oleh

Lahirnya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 Tidak Linear Dengan Kebutuhan Rakyat Indonesia

UKM Kajian dan Literasi SekolahTinggi Hukum Garut (STHG) Menilai Proteksi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Saat Ini Tidak Terlindungi Oleh Lahirnya Perpres Nomor 20Tahun 2018, Secara Ekplisit Bahwa Kaidah Philosofis Dalam Penggunaan TKA Sesuai Dengan Undang-Undang 13 Tahun 2003 Adalah Transfer Of Job Dan Transfer Of Knowledge

Penyambutan hari Buruh atau biasa akrab dengan sapaan MayDay yang jatuh pada tanggal 1 Mei 2018, membangkitkan para pejuang buruh untuk menaikan value dan kesejahteraannya. Berbagai macam cara dalam penyambutan hari buruh ini dilakukan dan tentunya berbeda-beda di setiap daerahnya masing-masing, interest yang ditimbulkanpun berbeda-beda pula di setiap orang ataupun sekelompok orang tersebut.

Tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat begitu bunyi dari Pasal 1 point (2) UU No. 13 Tahun 2003. Perburuhan merupakan salah satu fenomena yang selalu menjadi topik perbincangan dari berbagai aspek, misalnya upah yang minim disuatu daerah tertentu ataupun pemecatan secara sepihak begitulah problem yang terjadi.

Pemerintah berusaha memberi protect melalui UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, supaya buruh tidak diperlakukan sewenang-wenang dalam segala hak dan kewajibannya. Lahirnya UU ini menjadi satu landasan utama yang kebanyakan perusahaan di Indonesia ini berdiri, terlepas dari ada aturan perusahaan yang mengatur secara khusus untuk salah satu perusahaannya tentu saja peraturan perusahaanpun tidak boleh bertentangan dengan UU ini.

UKM Kajian dan Literasi Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) menyikapi Kehadiran Perpres 20 Tahun 2018 tentang tenaga kerja asing dalam memontum May Day 1 Mei 2018 memerlukan kajian hukum yang koheren sehingga ketika melihat permasalahan ini secara yuridis tidak tercampur aduk dengan komoditas politik saat ini.

Negara indoensia dengan jiwa kedaulatan tentunya memiliki sifat dasar dalam konstitusinya bahwa seluruh sumber daya alam harus dikelola untuk mensejahtrekan rakyatnya. Derivatif dari kata kunci mensejahterakan harus dimaknai dari berbagai pelaksanaan undang-undang yang dalam hal ini keterkaitan dengan kesejahtraann dalam bidang ketenaga kerjaan. Mari kita mulai bahwa tenaga kerja selalu membuthkan lapangan pekrejaan, yang artinya secara sederhana kewajiban pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi warga negaranya. Lapangan kerja selalu akan berhubungan dengan investasi baik investasi yang di ciptakan oleh pemerintah melalui badan usaha milik negara, investasi dari swasta atau perorangan dan atau investasi yang berasal dari luar negri ( asing ).

Apabila berbicara mengenai aturan dan buruh, shoot yang paling menarik untuk menjadi pembahasan dengan hadirnya tenaga kerja-tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Bukan satu kesalahan apabila itu menjadi the point of needs dalam melakukan suatu pekerjaan disalah satu perusahaan yang tekhnologinya tidak dapat dilakukan oleh tenaga kerja lokal. Penulis memandang hal tersebut menjadi sebuah kekeliruan yang ditafsirkan berbeda dengan pemerintah dalam memperbolehkannya tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia.

Point of view dari Perpres 20 Tahun 2018 adalah pelaksanaan teknis dari pasal 42-49 Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara Formil, lahirnya Perpres adalah sah, namun secara materil perluasan oleh Perpres yang baru ini menjadikan polemik baru karena Perpres membuka ruang hukum baru bagi kemudahan akses Tenaga Kerja Asing masuk ke Indonesia. Secara logis, kedatangan TKA akan menghilangkan kesempatan kerja bagi para warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan yang sama, meskipun dalam Perpres itu RPTKA ( Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing ) masih diwajibkan, namun dalam pasal lainnya menyebutkan untuk posisi-posisi tertentu tidak diwajibkan menggunakan RPTKA adalah pertentangannya. Kemudian ada makna dalam keadaan darurat  dan mendesak Pemberi kerja dapat menggunakan TKA dan boleh melaporkan setelah 2 ( dua ) hari bekerja. Ini yang sangat bertentangan dengan bahasa Rencana dalam RPTKA, artinya dapat ditafsirkan tanpa rencanapun TKA bisa masuk. Lalu kemudian menafsirkan bahasa darurat dan mendesak akan sangat rentan bagi kepentingan impersonal.

UKM Literasi dan Kajian STHG menilai dari dimensi sosiologis bahwa kehadiran sebuah Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan kebutuhan masyarakat yang artinya kehadiran Perpres TKA ini sangat tidak linear dengan kebutuhan rakyat indoensia yang membutuhkan kesempatan kerja seluas-luasnya. Selanjutnya sebuah peraturan perundang-undangan juga harus memiliki kaidah Philosofis kaitannya dengan kemanfaatan bagi warga negara indoensia. Secara ekplisit bahwa kaidah Philosofis dalam Penggunaan TKA sesuai dengan Undang-undang 13 Tahun 2003 adalah Transfer of Job dan Transfer of Knowledge, hali ini adalah basis philosofis yang harus dipegang oleh pembuat peraturan perundang-undangan.

Investasi dengan penggunaan TKA dari si pemberi kerja jelas tidak memiliki analogi hukum yang pruden, dimana bentuk hukum yang seharusnya futuristik bagi warga negaranya tidak tercermin dalam Perpres ini. Investasi secara sistem ekonomi kapital di indonesia sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, namun kebutuhan pertumbuhan ekonomi tidak selayaknya digantikan dengan tumbuhnya tenaga kerja asing yang bisa menutup kesempatan bagi para potensi pencari kerja yang asali warga negara indoensia.

Misalnya di daerah Garut pengangguran sekitar kurang lebih 65 ribu orang, ketika pemerintah memperbolehkan sekitar 10% TKA masuk ke kab. Garut maka efek dominonya adalah pemerintah akan mengilangkan kesempatan kerja 10% dari 65 ribu orang tersebut. Salah satu temuan dari Ombudsment RI adalah dengan mempermudahnya TKA masuk dan bekerja di Indonesia menjadi jembatan atau celah hadirnya para TKA ilegal, penafsiran investasi untuk membangun perekonomian di Indonesia menjadi keliru ketika Tenaga Kerjanya juga ikut diboyong dari Luar dan jelas itu merupakan sesuatu hal yang berbeda.

Permenaker 16 tahun 2015 dan permenaker 35  tahun 2015 telah menghapus kewajiban TKA untuk berbahasa indonesia serta menghapus rasio Tenaga kerja asing 10 pendamping Tenaga kerja Indonesia jelas bukti empiris bahwa satu demi satu proteksi terhadap kesempatan kerja bagi warga negara indoensia tidak terlindungi oleh kehadiran keputusan-keputusan peraturan yang membungkus kepentingan ekonomi dengan menukar TKA sebagai konsekwesninya

 

Penulis : Tim UKM Kajian dan Literasi Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed