Mujayanto: “Ya tidak hanya itu, pokoknya yang menganut dengan apa yang disampaikan ke masyarakat, terutama spesifikasinya ke seni budaya pariwisata dan kearifan lokal harus kita jaga.”

Host: “Prioritasnya lebih ke situ ya?”

Agus Mujayanto: “Prioritasnya itu. Jadi ben wong Jawa ora ilang jawane.”

“Saya karena kemarin, tadi ya cerita sama teman-teman mbaknya di luar sana, sebelum masuk ke sini kan saya bilang, pada waktu pandemi di 2021 awal saya dengan teman-teman melakukan Festival Karawitan Internasional. Waktu itu dengan beliaunya Pak Kasum TNI Joni Supriyanto sebagai penanggung jawab dan Pak Danrem Jogja Pak Ibnu Bintang dan saya sendiri sebagai dewan penasehat.”

“Kami di Karawitan Internasional itu kaget, Mbak, karena apa? Karena kok sing nderek ini semua orang-orang dari luar negeri pintar-pintar. Lha mereka bisa nembang macapat, bisa mbeksa, bisa nabuh gamelan. Lha mungkin yo nyuwun pangapunten ya aku dewe wong dedel ya kon nabuh gamelan kurang ya, tapi orang luar jago-jago, itu saya berharap juga nanti kalau saya diberi amanah kalau senang dengan kebudayaan dan pariwisata, kalau saya diberi amanah untuk mewakili ya monggo. Kalau enggak ya sudah enggak cinta dengan budaya ndak usah pilih saya.”

“Dan artinya begini, kebudayaan itu jangan sampai kemudian ya kalau orang-orang luar negeri boleh meng-copy paste boleh memberi salinan transkrip yang dari kebudayaan kesenian yang ada di kita. Kita kan pernah ada serat-seratan kita yang di luar negeri di Leiden, Belanda yang pernah menduduki di negeri kita, ini bolehlah kita minta kopiannya. Syukur (ketika nanti) saya lenggah saya bisa bersuara: Tolong arsipnya dikembalikan ke Jawa atau ke Indonesia. Biar anak turun kita ini tahu gitu loh. Itu butuh komunikasi yang sangat intensif, pendekatan persuasif dengan ‘sing nduwe negara’, kan ngoten.”

Host: “Itu sebenarnya agak susah-susah gampang, bisa dibilang seperti itu ya, Pak, atau gimana?”

Agus Mujayanto: “Yo tapi yo kudu dilaksanakan. Wong urung usaha kok wis muni angel, kan gitu.”

Host: “Tetap harus dilaksanakan?”

Agus Mujayanto: “Harus dilaksanakan. Dene hasilnya bagaimana kita tetap berupaya bahwa kebudayaan itu, apa yang serat-serat yang hilang, mau itu tembang macapat, mau itu tentang sesuatu serat-serat dari Eyang Sunan di zaman dulu yang belum terkumpul yang kita enggak tahu mungkin harus bisa kembali kondur kan gitu. Dan masyarakat harus tahu.”

Host: “Oke, ini bicara terkait dengan masyarakat juga, tentunya ada partisipasi masyarakat di dalamnya. Ini kalau langkah konkret dari njenengan sendiri yang akan dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sendiri bagaimana?”

Agus Mujayanto: “Untuk tentang budaya atau untuk DPD nya?”

Host: “DPD RI..”

Agus Mujayanto: “Ya saya berharap masyarakat nanti, kalau pas pemilu itu kan yang dicoblos kan 5 surat suara. Ada DPR Kabupaten, DPR Provinsi, DPR RI, DPD RI yang (kertasnya) warnanya merah, baru Presiden.”

“Surat suara yang fotonya akeh mungkin orang awam kan enggak tahu, iki opo. Saya minta untuk dicoblos dan tidak dilewati begitu saja, kan gitu kan.”

Host: “Karena saking banyaknya ya?”

Agus Mujayanto: “Saking banyaknya. Harusnya bukan calegnya yang presentasi untuk mencoblos, harusnya itu tugasnya penyelenggara pemilu kan, tapi enggak apa-apa karena ini sebuah sinergi antara pelaksana pemilu penyelenggara pemilu dan peserta pemilu, kita harus menjaga etika itu. Ya semuanya kembali ke tenggang rasa tepa selira itu tadi, saling njaga, itu aja.”

Host: “Sekaligus mengedukasi masyarakat juga, mungkin tidak tahu saking banyaknya, ini tuh siapa kalau yang banyak ini yang DPD tadi kan..”

Agus Mujayanto: “Kok fotone akeh. Kan gitu, kan. Pasti yang dicoblos sing ayu sing bagus. Nek rupaku clemat-clemot ra usah nyoblos, Mbak.”

Host: “Nggak gitu lho, Pak. Dan pilihan dikit biasanya langsung. Antara ini apa ini. Ya udah, coblos.”

Agus Mujayanto: “Biasane begitu… Nggih.. ”

Host: “Oke, nah kemudian ini, kalau dari sudut pandang seorang seniman sendiri, bagaimana perspektif seorang seniman, bapak sendiri menanggapi antara kesenian dan juga politik?”

Agus Mujayanto: “Ya untuk saat ini saya butuh kesenian di bangsa kita itu lebih diangkat lagi ya. Karena bagaimana teman-teman seniman ini karya-karyanya itu bisa mengkritisi, bisa memberi masukan, juga itu harus lebih ditingkatkan.”

“Karena jaman saya kecil saya melihat pameran lukisan saja karya-karya pelukis terkenal itu di gedung Taman Tegalwareng, di gedung tersebut. Waktu dulu itu saya naik bus Damri lho, dari Demak ke Semarang, cuman hanya pengin ngelihat pameran.”

“Nah sekarang saya berharap teman-teman seniman di wilayah atau dengan unsur pimpinan stakeholder di wilayah maupun nasional memberi ruang tempat untuk teman-teman seniman ini untuk bangkit. Contoh kecil saja mereka mau opening ceremony di wilayahnya masing-masing, angkatlah dengan kearifan lokal.”

“Di situ, di Grobogan ada Tayub, pembukaan acara mungkin ditarikan sedikit Tari Tayub, jangan hanya monoton Tari Gambyong Pare Anom terus, mungkin naik lagi tarian yang kelas sedikit.

“Karena tujuan saya turun ke bawah itu adalah satu, saya menjelaskan tentang makna filosofi Wayang, perkerisan, serat-serat Eyang Sunan itu tadi dan tarian. Karena wayang itu juga kalau enggak kita uri-uri karena itu karyanya yang Sunan Kali diperintah sama mertuanya Sunan Giri diteruskan sama muridnya Kanjeng Sultan Agung, itu harus dijaga.”

“Keris bukan berarti keris yang glodakan ke sana kemari, bukan, tapi kita memberi edukasi ke anak-anak muda bahwa keris itu meteor bertemu dengan besi, besi bertemu dengan emas, ini pamornya apa, Beras Wutah, Banyu Mili, Udan Mas, Junjung Derajat. Nah itu harus kita berikan penjelasan ke anak-anak sesudah itu.”

“Karena apa? Karena kalau enggak begitu biar enggak salang surup, nanti malah yang memberi penjelasan sing gak pas. Saya senang orang-orang mau ngakoni enggak apa-apa, itu untuk memboomingkan bahwa itu kebudayaan kita, tapi kita harus lebih tahu dan lebih ngrungkepi.”

Host: “Ada rasa memiliki juga ya?”

Agus Mujayanto: “Iya, ada rasa memiliki. Ngakoni ya kudu njaga. Bukan hanya ngakoni tapi nyimpirke.”

“Terus turun ke bawah juga ke masyarakat, saya ini memberi edukasi bahwa orang di desa itu jangan kecanduan dengan pupuk. Kan gitu kan. Karena harus segala sesuatu yang dilakukan di desa itu dari sektor pertanian itu tidak hanya penopang utamanya dari pupuk, tapi dengan cara melakukan sedekah bumi, ya dengan Dewi Sri itu dihormati. Maknanya semuanya itu adalah do’a. Intinya di do’a. Karena kalau orang Jawa itu ada yang selalu sing ngemong. Sedulur papat limo pancer. Seperti yang saya sampaikan, kakang kawah, adi ari-ari, bungkus, puser. Kalau di kita ya orang Jawa ada sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, sembah rasa. Itu menyangkut segala aspek, namanya ajaran syari’at, tarikat, makrifat, dan hakekat.”

Host: “Wow…”

Agus Mujayanto: “Jadi Jawa ojo dadi wong Jawa wong jawal… Gitu… Trus nopo malih, Mbak?”

Host: “Oke, baik.. Ini saking terkesimanya ya… Ya ini kan tadi do’a-do’a yang disampaikan, ya ini berarti muncul pertanyaan juga terkait harapan dan juga pesan yang ingin disampaikan. Ini harapan terlebih dahulu atau inovasi ke depan terkait kesenian dan juga politik yang ingin Bapak sampaikan? Silahkan..”

Agus Mujayanto: “Ya harapannya itu tadi, tentang kesenian harus lebih terangkat dan kebudayaan serta kearifan lokal sebagai pilar utama penyangga bangsa, baik dari sektor ekonomi dan sektor pertahanan. Harapannya ya juga itu, dan saya meminta ke teman-teman seniman lebih berinovatif dan kreatif.”

“Kadang ada anak-anak di desa yang dia sekolah dari fakultas seni, dari karawitan ataupun seni tari selesai lulus mencari pekerjaan. Ayo kita gerakkan dari sektor seni. Kamu mau bikin teater kesenian ketoprak atau apa. Kadang saya berharap tetap turun ke bawah itu, pemerintahan di tingkat bawah juga dalam pembukaan acara atau acara apapun dilibatkan pelaku seni semua. Baik untuk menyambut itu dengan event tarian ataupun apa itu harus ada. Biar menggugah semangat yang lain.”

Host: “Terkait hal ini juga kerjasamanya mungkin sejauh ini dengan pemerintah atau kesenian sendiri di Jawa Tengah bagaimana sinerginya?”

Agus Mujayanto: “Sinerginya sudah baik, perlu ditingkatkan lagi.”

Host: “Sampai sekarang berapa persen maksudnya kira-kira?”

Agus Mujayanto: “Masih fifty-fifty ya.. Tapi karena kadang saya sendiri pribadi memang (melihat bahwa) kesenian itu tidak luput dari zaman dulu leluhur kita waktu melakukan ekspansi dakwah dengan kesenian. Kalau di dunia modern digital begini kan juga namanya politik, politik yang seperti ini kan pasti bersentuhan dengan itu. Tapi kita harus bisa menjaga tepa selira ono papan panggone. Untuk seni itu dimoncerkan, jangan sampai nanti pemerintahannya ini, kae karena senimane ndukung ini terus engko dicutheti, diputus, kan gitu. Ya artinya yang namanya pepundhen kalau paugeran itu jangan sampai terlalu ke sana ke sana banget lah, artinya harus tetep dirungkepi, dijaga. Itu aja.”

Host: “Terkait dengan dijaga untuk era digitalisasi ini 5.0. Bagaimana supaya tetap terjaga kesenian tersebut di era digitalisasi ini?”

Agus Mujayanto: “Ya lebih banyak untuk disampaikan di media sosial, dibranded dengan teman-teman media juga nggak jenuh untuk mengeksplore kearifan lokal yang ada di bawah. Jadi orang biar tahu, itu aja.”

Host: “Oke, pertanyaan lagi nih, kalau semisal dari kesenian yang benar-benar sudah riil, pure, murni kesenian tersebut tapi dibarengi dengan era modernisasi, apakah tetap boleh, tetap tidak menghilangkan dari budaya tersebut atau gimana?”

Agus Mujayanto: “Boleh-boleh saja. Karena Kanjeng Sunan Kalijaga itu, kembali ke leluhur kami, juga dalam dakwah kan dengan akulturasi budaya. Jadi ya untuk kemajemukan biar terakomodir dengan baik, nyampluk ning ora nggawe lara, ini tetap akulturasi.”

“Saya berharap musik rebana yang di desa-desa itu bisa berakulturasi berpadu bersinergi dengan gamelan-gamelan. Saya pernah dengar ada teman dalang itu melantunkan kalimat-kalimat tauhid tapi dengan gamelan suaranya bagus sekali. Dan itu menyentuh hati, untuk berzikir.”

Host: “Kayak gimana waktu itu, Pak? Bisa disampaikan?”

Agus Mujayanto: “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mal nasir. Itu dengan gubahan gamelan yang sangat elok. Ora ono daya linuwih namung Gusti Ingkang Maha Agung, Allah Ta’alla iku kang paring lelindung dateng umate.”

Host: “Oke.. Luar biasa.. Tentunya sejarah atau setiap seni yang sudah tersampaikan tadi ini akan tersampaikan juga nantinya di Senayan. Diharapkan seperti itu ya?”

Agus Mujayanto: “Iya, itu akan menjadi tugas saya. Mau orang nganggep apa enggak mau dianggep wong kenthir apa enggak terserah, wis ora urusan!”

Host: “Sudah menjadi tugas? Karena memang prioritasnya itu ya, Pak?”

Agus Mujayanto: “Prioritasnya itu. Saya berharap juga ini lho, masyarakat umum harus bisa memilih wakilnya nanti ya, mungkin orang dari kalangan ini – kalangan ini silahkan dipilih dengan baik dengan seksama. Tapi minimal ada balance keseimbangan di dalam Senayan itu kan harus ada, apalagi DPD itu sebagai representasi Jawa Tengah / daerah.”

“Harus ada seseorang yang mewakili lah untuk berbicara tentang kebudayaan. Wis tugase dewe-dewe ayo kita wis jadi kita bagi tugas, gitu loh. Nah saya pun misal diberi amanah pun, kalau bilang transparansi akuntabilitas ya aku tetap nggandeng media tak suruh turun, aku loh ning kene iki lho keadaane koyok ngene, kowe nginthili aku gak popo. Kan gitu lho. Paribasane Tribun Jateng ikut saya juga gak papa di setiap kegiatan saya nanti ke depan.”

Host: “Oke.. Terkait dengan kegiatan ke depan, tentunya ini ada pesan yang ingin disampaikan kepada Tribuners, apalagi untuk Tribuners muda ini, terlepas dari politik, ini keseniannya terlebih dahulu bagi anak-anak muda untuk melestarikan.. Silahkan…”

Agus Mujayanto: “Anak-anak muda harus enggak usah malu anak-anak sekarang untuk mencintai dan mungkin sekolah sesuai dengan bidang di dalam kesenian. Kadang mungkin dibilang koncone, aku ning fakultas ini, kamu kok di situ ketok ndesit. Itu jangan.”

“Karena kita harus saling menjaga. Karena kalau di situ semua, mosok paribasane aku sekolah neng jurusan nggawe bakso, nek wong nggawe bakso kabeh terus sing nggawe pari terus sing gawe onde-onde kan yo ora ono toh, Mbak.”

Host: “Nggih, leres..”

Agus Mujayanto: “Ya untuk saat ini saya butuh kesenian di bangsa kita itu lebih diangkat lagi ya. Karena bagaimana teman-teman seniman ini karya-karyanya itu bisa mengkritisi, bisa memberi masukan, juga itu harus lebih ditingkatkan.”

“Karena jaman saya kecil saya melihat pameran lukisan saja karya-karya pelukis terkenal, di gedung Taman Tegalwareng, di gedung tersebut. Waktu dulu itu saya naik bus Damri lho, dari Demak ke Semarang, cuman hanya pengin ngelihat pameran.”

“Nah sekarang saya berharap teman-teman seniman di wilayah atau dengan unsur pimpinan stakeholder di wilayah maupun nasional memberi ruang tempat untuk teman-teman seniman ini untuk bangkit. Contoh kecil saja mereka mau opening ceremony di wilayahnya masing-masing, angkatlah dengan kearifan lokal.”

“Di situ di Grobogan ada Tayub, pembukaan acara mungkin ditarikan sedikit Tari Tayub, jangan hanya monoton Tari Gambyong Pare Anom terus, mungkin naik lagi yang kelas sedikit.

“Karena tujuan saya turun ke bawah itu adalah satu, saya menjelaskan tentang makna filosofi Wayang, perkerisan, serat-serat Eyang Sunan itu tadi dan tarian. Karena wayang itu juga kalau enggak kita uri-uri karena itu karyanya yang Sunan Kali diperintah sama mertuanya Sunan Giri diteruskan sama muridnya Kanjeng Sultan Agung, itu harus dijaga.”

“Keris bukan berarti keris yang glodakan ke sana kemari, bukan, tapi kita memberi edukasi ke anak-anak muda bahwa keris itu meteor bertemu dengan besi, besi bertemu dengan emas, ini pamornya apa, Beras Wutah, Banyu Mili, Udan Mas, Junjung Derajat. Nah itu harus kita berikan penjelasan ke anak-anak sesudah itu.”

“Karena apa? Karena kalau enggak begitu biar enggak salang surup, nanti malah yang memberi penjelasan sing gak pas. Saya senang orang-orang mau ngakoni enggak apa-apa, itu untuk memboomingkan bahwa itu kebudayaan kita, tapi kita harus lebih tahu dan lebih ngrungkepi.”

Host: “Ada rasa memiliki juga ya?”

Agus Mujayanto: “Iya, ada rasa memiliki. Ngakoni ya kudu njaga. Bukan hanya ngakoni tapi nyimpirke.”

“Terus turun ke bawah juga ke masyarakat saya ini memberi edukasi bahwa orang di desa itu jangan kecanduan dengan pupuk. Kan gitu kan. Karena harus segala sesuatu yang dilakukan di desa itu dari sektor pertanian itu tidak hanya penopang utamanya dari pupuk, tapi dengan cara melakukan sedekah bumi, ya dengan Dewi Sri itu dihormati. Maknanya semuanya itu adalah do’a. Intinya di do’a. Karena kalau orang Jawa itu ada yang selalu sing ngemong. Sedulur papat limo pancer. Seperti yang saya sampaikan, kakang kawah, adi ari-ari, bungkus, puser. Kalau di kita ya orang Jawa ada sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, sembah rasa Itu menyangkut segala aspek, namanya ajaran syariat, tarikat, makrifat, dan hakekat.”

Host: “Wow…”

Agus Mujayanto: “Jadi Jawa ojo dadi wong Jawa wong jawal… Gitu… Trus nopo malih, Mbak?”

Host: “Oke, baik.. Ini saking terkesimanya ya… Ya ini kan tadi doa-doa yang disampaikan, ya ini berarti muncul pertanyaan juga terkait harapan dan juga pesan yang ingin disampaikan. Ini harapan terlebih dahulu atau inovasi ke depan terkait kesenian dan juga politik yang ingin Bapak sampaikan? Silahkan..”

Agus Mujayanto: ” Ya harapannya itu tadi, tentang kesenian harus lebih terangkat dan kebudayaan serta kearifan lokal sebagai pilar utama penyangga bangsa, baik dari sektor ekonomi dan sektor pertahanan. Harapannya ya juga itu, dan saya meminta ke teman-teman seniman lebih berinovatif dan kreatif.”

“Kadang ada anak-anak di desa yang dia sekolah dari fakultas seni, dari karawitan ataupun seni tari selesai lulus mencari pekerjaan. Ayo kita gerakkan dari sektor seni. Kamu mau bikin teater kesenian ketoprak atau apa. Kadang saya berharap tetap turun ke bawah itu, pemerintahan di tingkat bawah juga dalam pembukaan acara atau acara apapun dilibatkan pelaku seni semua. Baik untuk menyambut itu dengan event tarian ataupun apa itu harus ada. Biar menggugah semangat yang lain.”

Host: “Terkait hal ini juga kerjasamanya mungkin sejauh ini dengan pemerintah atau kesenian sendiri di Jawa Tengah bagaimana sinerginya?”

Agus Mujayanto: “Sinerginya sudah baik, perlu ditingkatkan lagi.”

Host: “Sampai sekarang berapa persen maksudnya kira-kira?”

Agus Mujayanto: “Masih fifty-fifty ya.. Tapi karena kadang saya sendiri pribadi memang (melihat bahwa) kesenian itu tidak luput dari zaman dulu leluhur kita waktu melakukan ekspansi dakwah dengan kesenian. Kalau di dunia modern digital begini kan juga namanya politik, politik yang seperti ini kan pasti bersentuhan dengan itu. Tapi kita harus bisa menjaga tepa selira ono papan panggone. Untuk seni itu dimoncerkan, jangan sampai nanti pemerintahannya ini, kae karena senimane ndukung ini terus engko dicutheti, diputus, kan gitu. Ya artinya yang namanya pepundhen kalau paugeran itu jangan sampai terlalu ke sana ke sana banget lah, artinya harus tetep dirungkepi, dijaga. Itu aja.”

Host: “Terkait dengan dijaga untuk era digitalisasi ini 5.0. Bagaimana supaya tetap terjaga kesenian tersebut di era digitalisasi ini?

Agus Mujayanto: “Ya lebih banyak untuk disampaikan di media sosial, dibranded dengan teman-teman media juga nggak jenuh untuk mengeksplor kearifan lokal yang ada di bawah. Jadi orang biar tahu itu aja.”

Host: “Oke, pertanyaan lagi nih, kalau semisal dari kesenian yang benar-benar sudah riil pure murni kesenian tersebut tapi dibarengi dengan era modernisasi, apakah tetap boleh, tetap tidak menghilangkan dari budaya tersebut atau gimana?”

Agus Mujayanto: “Boleh-boleh saja. Karena Kanjeng Sunan Kalijaga itu juga dalam dakwah kan dengan akulturasi budaya. Jadi ya untuk biar kemajemukan biar terakomodir dengan baik, ini tetap akulturasi.”

“Saya berharap musik rebana yang di desa-desa itu bisa berakulturasi berpadu bersinergi dengan gamelan-gamelan. Saya pernah dengar ada teman dalang itu melantunkan kalimat-kalimat tauhid tapi dengan gamelan suaranya bagus sekali. Dan itu menyentuh hati, untuk berzikir.”

Host: “Kayak gimana waktu itu, Pak? Bisa disampaikan?”

Agus Mujayanto: “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mal nasir. Itu dengan gubahan gamelan yang sangat elok. Ora ono daya linuwih namung Gusti Ingkang Maha Agung, Allah Ta’alla iku kang paring lelindung dateng umate.”

Host: “Luar biasa.. Tentunya sejarah atau setiap seni yang sudah tersampaikan tadi ini akan tersampaikan juga nantinya di Senayan. Diharapkan seperti itu ya?”

Agus Nujayanto: “Iya, itu akan menjadi tugas saya. Mau orang nganggep apa enggak mau dianggep wong kenthir apa enggak terserah, wis ora urusan!”

Host: “Sudah menjadi tugas? Karena memang prioritasnya itu ya, Pak?”

Agus Mujayanto: “Prioritasnya itu. Saya berharap juga ini lho, masyarakat umum harus bisa memilih wakilnya nanti ya, mungkin orang dari kalangan ini – kalangan ini silahkan dipilih dengan baik dengan seksama. Tapi minimal ada balance keseimbangan di dalam Senayan itu kan harus ada, apalagi DPD itu sebagai representasi Jawa Tengah / daerah.”

“Harus ada seseorang yang mewakili lah untuk berbicara tentang kebudayaan. Wis tugase dewe-dewe ayo kita wis jadi kita bagi tugas, gitu loh. Nah saya pun misal diberi amanah pun, kalau bilang transparansi akuntabilitas ya aku tetap nggandeng media tak suruh turun, aku loh ning kene iki lho keadaane koyok ngene, kowe nginthili aku gak popo. Kan gitu lho. Paribasane Tribun Jateng ikut saya juga gak papa di setiap kegiatan saya nanti ke depan.”

Host: “Oke.. Terkait dengan kegiatan ke depan, tentunya ini ada pesan yang ingin disampaikan kepada Tribuners, apalagi untuk Tribuners muda ini, terlepas dari politik, ini keseniannya terlebih dahulu bagi anak-anak muda untuk melestarikan.. Silahkan…”

Agus Mujayanto: “Anak-anak muda harus enggak usah malu anak-anak sekarang untuk mencintai dan mungkin sekolah sesuai dengan bidang di dalam kesenian. Kadang mungkin dibilang koncone, aku ning fakultas ini, kamu kok di situ ketok ndesit. Itu jangan.”

“Karena kita harus saling menjaga. Karena kalau di situ semua, mosok paribasane aku sekolah neng jurusan nggawe bakso nek wong nggawe bakso kabeh sing nggawe pari terus sing gawe onde-onde kan yo ora ono toh, Mbak.”

Host: “Nggih, leres..”

Agus Mujayanto: “Kan gitu. Ya udah, enggak usah merasa malu dan minder. Karena justru saya lebih senang karena ada anak-anak muda milenial sekarang lebih menjaga paugeran atau seni budaya dan itu tadi yang menjadi diri bangsa kita.”

Host: “Ngur-uri budaya juga?”

Agus Mujayanto: “Nggih ..”

Host: “Untuk tongkat estafetnya kesenian tradisional sejauh ini di Jawa Tengah bagaimana?”

Agus Mujayanto: “Masih berkesinambungan baik. Ya itu tadi tinggal kita mungkin ikut membantu ngrungkepi untuk menyampaikan bahwa, ayolah yang menggerakkanlah kekompakan untuk bawah, kesenian ini biar lebih terangkat gitu.”

Agus Mujayanto bersama segenap crew Tribun Topic – Tribun Jateng

Host: “Optimis ya, Pak, nanti untuk 2024?”

Agus Mujayanto: “Ya saya selalu dadi manungsa itu memang optimis, ning terus ojo kegeden rumangsa. Ojo kegeden empyak kurang cagak. Terus ngilo githokku. Ning githokku gak iso tak ilo. Tapi kan sing ngilo liyane.”

Host: “Benar..”

Agus Mujayanto: “Nek merasa nduwe iman, saya mengimani apa yang jadi jalan laku saya. Nek lakuku kudu ngono kudu tak imani. Nek wis Gusti Allah pangeran maringi amanah dari negara dari rakyat tak kembalikan ke rakyat lagi.”

“Apalagi saya sudah bilang dengan media Tribun waktu itu, kalau saya lenggah saya pengin menyedekahkan gaji saya untuk fakir miskin dan anak yatim piatu dan untuk pergerakan seni. Saya sudah berkomunikasi dengan beberapa private area Kraton.”

“Apalagi saya berharap kraton ini sebagai pusat intelektual, agama, kebudayaan, pendidikan harus ngremboko, harus ada. Karena jaman dulu leluhur kita itu njagane itu jaga dengan cara sangat elok, tidak nyampluk dengan pentheleng-penthelengan, tapi njagane dari perasaan, apalagi Kanjeng Sunan Kalijaga dalam dakwahnya kan tidak pernah menyakiti yang lain.”

Host: “Benar, tentunya bisa dibilang Pak Agus ini mewakili para pelaku seni yang ada di Jawa Tengah, begitu..”

Agus Mujayanto: “Njih, nek ngaten ya saya juga matur nuwun nembah nuwun sanget, tapi yang jelas saya berharap ada dari keterwakilan beberapa seniman, ya seniman yang benar-benar dia tahu kearifan lokal, dia tahu tentang budaya, artinya tidak hanya seni yang di dunia modern juga ada kan, ya artinya bisa bersuara.”

“Tapi juga satu pesan saya, walaupun aku durung jumeneng, mungkin aku yo iso ngomong, tapi nek jumeneng mungkin aku sibuk dengan utegku sendiri, kan gitu kan, dengan waktu saya. Artinya gini, ya wong iso ngandani ya iso ngilo dirinya sendiri, kan gitu kan.”

“Ya nek bahasa Islamnya secara halus, Gusti Allah itu datan tanpo warni, tanpa arah, tanpa wewangenan. Nek cedak aku gak gepokan karo sampeyan. Gusti Allah iku jumeneng klawan dzate dewe. Filosofine ngoten, Mbak…”

Host: “Luar biasa… Ini banyak filosofi. Ini sudah berapa SKS ya, Pak?”

Agus Mujayanto: “Haha.. Hayo embuh.. Gak ketung…”

Host: “Sudah banyak sekali. Seru banget perbincangan kita.. Tapi ini tentunya ini last minute list kalau mau dengar closing statemen tiga kata untuk Kesenian dan Politik Indonesia..”

Agus Mujayanto: “Seni dan politik bagi saya selaku orang yang lenggah wonten dusun dan juga berusaha menjaga paugeran di Bumi Jawa dan bangsa kita, m seni dan politik itu bagaikan sedulur sinarawedi. Runtang-runtung.”

“Dalam serat Wirid Hidayat Jati itu petuah Kanjeng Sunan, manusia dengan Tuhannya itu bagaikan manusia dengan bayangannya. Lamun pengin pirsa ingsun, ingsun iku Gusti, pirsanana dirimu sendiri. Kan ngaten, Mbak. Yaitu statemennya, Seni dan Politik bagaikan sedulur sinarawedi. Selalu berkaitan.”

Host: “Baik. Terima kasih sekali lagi untuk Tribun Topik hari ini. Sebenarnya masih mau ngobrol lagi banyak terkait sejarah juga, tapi karena durasi waktu ya, Pak, kita ya. Seru banget loh mungkin episode selanjutnya beda topik.

Agus Mujayanto: “Beda topik boleh, pokoknya boleh, selama itu berkaitan dengan budaya aku gelem.”

Host: “Oke, siap, terimakasih atas waktunya. Sehat selalu. Hallo Tribunners, demikian untuk Tribun Topic hari ini. Maturnuwun awit kawigatosanipun, sampun mirsani, kula Bella makili segenap crew kagungan ayahan pamit undur diri. Don’t forget the subscribe, like, comment and share this video. Tetap jaga kesehatan dan Salam Tribun!

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed