oleh

Pang Mahmud, Kisah Wakil Panglima Setia Hingga Akhir Hayat

BLORA, KAPERNEWS.COM – Pendudukan Belanda di Aceh adalah di luar keinginan rakyat Aceh, jadi tidaklah mengherankan jika setiap usaha Belanda ke arah itu selalu mendapat perlawanan rakyat Aceh dalam berbagai bentuknya.

Mahmud (Ibrahim?) alias Wakimud atau biasa dipanggil Pang Mahmud berasal dari Kabupaten Aceh Besar Kampung Desa Lamgugub Kecamatan Darussalam pada waktu beberapa wilayah Aceh Besar termasuk Banda Aceh.

Setelah bertahun-tahun bertempur Lamgugub, akhirnya wilayah tersebut berhasil diduduki tentara kolonial Belanda. Pang Mahmud kemudian hijrah mengikuti Pocut Meurah Intan ke Laweung/ Biheue di wilayah kekuasaan Ayah Pocut yang seorang hulubalang negeri. Di sanalah beliau melakukan perang gerilya di bawah pimpinan Panglima Pocut Meurah Intan.

Pocut Meurah Intan, Pang Mahmud, Tuanku Nurdin dan TJ Veltman serta marsose Belanda

Setelah suaminya tuanku Abdul Majid menyerah kepada Belanda, Pocut Meurah Intan bersama tiga orang putranya dan dirinya yang waktu itu dipercaya sebagai Wakil Panglimanya melanjutkan perang gerilya di daerah Laweung dan sekitarnya.

Sebelum meninggal, ayah Pocut yang seorang hulubalang negeri telah berpesan kepada Pocut bahwa agar dalam keadaan bagaimanapun jangan sekali-sekali tunduk kepada kompeni Belanda. Amanat inilah yang dipegang teguh oleh Pocut, sehingga sekalipun tubuhnya terkoyak namun beliau tetap melanjutkan perlawanan terhadap kompeni Belanda.

Setelah sembuh lukanya, Pocut bermukim di Banda Aceh, waktu itu bernama Kutaraja dan Pocut ditempatkan dalam sebuah rumah di Kampung Keudah. Tidak beberapa lama kemudian putra-putranya yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin yang sedang melanjutkan perang gerilya ditawan juga dan dibawa ke Banda Aceh sebagai orang tawanan.

Demikian pula dirinya yang juga ikut tertawan. Pang Mahmud adalah seorang prajurit dari Teuku Umar. Perawakannya tinggi sedang dan warna kulitnya kuning. Raut wajah serta kumisnya menunjukkan bahwa ia adalah prajurit yang mempunyai militansi tinggi.

Dikabarkan bahwa Pocut Meurah Intan bersama para putranya dan Pang Mahmud secara rahasia merencanakan akan melakukan perlawanan kembali. Beliau akan kembali ke medan perang untuk memimpin lagi perang gerilya. Sejumlah utusan dikirim ke daerah Laweung/ Biheue untuk pengorganisiran rakyat di sana dalam mempersiapkan gerakan perlawanan lagi.

Waktu yang dinantikan tiba. Beberapa perahu telah dipersiapkan di Kuala Gigieng dan Krueng Raya. Namun sebelum malam tiba datanglah spion Belanda. Rencana rahasia telah bocor dan tercium pihak kolonial melalui antek-antek kaki tangannya. Akibatnya ditangkaplah Pocut Meurah Intan. Demikian pula putranya dan Pang Mahmud serta sejumlah pengikutnya.

Sekalipun Pocut Meurah Intan telah ditangkap namun rakyat di daerah Laweung/ Biheue melaksanakan terus rencana perlawanan tersebut.

Sehingga untuk menghindari terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan Belanda, maka akhirnya Pocut Meurah Intan, Tuanku Nurdin, Tuanku Budiman dan Pang Mahmud dibuang ke Blora Jawa Tengah, sementara Tuanku Muhammad dibuang ke Tondano Sulawesi Utara.

Menurut informasi, sewaktu dibuang ke Jawa, Pang Mahmud meninggalkan adik yang bernama Daud yang bermukim di kampung Lamgugup. Pang Mahmud memperistri seorang perempuan Jawa di Blora dan dikaruniai 9 orang putra dan putri, di antaranya bernama Idris, Turmidzi, Yusuf dan Siti Khotijah.

Nisan Makam Pang Mahmud alias Wakimut di makam Butoh Kunden Blora

Senin Legi, 19 Desember 1956 Pang Mahmud meninggal dalam usia lanjut. Dirinya meninggalkan 9 orang anak dan seorang istri. Jenasahnya dikebumikan di Makam Butoh Desa Kunden, tidak jauh dari makam Tegalsari.

Untuk info selengkapnya kunjungi:
https://dinporabudpar.blorakab.go.id/

(Abu Sahid/ Eko Arifianto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed