oleh

Digarut, LPG 3 Kg Jadi Objek Oknum, LSM Pendemo : Pemerintah dan Penegak Hukum Jangan Tutup Mata

GARUT, KAPERNEWS.COM – Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Pendemo DPC Garut terus angkat bicara, segelumit permasalahan di Kabupaten Garut terus disorotnya. Kali ini gas LPG 3 Kg yang disubsidi pemerintah seakan tidak menemukan kepastian, meskipun berbagai aksi digelar, pemerintah dan penegak hukum seolah-olah tutup mata.

LSM Pendemo menduga kalau dari dalam pendistribusian gas LPG 3 Kg rawan penyimpangan, dimana ada 32 agen yang diduga bermasalah dan 420 pangkalan melakukan pelanggaran, namun pemerintah dan penegak hukum tidak menindaknya, beber Bakti.

“Pemerintah dan pengawas dari region III sangat lemah dalam melakukan pengawasan terhadap penyalur gas 3 Kg, sehingga oknum penyalur dan pangkalan yang nakal terus berani mencekik harga kepada masyarakat,” tegas Bakti.

Lanjutnya, kita ambil saja contoh sebuah pangkalan atas nama PT. Mitra Prima Karya Utama yang beralamat di jl. Mustopa Kamil no. 31, bisa ada di daerah Desa Parakan dan cisarua Kecamatan Samarang, bahkan warung yang berpapankan pangkalan tersebut menjual gas LPG 3 Kg kepada masyarakat dengan harga Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu).

“Sebagaimana diatur dalam Undang-undang RI nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pasal 55 “setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan atau niaga bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah dipidana dengan pidana paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 60 milyar”, jelas Bakti.

Sebelumnya, Lanjut Bakti, LSM Pendemo melakukan penelusuran kepada beberapa warung yang ada di sekitara pendistribusian LPG dan dikatakan sumber yang berhasil kami rekam yaitu harga LPG di warung ibu yang berinisial A adalah Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu), bahkan saya (Bakti) pun sempan membeli karena ingin memastikan kebenarannya, dan pada selasa 10 Julli 2018, LSM Pendemo melakukan pendalaman dan wawancara dengan ibu A di kediamannya, dirinya mengaku bahwa gas LPG 3 kg dibeli dari PT. Mitra Prima Karya Utama yang beralamat di jl. Mustopa Kamil no. 31 dengan harga Rp. 14.000,- (empat belas ribu) dan menjual kepada masyarakat dengan harga Rp. 20.000.- (dua puluh ribu) dengan perhitungan ongkos pengambilan gas LPG dari kediamannya ke pangkalan, kata bakti menirukan ibu A.

Logika saja, HET di Kabupaten Garut kan Rp. 16.000, nah ibu A itu bilangnya Rp. 14.000, kan aneh? Kata Bakti.

“Selain adanya penjualan yang mencekik masyarakat, ibu A diduga telah melakukan pemalsuan dan/atau kamuplase pangkalan atas nama PT. Mitra Prima Karya Utama, dimana dalam surat scheduling agreement, alamat perusahaan tersebut berada di jl. Mustofa Kamil no. 31, bukan di rumah ibu A di sekitaran Desa Parakan,” tegasnya.

LSM Pendemo berharap, pemerintah khususnya penegak hukum betul-betul hadir dalam mewujudkan tujuan hukum untuk menciptakan rasa adil dan memberi sanksi kepada orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum.

“Kami berharap, Pemda beserta Polres Garut segera menyelidiki dan menangani kasus ini, karena diduga telah terjadi tindak pidana, dimana menurut ilmu hukum Locus delicti telah terjadi di kediaman ibu A, dimana tempat transaksi penjualan gas LPG 3 kg dan tempus delicti terjadi pada setiap penjualan gas LPG 3 kg,” kata Bakti.

Perlu kita ketahui, kata Bakti, dalam perkara dugaan tindak pidana ini, pengawasan atas pelaksanaan distribusi LPG 3 kg juga diatur dalam Permen ESDM nomor 26 tahun 2011 tentang Pengawasan Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji 3 kg, sebagaimana dalam ketentuan pasal 33. Hal tersebut dikonversikan dengan regulasi Undang-undang nomor 22 tahun 2001. Selain itu, dalam Perpres RI nomor 71 tahun 2015 tentang Barang Penting pasal 1 Subsider 3E, pasal 6 ayat 9 (1) hurup b Undang-undang darurat nomor 7/1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi dan pasal 106 UU RI nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.

Menurut teori kesengajaan yang dikemukakan Molejatno, kesengajaan dengan sadar kepastian terdapat “akibat yang dituju oleh pembuat” dan sifat kesengajaan berwarna (dolus molus), dimana setiap orang yang melakukan dugaan tindak pidana, tau atau tidak tahu aturan yang dijelaskan oleh kesengajaan tidak berwarna (kleurloos opzet) yaitu masyarakat dianggap sudah tahu peraturan, sehingga peraturan tidak mau tahu sesuai dengan tujuan hokum, secara khusus diantaranya sebagai ultimum remedium, melakukan prevensi/pencegahan kejahatan.

“LSM Pendemo berharap pihak kepolisian segera mengambil langkah untuk menentukan concursus dalam dugaan tindak pidana sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali,” tutupnya.

 

Laporan : Oki/Asep

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed