oleh

Penunjukan Dua Jendral Jadi PLT Menimbulkan Konflik Baru

Polemik untuk mencapainya suatu netralitas pejabat pemerintahan dalam dunia birokrasi yang semakin meradang tidak pernah surut dari unsur politis. Terlepas dari hal tersebut itu bukan menjadi sebuah alasan untuk mencederai dari pada sebuah aturan yang bersifat memaksa, pandangan dari berbagai akademisi dan pemerhati hukum dan politik tentu memiliki sebuah dasar dan landasan yang kuat selaku warga negara Indonesia sebagai negara hukum.

Dasar hukum merupakan sebuah landasan yang fundamental dalam menjalankan sebuah peraturan yang berlaku di negara kita. Bukan hal aneh apabila ada sebuah penafsiran atau pandangan hukum yang berbeda dari seriap pemerhati, tetapi akan sama-sama disepakati bahwa peraturan tersebut berangkat dari berbagai landasan yakni historis, filosofis dan sosiologis. Kedudukan peraturan yang kian berubah untuk disempurnakan bukan menjadi hal aneh selama tidak pernah bertentangan dengan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berangkat dari pada sebuah keputusan MENDAGRI dalam menunjuk dua jendral polisi jadi PLT yakni perwira aktif dapat menimbulkan sebuah konflik baru, terlepas dari pada pro-kontra dari sekelompok masyarakat yang dapat mengkritisi hal tersebut. Dalam kacamata hukum salah satu kedudukan suatu pejabat pemerintah untuk di rotasi dan di gantikan akan memiliki dasar dan ketentuan peraturan yang berlaku, langkah Mendagri untuk menunjuk Irjen Pol M. Irawan dan Irjen Pol Martuani dirasa telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan azas legalitas.

Bicara tentang pengisian jabatan maka pendekatan penulis menggunakan Hukum Tata Negara sebagai pijakan awal terkait dengan jabatan-jabatan dalam sebuah negara, hal in penting dikaji secara teoritis karena setiap perbuatan hukum pejabat negara dalam menjalankan fungsinya salah satu rujukan awal adalah teori legisme dimana selama ada undang-undang telah mengatur jelas maka pejabat negara dilarang menafsirkan lain atau bahkan membuat norma baru sehingga memiliki potensi tidak harmonisnya konsep perundang-undangan di Indonesia.
Dalam sebuah lembaga negara tentu memiliki etika dalam mengisi dan mencabut suatu jabatan. Menurut J.A Logemann Hukum Tata Negara adalah suatu organisasi negara, selanjutnya dikemukankan bahwa jabatan merupakan pengertian bersifat sosiologi. Negara merupakan organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lainnya serta keseluruhannya maka dalam arti yuridis, negara merupakan organisasi jabatan-jabatan. Oleh karena itu Logemann berpendapat bahwa yang dipelajari dalam hukum tata negara ialah sebagai berikut:
a) Jabatan-jabatan yang ada dalam suatu negara atau dalam susunan ketatanegaraan tertentu;
b) Orang yang mengadakan jabatan-jabatan itu;
c) Cara melengkapi dengan pejabat;
d) Tugas para pejabat itu;
e) Wewenang hukumnya.

Dapat di katakan bahwa hal ini tentang bagaimana cara pengisian jabatan-jabatan dalam sebuah negara tersebut. Mengacu pada Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dalam ketentuan Pasal 201 Ayat 10 yang berbunyi : “ Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan “ dan juga pertimbangan tentang jabatan apa saja yang layak mengisi kekosongan Jabatan dalam hal Jabatan Gubernur secara ekplisit dapat dilihat dari Ketentuan UU No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dalam Penjelasan Pasal 19 huruf b yang berbunyi : “ Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara “.

Dua ketentuan UU 10 tahun 2016 dan UU ASN No 5 Tahun 2014 adalah limitasi Mendagri pada saat memutuskan siapa yang menduduki jabatan PLT Gubernur di sebuah daerah. Kemudian jika kita melihat lagi lebih dalam tentang Pejabat Kepolisian apabila dipindahkan ke lembaga lain maka mandatory rules yang harus dilihat adalah ketentuan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 28 ayat (3). Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian menyebutkan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.”

Jelas kiranya dari dimensi yuridis tentang pengisian jabatan sudah diatur rinci dalam beberapa Perundang-undangan yang ada. Dasar Mendagri menggunakan Peraturan Menteri Dalam Degeri Republik Indonesia nomor 74 tahun 2016 dalam Pasal 4 tentang cuti diluar tanggungan negara yang di jadikan rujukan dalam mengambil Aparat Kepolisian sebagai PLT sangat tidak sejalan dengan asas-asas Hukum Tata Negara yang baik. Kemudian jika landasan sosiologis yang digunakan Mendagri dalam Pilkada jawa barat adalah kerawanan konflik dari sisi situasi penulis tidak melihat dipermukaan terjadinya kerawanan yang dimaksud, dan seandainya itu terjadipun secara fungsi lembaga ranah pengamanan ada di fungsi Kepolisian secara kelembagaan utuh dan dimungkinkan untuk menurunkan Aparat TNI jika diperlukan.

Penulis melihat keputusan penunjukan Jendral Polisi Aktif menjadi Plt Gubernur dapat dikategorikan tidak terstruktur nya Success plan Kementrian dalam Negri dalam melihat apparat-aparat yang ada dibawahnya sebagaimana perintah UU dalam pengisian kekosongan Jabatan. Lebih lanjut hal ini menjadikan unconpetable nya Hirarrki perundang-undangan kita dimana peraturan-peraturan tanpa landasan yuridis yang koheren dapat menimbulkan pertentangan antar undang-undang. Terlepas dari isu politis yang berkembang penulis lebih focus pada bagaimana aspek-aspek yuridis dalam perbuatan hokum pejabat negara dapat dilaksanakan dengan baik sesuai batasan-batasan yang telah menjadi perintah undang-undang.

Penulis : Senita Apriliani Zaelani (Mahasiswi STH Garut)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 comment

  1. Jika keputusan mendagri tersebut dinilai melanggar hukum, apakah keputusannya termasuk sebuah diskresi ? Jika tidak, bagaimana konsekuensi hukum atas keputusan yang tidak sesuai dengan landasan hukum ?

News Feed