oleh

UKM Kajian dan Literasi STHG Menilai Pernyatan Amin Rais Terkait Partai Alloh dan Setan, Cerminkan Etika Politik Pribadinya

Pernyataan tokoh politik nasional Amin Rais terkait pernyataan partai Allah dan partai setan membuat suasana kebatinan masyarakat politik Indonesia menghangat dengan pelbagai macam reaksi, baik dari sudut pandang pro dan kontra yang berkaitan dengan kubu-kubu kekuasaan dalam pemerintahan ataupun reaksi-reaksi kaum netralis yang cukup beragam.

UKM Literasi dan Kajian Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG) memandang fenomana ini sebagai salah satu kajian politik hukum dimana konsekwensi dari pernyataan Amin Rais dapat dipandang dari dua perspektif, yaitu dari sisi politik dalam ruang lingkup etika dan dari sisi hukum positif terkait sensitifitas statment yang bernuansa kebencian yang pada akhirnya akan muncul pihak yang dirugikan, sebagaimana ada laporan masyarakat ke kepolisian terkait pernyataan tersebut.

Dari pandangan politik apa yang disampaikan oleh Amin Rais secara sederhana dapat kita kualifikasikan sebagai kepentingan Pilpres 2019 dalam hal penggiringan opini publik. Yang menjadi fokus UKM Kajian dan Literasi STHG terkait hal ini adalah dualisme masyarakat dalam menanggapi, hal ini ditengah maraknya ujaran-ujaran sentimen kubu oposisi dan koalasi dengan berbagai macam perspektif, baik yang melihat dari sisi agama, hukum, etika, kebhinekan dan demokrasi. Sangat penting bagi kami sebagai mahasiswa hukum untuk melihat hal ini secara penuh kesadaran intelektual hukum bernegara untuk membuat analisa hukum dan politik sebagai sarana bacaan rakyat banyak agar hal-hal yang dapat menyebabkan perbedaan horizontal dapat dihindari.

Baca juga : Bangkitkan Gerakan Literasi Yang Terkubur Cadin Pendidikan Garut

Pernyataan Amin Rais dari dimensi teologis dalam konsep islam adalah perintah yang bersifat absolute dari ayat-ayat Al-quran yang tidak bisa lagi diperdebatkan dari pemahaman masyarakat Islam yang memahami bahwa Al-quran adalah Kitab Suci dan harus dijadikan pedoman hidup baik secara pribadi atau dalam proses-proses bernegara. Namun demikian ketika kita menggeser dimensi kedalaam pemahaman bernegara yang terikat dalam hukum positif pernyataan Amin Rais ini menjadi polemik etik, politik dan bahkan polemik sangsi hukum.

Kehidupan bernegara sebagai warga negara yang semestinya patuh terhadap hukum positif dan sebagai warga yang beragama yang wajib patuh terhadap perintah aqidahnya adalah hal yang tidak bisa di segregasi secara ekstrem untuk dipisahkan begitu saja. Rasio logis pernyataan Amin Rais adalah perintah Agama sebagai norma, dan konsekwensi logis adalah ruang lingkup kekuasaan dari partai-partai yang menjadi objek penyebutan partai Allah dan partai Setan, sebagai Post Pactum bahwa perbuatan dan penyebutan itu dirasa telah melanggar hukum publik ( Pidana ) related terhadap pasal ujaran kebncian dan penistaan dalam dinamika hukumnya.

Baca juga : Cadin XI Garut Sembunyi Dibalik Literasi? “Closed Literacy Education in Garut?”

Memahami pernyataan Amin Rais dalam konteks libertarianisme adalah sah-sah saja karena yang disampaikan adalah pernyataan moral tentang keyakinan transendental dan lebih ekstrimnya lagi cara berfikir Amin Rais dapat dikategorikan sebagai penjelmaan dari kaidah kaidah filsafat anarkisme yang menekenkan tanpa negara pun manusia beragama dapat mengatur dirinya sendiri dalam menentukan pilihan. Inilah demokrasi kebhinekaan Indonesia  yang menurut kami saat ini berada pada posisi kritis dalam kehidupan bernegara, dimana ruang-ruang private menjadi konsumsi publik dalam menentukan arah kekuasaan. Tentu kondisi ini tidak tercipta dengan sendirinya melainkan sebagai determinisme kekuasaan pemerintah saat ini yang melahirkan kebijakan-kebijakan publik.

Secara etika politik, sikap dan pernyataan Amin Rais dirasa tidak elegan, karena urgensi pernyataan tokoh publik adalah memberikan posisi yang tegas terkait identitas dirinya, makna identitas disini adalah keterikatan Amin Rais sebagai politisi Partai Amanat Nasional yang dalam aktivitas politiknya tunduk dan patuh terhadap cara-cara bernegara yang diatur dalam hukum positif. Hal ini akan menentukan bahwa seharusnya pernyataan-pernyataan politik dalam posisi kritisme dibatasi terhadap hal-hal yang sifatnya menyerang kebijakan publik dari pemerintah yang dianggap buruk, gagal atau merugikan rakyatnya.

Terkait dengan wilayah pidana dalam pernyataan Amin Rais tentang Partai Allah dan Partai Setan, maka secara substansial memerlukan pendalaman intensi terutama dari pendekatan krimnilastik, jika dikaitkan dalam posisi Amin Rais sebagai ulama maka apa yang disampaikan amin rais terlindungi oleh International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 18 yang berbunyi : “Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching“,  namun ketika kita membaca lagi Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief oleh United Nations General Assemble pada tahun 1981.  Dimana Deklarasi ini melarang segala bentuk diskriminasi dan intolerensi termasuk prasangka terhadap orang-orang yang menghina setiap orang, berdasarkan suatu Agama atau kepercayaan.  Dikutip dari Ujaran Kebencian Dan ‘Emotionalization Of Law’ Oleh Vidya Prahassacitta (Agustus 2017) dalam Rubrik Bina Nusantara.

Tidak mudah memberikan kualifikasi hukum pidana baik menggunakan UU ITE atau KUHP Pasal 156 dalam kasus ini ketika seluruh sandarannya adalah kebebsan berekspresi dalam agama yang tentunya seluruh kaidah ekspresi itu didasari dari pemahaman agamanya. Namun demikian ketika konsekwensi pernyataan Amin Rais berujung pada proses pidana, maka ukuran hakim dalam memberikan interpretasi dimungkinkan membuat  tolak ukur emosi dari masyarakat untuk melihat ada atau tidaknya tindak pidana ujaran kebencian. Karena ketika hal ini dilaporkan oleh masyarakat yang memiliki identitas oposisi dan koalisi maka secara kwalitatif perkara ini hanya akan terkonsumsi secara politis.

Baca juga : Api di Hati Siswa dan Gerakan Literasi Nasional

Sementara, beberapa waktu lalu, Kapolri pernah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Hate Speech”). Pada dasarnya, jika kita telusuri, tujuan Kapolri mengeluarkan SE Hate speech ini adalah untuk memberitahukan anggotanya agar memahami langkah-langkah penanganan perbuatan ujaran kebencian atau hate speech. UKM Kajian dan Literasi Sekolah Tinggi Hukum Garut berpandangan, SE hanyalah petunjuk dan panduan bagi kepolisian ketika terjadi dugaan ujaran kebencian, keberadaan SE sejatinya tak mengubah apapun. Terlepas ada tidaknya SE, komitmen kepolisian sebagai penegak hukum dibutuhkan untuk menindak pihak-pihak yang menanamkan kebencian terhadap suku, ras dan agama tertentu.

Sementara, dalam keberlakuan SE sendiri di Indonesia, SE bukanlah suatu peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving). Seperti dari pandangan beberapa ahli melalui Doktrin yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie, HAS Natabaya, HM Laica Marzuki, dan Philipus M. Hadjon. “Surat-surat edaran selalu mereka masukkan sebagai contoh peraturan kebijakan.” Jadi menurut UKM Kajian dan Literasi bahwa beleidsregel dan pseudo wetgeving adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan.

 

Penulis tim UKM Kajian dan Literasi Sekolah Tinggi Hukum Garut (STHG)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed