oleh

Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia

“Rumusan pengaturan aborsi dalam RUU KUHP dinilai kaku dan berpotensi menyasar banyak orang, termasuk korban perkosaan. UU Kesehatan sudah mengatur pengecualian”

Kepolisian Daerah Sumatera Selatan berhasil membongkar praktek pengguguran kandungan alias aborsi di sebuah klinik di Palembang, awal Desember 2017. Polisi menetapkan WG, dokter yang diduga membantu melakukan aborsi itu, dan perempuan yang diduga melakukan aborsi, sebagai tersangka.

WG dan pasiennya, M, bukanlah yang pertama terjerat kasus hukum gara-gara kasus aborsi. Aturan tentang aborsi sudah ada sejak zaman Belanda sehingga sudah sering dipakai oleh aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku. Pengadilan Negeri Rangkasbitung misalnya pernah menghukum seorang calon TKI yang menggugurkan kandungan untuk memenuhi persyaratan keberangkatan sebagai tenaga kerja di luar negeri. Majelis hakim menghukum DK, perempuan yang menggugurkan kandungan, selama satu tahun penjara. Selain kedua kasus tersebut, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa kasus aborsi diproses hingga ke pengadilan.

Aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Kondisi bayi yang belum hidup di luar kandungan dan kemudian digugurkan itu lazim disebut onvoldragen vrucht.

Baca juga : Cara Sederhana Menjadi Orang Baik

Aborsi adalah salah satu perbuatan yang dilarang dalam KUHP, hukum positif di Indonesia yang masih berlaku hingga kini (ius constitutum). Pasal 346 KUHP menyebutkan seorang perempuan yang dengan sengaja melakukan pengguguran atau pematian kandungannya, atau menyuruh orang lain melakukannya, diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Selanjutnya Pasal 347 mengancam 12 tahun penjara setiap orang yang melakukan pengguguran kandungan atau pematian kandungan seorang perempuan tanpa persetujuan si perempuan. Jika si perempuan akhirnya meninggal akibat tindakan itu, ancamannya naik menjadi 15 tahun penjara. Dua pasal berikutnya, 348-349, juga mengatur masalah pengguguran kandungan dengan kualifikasi berbeda.

SR Sianturi, dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Beserta Uraiannyamenyebutkan Pasal 346 mengatur subjek seorang perempuan yang sedang mengandung. Tidak dipermasalahkan apakah perempuan itu bersuami atau tidak; dan berarti bahwa tak jadi masalah apakah si perempuan hamil dalam ikatan perkawinan, atau hamil di luar perkawinan. Bahkan tak dipersoalkan pula apakah kehamilan itu dalam program bayi tabung. Menurut Sianturi, pelaku kejahatan dalam pasal ini bisa tunggal bisa juga pelaku dalam penyertaan. Yang terakhir ini terbaca dari frasa “atau menyuruh orang lain”. Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (1986), menyatakan bahwa dalam tindak pidana aborsi ini tidak dipersoalkan alasan apa yang mendorong si ibu melakukan aborsi.

Dipaparkan Sianturi, tindakan yang dilarang dalam Pasal 346 adalah mengugurkan kandungan (vrucht) atau mematikan kandungan. Dua tindakan ini harus dipandang senafas. Artinya, mengugurkan kandungan harus dibaca dengan menggugurkan kandungan yang hidup. Masalah ini sangat penting untuk menentukan mulai kapan suatu tindakan bisa dikualifikasi sebagai aborsi. Mengutip pandangan dokter S.A. Gulam, Sianturi menyebutkan setelah berumur tiga bulan akan diketahui jenis kelamin dan bayinya mulai berbentuk. Jika ini dipakai sebagai patokan, maka menggugurkan kandungan yang belum berusia tiga bulan tak bisa dijerat dengan Pasal 346 KUHP. Tapi Sianturi juga menyebut ada sarjana lain yang pasal ini tetap bisa dipakai sejak terjadi kehamilan.

Baca juga : Korelasi Pendidikan Terhadap Kinerja Kepala Desa

Itu baru perbedaan pandang mengenai kapan saatnya menentukan tindakan sebagai aborsi atau bukan. Faktanya, ada banyak pertanyaan lain yang bisa dikemukakan. Misalnya, apakah perempuan yang tak menghendaki kehamilan, karena merupakan korban perkosaan, juga bisa dijerat pasal-pasal aborsi dalam KUHP? Siapa saja yang bisa disasar dalam tindak pidana aborsi? Kalaupun suatu aborsi dapat dibenarkan, kondisi apa yang memungkinkan tindakan itu dilakukan? Penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam hukum positif dan hukum yang sedang dipersiapkan untuk masa depan (ius constituendum).

Ius Constitutum: UU Kesehatan

Jawaban atas pertanyaan itu antara lain dapat dilihat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Prinsip utama yang dianut UU Kesehatan sama dengan KUHP, bahwa aborsi itu dilarang. Penegasan larangan ini bisa dilihat dalam Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. UU Kesehatan juga memberi hak kepada setiap orang menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

Berbeda dari KUHP, UU Kesehatan secara eksplisit mengatur kapan saatnya seseorang bisa melakukan aborsi tanpa khawatir terjerat hukum. Setidaknya ada dua pengecualian yang disebut. Pertama, ada indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan. Kedaruratan medis itu bisa berupa ancaman terhadap nyawa di si ibu dan/atau janin; bisa juga karena menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, atau ada penyakit yang tak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan.

Alasan kedua yang dibenarkan adalah kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dalam hal ini terjadi, maka perempuan korban perkosaan perlu melakukan konsultasi kepada konselor kompeten sebelum melakukan tindakan medis.

UU Kesehatan juga menjawab pertanyaan sejak kapan usia kandungan yang boleh digugurkan. Pasal 76 menegaskan aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. Selain itu, ditentukan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat; dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; atau dengan izin suami kecuali perempuan korban perkosaan.

Pengaturan lebih lanjut dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP ini menegaskan dan menjabarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Di level lebih teknis ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

Indikasi Kedaruratan Medis Kehamilan Akibat Perkosaan
a.      Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu;

b.      Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup di luar kandungan.

·         Merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

·         Usia kehamilan sesuai dengan waktu terjadinya perkosaan, dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Dalam Permenkes diatur persyaratan yang harus dipenuhi tim aborsi agar bisa melakukan tindakan penggguguran kandungan secara legal, termasuk sertifikasi. Yang diperbolehkan adalah mereka yang sudah pernah ikut pelatihan. Sertifikat diperoleh setelah ikut pelatihan. Sertifikat pelatihan berlaku selama lima tahun.

Ius Constituendum : RUU KUHP

Pemerintah dan DPR sudah membahas RUU KUHP, bahkan sudah menyepakati beberapa rumusan. Jika tak ada aral melintang, proses pembahasannya lancar, inilah yang akan menjadi KUHP Indonesia di masa mendatang.

Pasal mengenai aborsi termasuk yang dipertahankan dalam RUU ini. Pasal mengenai pengguguran kandungan disinggung dalam dua bab. Pertama, Bab XIV mengenai Tindak Pidana Kesusilaan, khususnya bagian keenam tentang pengobatan yang dapat mengakibatkan gugurnya kandungan (Pasal 501). Kedua, Bab XIX mengenai Tindak Pidana Terhadap Nyawa, khususnya bagian kedua tentang pengguguran kandungan (Pasal 589-591). Pasal 590 RUU KUHP menyebutkan “Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Jika tindak pidana itu menyebabkan meninggalnya si perempuan, maka pembuat tindak pidana diancam hukuman penjara 9 tahun. Perbedaan Pasal 590 RUU dengan Pasal 346 KUHP adalah pada lamanya ancaman pidana penjara, dan dikenalnya pidana denda.

Rumusan aborsi dalam RUU KUHP telah dikritisi oleh sejumlah kalangan karena dianggap sangat ketat dan kaku. Pada 12 Desember lalu, misalnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengeluarkan pernyataan keras atas rumusan aborsi dalam RUU KUHP. “Kami meminta pasal-pasal itu harus mengacu pada UU Kesehatan. Jika tidak, selayaknya dihapuskan,” kata Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR.

Kalangan tenaga kesehatan juga menaruh waswas. Sewaktu-waktu mereka bisa menjadi sasaran jika pengaturan aborsi tak tegas dan tak jelas. Meskipun dokter melakukan tindakan karena ada kedaruratan medis, tak ada jaminan aparat penegak hukum yang memproses hukum dokter tersebut. Penelusuran yang dilakukan Alinasi Nasional Reformasi KUHP menemukan paling tidak lima putusan pengadilan dalam periode 2012-2016 yang mengkriminalisasi tenaga kesehatan yang membantu proses aborsi. Misalnya, seorang dokter di Cilacap pernah dihukum 8 bulan penjara gara-gara melakukan tindakan aborsi terhadap seorang perempuan tanpa ada alasan kedaruratan medis. Di Serang, seorang dokter yang juga sarjana hukum divonis 1 tahun karena terbukti membantu melakukan aborsi terhadap seorang perempuan yang hamil di luar nikah. Sang dokter dinyatakan bersalah melanggar Pasal 349 KUHP.

Pasal 349 KUHP menyatakan jika seorang dokter, bidan, atau tukang obat membantu melakukan kejahatan yang disebut Pasal 346 KUHP atau melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal 347-348, ancaman pidananya adalah yang disebut dalam masing-masing pasal tersebut ditambah sepertiganya. Bahkan hak tenaga kesehatan tersebut bisa dicabut. Ius constituendum rumusan ini terlihat dalam Pasal 591 RUU KUHP: “Dokter, bidan, apoteker, atau juru obat yang membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 ayat (1), atau melakukan atau membantu melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 589 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 590, pidananya dapat ditambah sepertiga dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak”. Cuma, dalam Pasal 591 RUU KUHP sudah disebut bahwa petugas kesehatan tadi tidak dipidana jika tindakan aborsi dilakukan karena keadaan darurat.

Penting juga disebut, jika dihubungkan dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ada kewajiban dokter untuk memberikan penjelasan kepada pasien antara lain tentang resiko dari tindakan medis yang akan dilakukan. Keharusan ini pada dasarnya berlaku juga dalam tindakan aborsi.

Dokter Sarsanto W. Sarwono, Pengurus Pusat PKBI, mengatakan UU Kesehatan adalah lex specialis terhadap KUHP. Artinya, aparat penegak hukum seharusnya memerhatikan UU Kesehatan ketika memproses tindakan aborsi. Konsekuensinya, polisi perlu melihat apakah perbuatan aborsi memenuhi syarat pengecualian yang diatur dalam UU Kesehatan. “UU Kesehatan itu lex specialis, sehingga harus menjadi rujukan,” ujarnya.

Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin K Susilo, juga mengkritisi pandangan kaku penyusun RUU KUHP bahwa aborsi merupakan tindak pidana, dan pelakunya harus dihukum. Pandangan demikian kurang melihat realitas tentang faktor penyebab seorang perempuan melakukan aborsi, atau seorang tenaga kesehatan membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi.

Padahal, sudah ada regulasi yang mengatur pengecualian. Ia mengajak Pemerintah dan DPR memerhatikan UU Kesehatan yang sudah diterbitkan lebih dahulu. Regulasi lain yang setara perlu dilihat agar tidak terjadi tumpang tindih agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. “Perlu dilakukan harmonisasi RUU KUH Pidana dengan UU Kesehatan,” pintanya.

Meskipun Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta penghapusan pasal-pasal aborsi dalam RUU KUHP dan menyesuaikannya dengan UU Kesehatan, tidak berarti UU Kesehatan tak memuat sama sekali ancaman pidana bagi pelaku aborsi. Pasal 194 UU Kesehatan mengancam pidana 10 tahun penjara dan denda maksimal satu miliar rupiah ‘setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan’. Positifnya, UU Kesehatan telah mengatur apa saja pengecualian terhadap larangan aborsi itu.

Bagaimana ius constituendum pengaturan aborsi ke depan? Tinggal menunggu bagaimana proses pembahasan RUU KUHP di Senayan.

 

Penulis : Muhammad Yasin

Sumber : hukumonline.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed